Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, October 28, 2013

Amuk Poigar: Begitulah Tambang Diurus Cara Warung Kelontong


POIGAR rusuh. Status BBM salah seorang jurnalis di Kotamobagu itu saya baca Sabtu siang, 26 Oktober 2013. Wah, ada apa di Poigar? Masyarakat minta jadi kabupaten baru lalu ketularan aksi menutup jalan dan merusak Mobdin ala warga Dumoga saat menuntut pembentukan Bolteng? Tanya-tanya di kepala kian mengelembung karena kabar susulan menginformasi ruas jalan di kawasan itu diblokir dan warga menyalakan unggun bakaran ban bekas.

Membaca atau mendengar ada rusuh di wilayah Mongondow, asosiasi kita biasanya tak jauh dari bentrok atau hadang-hadangan yang kerap meletus di Dumoga. Saking seringnya, lama-lama kita mahfum dan menganggap  kejadiannya tak beda dengan olahraga tradisional masyarakat setempat. Dan karna sifat setempatnya, orang banyak yang tak punya kaitan dan urusan, sebaiknya minggir sejauh mungkin. Panah wayer dan batu yang beterbangan tak punya mata dan petunjuk arah ke sesiapa mesti mendarat.

Menjelang sore mulai jelas musabab meradangnya warga tiga desa di Poigar hingga mereka berdondong turun ke jalan menggelar aksi. Di berita Protes Aktivitas PT Malta, Warga Tiga Desa Blokade Jalan (http://totabuan.co/2013/10/26/protes-aktivitas-pt-malta-warga-tiga-desa-blokade-jalan/), Totabuan.Co, Sabtu, 26 Oktober 2013, menulis masyarakat yang keberatan dengan beroperasinya tambang biji besi di wilayahnya, unjuk kebolehan karena marah mengetahui tiga tronton membawa masuk peti kemas berisi peralatan penyedot pasir ke area konsesi PT Malta. Publikasi yang sama juga ditemukan di Lintasbmr.Com, Tolak Tambang Pasir Besi, Warga Poigar Blokir Trans Sulawesi (http://lintasbmr.com/poigar-kembali-memanas-ribuan-warga-tolak-tambang-pasir-besi/).

Media lain, Harian Tribun Manado, Minggu, 27 Oktober 2017, lebih rinci mengambarkan akibat kemarahan warga arus lalu lintas yang melalui kawasan itu terhenti. Sonny Terjebak Selama 4 Jam dalam Antrean Kendaraan (http://manado.tribunnews.com/2013/10/27/sony-terjebak-selama-4-jam-dalam-antrean-kendaraan) tulis koran ini, melengkapi konstruksi situasi untuk mereka yang tidak mengalami langsung peristiwanya di Poigar.

Tambang sebagai salah satu industri yang ‘’meledak’’ di negeri ini setelah 1998 menjadi isu panas tersendiri, terutama relasi antara perusahaan dan para pemangku kepentingannya. Operasi tambang sendiri, khususnya di Indonesia, sejak KK pertama diberikan pada Freeport di Papua, memang tak henti diwarnai ketidak-sepahaman khususnya antara perusahaan dan masyarakat sekitar.

Khusus tambang pasir besi, yang biasanya dioperasikan di pesisir pantai, beberapa tahun terakhir diketahui kerap memicu bentrok. Jenis tambang ini, terutama di persepsi penggiat lingkungan dan masyarakat sekitar, dianggap paling merusak dibanding pengerukan metal dan mineral jenis lain. Khusus di Sulut, selain PT Malta, huru-hara penolakan tambang pasir besi tercatat terjadi di Pulau Bangka (Minut) dan pesisir Desa Paret (Boltim). Bahkan tambang pasir besi di Desa Paret yang dioperasikan PT MPU dua kali digeruduk dan dibakar massa.

Bertahun bekerja di perusahaan tambang membuat saya cukup memahami masalah-masalah yang dihadapi industri ini dan para pemainnya. Di Indonesia, pebisnis tambang sendiri setidaknya dibagi dalam tiga kategori. Pertama, perusahaan tambang yang memang mengkhususkan diri di sektor ini dan punya track record panjang. Perusahaan jenis ini sudah makan asam-garam, kenyang masalah, dan menyadari, kendala terbesar yang dihadapi bisnis ini bukanlah aspek teknis, melainkan non teknis, terutama ‘’izin sosial’’ dari para pemangku kepentingan.

Kedua, perusahaan investasi yang menanamkan uang dan menguasai perusahaan tambang. Kepentingan utamanya adalah menjaga agar investasinya mendatangkan keuntungan maksimal. Untuk itu perusahaan yang dimiliki, terlebih bila itu entitas yang terdaftar di bursa saham, harus menunjukkan performance tinggi, teknis dan non teknis. Biasanya jenis perusahaan seperti ini sangat sensitif terhadap gejolak sosial di sekitar operasinya. Sebagai catatan, sebagian besar jenis perusahaan pertama juga masuk kategori jenis kedua karena mereka terdaftar di bursa saham, dalam maupun luar negeri.

Dan ketiga, perusahaan tambang yang dimiliki dan dioperasikan oleh para pemain baru di sektor ini atau mereka yang memiliki dana dan punya koneksi politik kuat. Berakhirnya rezim KK dan PKP2B setelah keluarnya UU No 4 Tahun 2009 Tentang Minerba membuat Kepala Daerah punya kewenangan besar mengeluarkan IUP, IUPK, dan IPWR. Berbondonglah pengusaha kelontong, pemilik pabrik sandal, bahkan artis yang kelebihan uang, menanamkan duit di operasi tambang. Kepemilikan izin tambang itu kian mudah apalagi bila jenis pengusaha ini dekat dengan penguasa daerah.

Karena tujuan utama kalangan usaha jenis ketiga itu semata menciptakan mesin uang, titik berat operasi tambangnya adalah mengeruk sebanyak-banyaknya dan menjual sesegera-segeranya. Pendekatan yang sangat teknis ini biasanya mengabaikan aspek-aspek lain yang justru amat sangat penting bagi industri tambang: Keseimbangan dan keberlanjutan lingkungan; serta stabilitas dan  keberlanjutan dinamika dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan keamanan sekitar operasinya.

Bagi pengusaha jenis ketiga ini (dan saya berkeyakinan PT Malta juga masih startup di bisnis tambang), cukup dengan mengantongi izin mereka berhak men-deploy peralatan dan mulai menggaruk bahan tambang di areal yang dikuasai. Toh izin yang dikantongi sudah dilengkapi berbagai syarat dan pra syarat, terutama Amdal. Ada keberatan dari masyarakat sekitar yang terkaget-kaget karena lahan miliknya disodori dokumen pembebasan, jalan dan areal pemukimannya mendadak dipenuhi lalu lalang kendaraan operasi dan alat berat tambang, bahkan protes dan demo, adalah urusan aparat berwenang.

Polisilah yang kemudian menjadi garda depan dan kambing hitam, berhadap-hadapan dengan massa yang muak dan meluapkan amarahnya. Bupati-Wabup atau Gubernur-Wabup, instansi dan badan yang berwenang pun biasanya cari aman dengan aneka kilah. Alasan paling klasik yang kerap dinyatakan adalah demi ekonomi daerah; daerah memerlukan investasi; perusahaan sudah menempuh cara legal dan berhak menjalankan operasi berdasar izin yang dikantongi; dan bahwa masyarakat bakal turut menikmati berkahnya lewat program Comdev, sponsorship, dan donasi .

Padahal bisnis tambang modern yang profesional tidak lagi menumpuhkan operasinya semata pada aspek legal dan teknis. Manajemen pemangku kepentinglah yang kini menjadi panglima sukses-tidaknya eksplorasi dan eksploitasi satu perusahaan tambang.

Tidak mengindahkan manajemen pemangku kepentingan sama artinya dengan bunuh diri terstruktur. Dan untuk amuk penolakan terhadap operasi PT Malta oleh warga Poigar, sepanjang perusahaan bersikukuh hanya dengan pendekatan legal dan teknis, saya berani menyatakan tinggal menunggu waktu lalu nasibnya bakal berakhir sama seperti PT MPU di Desa Paret.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Comdev: Community Development; IUP: Izin Usaha Pertambangan; IUPK: Izin Usaha Pertambangan Khusus; IPR: Izin Pertambangan Rakyat; KK: Kontrak Karya; Minut: Minahasa Utara; Mobdin: Mobil Dinas; PKP2B: Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara; PT MPU: Perseroan Terbatas Meitha Perkasa Utama; Wabup: Wakil Bupati; dan Wagub: Wakil Gubernur.