Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, October 12, 2013

Lembaga Adat, Dewan Adat, Majelis Adat, Mainkan Saja....


LAMA tak berkontak, Kamis pagi, 10 Oktober 20013, Jemmy Lantong tiba-tiba menelepon saya. Biasanya saya yang suka menghubungi dia, khususnya menjelang Idul Fitri atau hari-hari khusus (termasuk Idul Adha). Perkara yang saya hatur pun biasanya sangat serius. Menanyakan apakah Jemmy atawa Ama’ i Miti sedang berencana menyiapkan hidangan ilulut atau tidak.

Hidangan yang terbuat dari kulit, daging, dan tulang sapi, yang dengan resep rahasia tertentu dimasak tanpa penyedap (termasuk garam) ini, anehnya kaya rasa dan nuansa. Cara mengkonsumsinya pun tidak rumit dan sophisticated: cukup dengan dabu-dabu (juga dengan diramu khusus) dan nasi mengepul. Sedapnya.

Pembaca, saya memang penggila ilulut ala Motoboi Kecil. Menurut saran dan simpulan lidah, leher, dan perut saya, teknik warga Motoboi Kecil mengolah makanan amat sangat khas Mongondow ini berbeda dengan yang umum ditemui. Ilulut dari ‘’negara tetangga’’ Jalan Amal ini lebih basah, berkuah tapi juga tidak (ini bahasa yang membinggungkan tetapi demikian memang adanya), dan smooth melewati seluruh jaringan instalasi pengolah asupan tubuh manusia.

Dokter yang menyarankan agar saya menghidari melahap ilulut demi kemaslahatan kadar kolesterol atau cengkeraman darah tinggi, pasti bakal dihapus dari daftar konsultasi. Mengingat indera cecap saya tergolong kuper kuliner, wahai para ahli kesehatan dan gizi, mohon diizinkan ilulut, ikan asin, durian, pete, talas rebus, dan wine tetap ada di daftar menu saya.

Sayang fantasi ilulut harus diintrupsi. Jemmy yang nama lengkapnya selalu segan saya tulis (karna sangat mirip dengan nama Ayahnya), menelepon demi sebuah perkara serius: Bagaimana adat dan tradisi di Mongondow tetap dijaga dan dilestarikan (yang luntur dan nyaris terlupa dikonservasi) melalui pelembagaan yang diformalkan oleh otoritas publik tertinggi di setiap wilayah BMR. Bentuknya, menurut Ketua Amabom ini, dituangkan dalam Perda Lembaga Adat.

Menjaga dan melestarikan budaya, tradisi, dan adat bagi setiap komunitas, entitas, atau etnis adalah kewajiban luhur eksistensinya. Ibarat berumah, tanpa tiga aspek penting itu, kita berdiam di bangunan tanpa atap yang morat-marit dan boleh dimasuki siapa saja seenak ke mana telunjuk neneknya mengarah (bermain-main upil di lobang hidup, mengorek-ngorek telinga, atau mencungkil slilit di sela gigi, di sembarang tempat dan waktu).

Masalahnya, budaya, tradisi, dan adat adalah konvensi yang hidup dan dihidupkan di tengah masyarakat, yang sifatnya menyatu bagai aliran darah di tubuh manusia. Ketika dia dilembagakan, di penjuru dunia mana pun, sesuatu yang luhur dan agung kerap tergelincir pada penyelewengan. Konstitusi negeri ini, misalnya, ketika tafsir, penegakan, dan pengawalannya dilembagakan lewat MK, justru tercoreng oleh kelakuan para penjaganya sendiri.

Warga KK pernah menyaksikan bagaimana Walikota 2009-2013, Djelantik Mokodompit, memanipulasi adat menghadapi perseturuan dengan lawan-lawan politiknya. Para pungawa adat dikerahkan, bersidang, dan akhirnya menjatuhkan sanksi terhadap seteru politik Walikota, yang hingga kini putusannya tak pernah dieksekusi. Kita akhirnya cuma menyaksikan lelucon yang sebenarnya meleceh hal-hal yang tinggi dan dijunjung, yang diintisarikan dari tahun-tahun dan abad sejak orang Mongondow pertama mulai menghuni Lopa’ in Totabuan.

Saat tokoh-tokoh dan elit publik dengan seenaknya membengkok-bengkokkan adat, di kampung-kampung orang banyak terseok-seok meraih pengangan pada sejumlah kecil tetua yang masih setia meniupkan roh agung etnis Mongondow ini. Kendati, kian hari mereka juga hampir tak kuasa menahan derasnya lumeran adat yang kepayahan diterjang arus budaya dan tradisi kontemporer. Tak semua yang baru buruk, tak selalu yang lama itu baik dan benar. Tetapi kehilangan seluruh yang lama bukanlah esensi peradaban.

Bangunan budaya, adat, dan tradisi yang dikonstruksi dari setiap pengalaman yang ditapaki orang Mongondow kini hanya dipraktekkan sekadar sepotong seremoni. Seorang tetua memberi pengantar dalam bahasa Mongondow di mintahang telah menjadi adat karena kita orang Mongondow; mogama’ harus diselenggarakan di setiap ikatan pernikahan karena demikian kata adat; dan para pemimpin mesti menyandang gelar adat karena dia adalah pemangku budaya dan tradisi Mongondow.

Kita seolah melupakan mintahang bukan sekadar makan-makan dalam sedih, senang, susah, dan syukur. Orang Mongondow mengalami amnesia permanen bahwa kalau ada mogama’, bagaimana dengan mopobui? Jangan ditanya lagi dengan gelar yang biasanya disematkan ketika seorang tokoh naik ke jabatan publik tinggi. Kita tak peduli setelah itu ternyata dia curang dan hanya menjarah hak orang banyak; gagal melaksanakan amanah; serta cacat dan buruk secara sosial, dia tetap Ki Sinungkudan. Praktek adat Mongondow dalam tafsir tahun-tahun ke belakangan ini memang memilukan hati.

Kesadaran itu membuat saya spontan menyatakan dukungan terhadap upaya Jemmy mendorong re-aktualisasi budaya, adat, dan tradisi Mongondow, sepanjang dia sesuai, tepat, dan sejalan dengan kekinian. Sekali pun saya juga bukan fans Amabom yang di beberapa kesempatan kerap saya kritik. Ikhtiar yang baik harus dibersama-samakan perwujudannya.

Di sisi lain, saya tak dapat menyembunyikan kekuatiran. Melembagakan adat dengan menuangkan dalam bentuk Perda tidaklah sulit. Mau diberi nama ‘’Lembaga Adat’’, ‘’Dewan Adat’’, Majelis Adat’’, atau ‘’Perhimpunan Penderita Supi’ dan Darah Tinggi’’, laksanakan saja. Tapi bagaimana dengan implementasinya? Siapa-siapa yang berhak duduk dan bagaimana memilih mereka? Soalnya, sejauh yang saya ketahui, urusan tetek-bengek teknis bukanlah hal sulit; tidak dengan kearifan dan kebijakan yang menjadi fondasi utama adat Mongondow.

Saya kuatir bahkan baru ditahap menentukan orang per orang yang dipercayai menjadi hakim keberadatan dan peradatan orang Mongondow, kita sudah terjebak di tengah arena perebutan pengaruh dan klaim. Belum lagi menetapkan mana yang menjadi wilayah budaya, adat, dan tradisi; dan mana yang mesti tetap tunduk pada hukum formal dan praktek-praktek berbangsa dan bernegara. Bagaimana pun Mongondow adalah bagian dari Republik Indonesia.

Tapi saya percaya pada ajaran orang-orang tua bahwa niat baik harus diwujudkan. Kalau ternyata setelah itu dia menjadi bengkok, maka tinggalkan dan mulai mencari ikhtiar baru yang lebih baik. Karenanya, Jemmy dan seluruh orang Mongondow, mari kita urus perkara ini dengan sebaik-baik, sesaksama-saksama, dan sesegera-segeranya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Amabom: Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow; BMR: Bolaang Mongondow Raya; KK: Kota Kotamobagu; kuper: Kurang Pergaulan; MK: Mahkamah Konstitusi; dan Perda: Peraturan Daerah.