Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, October 8, 2013

‘’Manufacturing and Hopeless’’


DI ZAMAN kini hampir seluruh media cetak, termasuk yang berkantor dan diterbitkan di BMR, dipublikasi pula dalam versi digital. Radar Bolmong yang diklaim sebagai harian pagi ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’, walau update-nya timbul tenggelam, juga dapat diakses di http://www.radarbolmong.com/. Pembaharuan terakhir, hingga tulisan ini dibuat (Selasa, 8 Oktober 2013), dilakukan Kamis, 30 September 2013. Harap maklum, bukan tak mungkin keterlambatan itu akibat penanggungjawabnya sedang terbongkok-bongkok memenuhi kewajiban cash in.

Pengakses web Radar Bolmong yang terbiasa dengan situs-situs berita nasional (dan internasional bagi yang kecakapan bahasa asingnya cukup mumpuni), pasti sependapat disainnya biasa saja. Standar dengan komposisi warna yang (terus-terang) berselera dangdut. Kurang sedap di mata. Namun gangguan paling mencolok adalah slideshow para wartawannya yang dipajang di sepertiga sisi kanan atas. Inilah web koran pertama yang saya temui, yang melayani naluri narsis jurnalisnya, seolah-olah mereka adalah selebritis atau penulis top yang punya fans jutaan.

Tapi pemajangan wajah-wajah para jurnalis itu dapat pula dianggap sebagai terobosan jenial. Dia menjadi bentuk pemakluman pada publik di BMR, khususnya yang berkepentingan dengan ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial, agar jangan sampai salah wajah salah orang, yang mengakibatkan salah kontrak dan akhirnya salah setor.

Di luar gangguan itu, hal mencolok lain adalah banner ‘’Manufacturing Hope Dahlan Iskan’’ yang diletakkan di sisi kanan paling atas halaman utama web. Klik-lah banner itu dan Anda akan dibawa ketautan yang berisi tulisan-tulisan DI, yang sesuai penamaannya (kurang lebih bila di-Indonesia-kan berarti Pabrik Harapan) patut diyakini membawa pembangkit semangat dan nyali.

Kebanyakan orang yang terpukau dengan DI pasti khusyuk menyimak apa yang dia tulis, terlebih mereka yang memajang ‘’Dahlanis.... Kerja..., kerja..., kerja....’’ di status BBM-nya. Saya bukan penggemar dan hampir tidak pernah membaca tulisan-tulisan DI. Bukunya, tentang ‘’kesyukuran pada kehidupan yang dianugerahkan Tuhan’’ ketika DI sukses menerima cangkok hati, hanya saya bolak-balik sebentar dan langsung kehilangan minat.

Mungkin karena saat itu saya sedang tergila-gila pada kisah profesor computer science and human-computer interaction and design dari CMU, Pittsburgh, Pennsylvania, Randolph Frederick “Randy’ Pausch (1960-2008). Didiagnosa menderita kanker pankreas dengan kesempatan hidup tinggal menghitung hari, Randy Pausch tak menyerah dan bahkan menjelang ajal, pada 18 September 2007, masih memberikan kuliah yang ditajuki The Last Lecture: Really Achieving Your Childhood Dreams.

Kuliah terakhir yang menguras airmata para pesertanya itu, belakangan menjadi roh dari buku The Last Lecture (2008) yang ditulis Randy Pausch bersama wartawan Wall Street Journal, Jeffrey Zaslow. Buku ini bukan hanya inspiratif dan melecut nyali, tetapi menegaskan bagaimana kegigihan anak manusia mewujudkan mimpi dan harapan.

DI adalah wartawan yang dibesarkan dari tradisi Tempo, salah satu kawah Candradimuka bagi banyak penulis esai andal di negeri ini. Sekali pun demikian, tentu tak adil membandingkan dia dengan Randy Pausch dan Jeffrey Zaslow, terlebih sepengetahuan saya DI bukanlah salah satu di antara jajaran penulis kelas kakap Tempo. Esainya datar, terlalu pop, dan mudah diduga. Ibarat cerita pendek, tulisan-tulisannya cocok untuk konsumsi para remaja.

Tak urung saya terkikik-kikik dan meng-klik banner ‘’Manufacturing Hope’’ yang mencolok itu ketika mendadak teringat pada derita cash in yang dipikul para pewarta Radar Bolmong. Kalau benar tulisan-tulisan DI yang khusus dikoleksi Radar Bolmong (hingga dibuatkan tautan tersendiri) tentang dan menginspirasi harapan, dia sungguh kontradiksi yang menggelikan. Benar-benar kemunafikan sempurna. Di satu sisi, dengan menunggang nama besar DI (bahkan dia dapuk pula sebagai Pembina Radar Bolmong) media ini mengkampanyekan harapan; sementara di lain pihak praktek-praktek jurnalistik dan manajemen keredaksiannya dengan darah dingin membunuh harapan jurnalis dan publik yang lebih luas.

Benar dugaan saya, tulisan-tulisan yang ‘’dianggap’’ Radar Bolmong sebagai ‘’pabrik harapan’’ itu memang penuh kabar baik, kembang, dan bunga-bunga versi DI. Apakah menarik atau tidak, tergantung selera orang-orang per orang. Kalau pun dipaksa memberikan penilaian, saya akan mengatakan, ‘’Saya lebih suka tulisan kawan akrab saya, Sastrawan Terbaik Indonesia versi Majalah Tempo, AS Laksana, yang kini rutin menulis kolom di Harian JP. Sepengetahuan saya, DI-lah yang menginstruksikan agar redaksi JP menjadikan AS Laksana penulis tetap, setelah secara tak sengaja membaca artikel yang dia kirim dan terbengkalai begitu saja di meja seorang redaktur.’’

Setidaknya DI cukup peka, awas, mampu menilai, mengakui, dan menghargai arti ide, kandungan tulisan, dan keterampilan menulis dibanding Pemred Radar Bolmong (yang tentu sebagai bagian dari Grup JP pasti turut mendewakan DI sebagaimana kebanyakan wartawan di kelompok media ini). Dugaan saya karena DI memang memahami tulis-menulis dan keredaksian media, berbeda dengan Budi Siswanto yang cum laude hal-ihwal pemasaran koran yang target utamanya adalah cash in dan hanya cash in.

Saya sangat ingin tahu apa reaksi penulis ‘’pabrik harapan’’ itu bila diperhadapkan dengan bukti-bukti kebiadaban pewajiban cash in oleh Pemred Radal Bolmong pada jajaran pewartanya. Dan sembari menanti hari H itu, saya nukilkan komentar yang dikirim Sahrul Mamonto, yang saya terima Senin, 7 Oktober 2013.

Sahrul menulis, ‘’Sabagai mantan wartawan Posko Manado dan termasuk perintis Radar Bolmong saat pertama diterbitkan, saya sangat prihatin dengan nasib kawan-kawan, khususnya awak redaksi. Adik-adik saya di Radar Bolmong sering curhat, akhir-akhir ini mereka jadi susah tidur karena memikirkan beban (tambahan dari saya: cash in) yang ditanggungkan. Beban itu pulalah yang menjadikan mereka tidak objektif dalam menulis berita. ‘Bekeng brita jo datar datar dari torang berharap kontrak dengan dorang,’ ungkap salah seorang redaktur seperti yang tuturkan kembali oleh reporternya kepada saya.’’

Tentu, paparnya, ‘’Saya tidak ingin terlibat di wilayah perseteruan antara Pemred Radar Bolmong dengan Katamsi Ginano. Tapi kritikan pada  pemberitaan yang setiap kolomnya ditakar dan disesuaikan dengan fulus si nara sumber, tentu benar-benar sangat menyedihkan. Radar Bolmong yang ketika terbit tempo hari begitu disegani dan diperhitungkan, kini menjadi koran yang kehilangan roh. Sungguh menyedihkan dan memalukan.’’

‘’Menurut hemat saya, Pak Dahlan Iskan perlu melihat dan mengevaluasi pengelolaan manajemen seluruh anak perusahaan JP agar koran dikembalikan pada hakikatnya, bukan sekadar penyaji berita tapi menjadi alat kontrol,’’ tegas Sahrul.

Ya, Sahrul Mamonto dengan tepat mewakili kata hati dan nestapa kebanyakan wartawan Radar Bolmong, yang sekali pun sudah menyampaikan langsung ke saya, nama-nama mereka tidak dapat dipublikasi hingga waktunya nanti. Saya membayangkan, alangkah lucunya bila DI diminta mengakui ‘’Manufacturing Hope’’-nya diimani dan sukses diimplementasi di Radar Bolmong menjadi ‘’manufacturing and hopeless’’. Koran ini adalah pabrik jorok (sweatshop) yang paripurna memproduksi dan menjual keputus-asaan, harapan yang diamputasi, dan kesia-siaan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; bbm: Berita Berbayar Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; CMU: Carnegie Mellon University; curhat: Curahan Hati/Mencurahkan (Isi) Hati; DI: Dahlan Iskan; dan JP: Jawa Pos.