Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, November 13, 2013

Gagah-gagahan Bahasa Jurnalis ‘’Radar Bolmong’’

LEBIH mudah mengingatkan sekumpulan kambing agar tak berkeliaran dekat kolam, saluran air, atau rawa-rawa, ketimbang mengetuk-ngetuk batok kepala jajaran redaksi Harian Radar Bolmong. Kambing yang sensitif air, sekadar kuyup diguyur hujan biasanya bakal demam dan bisa-bisa berakhir jadi bangkai. Yang repot dan mengurut dada cuma pemiliknya seorang.

Beda dengan ketololan pewarta dalam soal keliru menggunakan kata seperti yang sudah jadi tabiat laten Radar Bolmong. Kebodohan yang mereka praktekkan selalu berdampak dua sisi. Pertama, mencoreng profesionalisme, kapabilitas, serta kredibilitas jurnalis dan medianya. Wartawan yang gagap kecakapan paling dasar, hal-ihwal berbahasa, lebih baik menukar keyboard komputer dengan cangkul. Salah mengayunkan cangkul, entah itu terkena kaki sendiri atau cuma membuat tanah kebun bergunduk tak karuang, bukan urusan orang banyak. Toh cangkul, batang tulang kering, dan tanah itu milik Anda sendiri.

Dan kedua, penggunaan kata yang entah dipetik seenaknya dari pohon cabe siapa, menyesatkan pembaca awam dan mendidihkan darah mereka yang cukup paham berbahasa (Indonesia) baik dan benar. Syukur-syukur wartawan biongo berbahasa coreng-moreng itu cuma jadi obyek lelucon dan ejek. Bagaimana kalau berakhir jadi kasus hukum karena bahasa, kalimat, atau kata yang digunakan secara implisit berarti sangat menghina?

Untuk kesekian kali Radar Bolmong edisi Selasa (12 November 2013) memajang kesalahan berbahasa fatal yang menunjukkan jajaran redaksi koran ini ingin tampak cerdas dan bermutu, dengan ekspresi yang dikarang-karang sesukanya, seolah para pembaca adalah kambing buta-tuli yang sedang kram sakit perut. Adalah berita bertajuk Kriminalisasi Murid, Dekab Panggil Dikpora di halaman 3 (Bolmut) yang kali ini jadi pokok-soal. Berita ini disertai foto dengan keterangan, ‘’KRIMINALISASI MURID: Guru tidak dibenarkan melakukan kekerasan fisik kepada murid.’’

Mari kita telisik mengapa ‘’kriminalisasi’’ yang digunakan pewarta (dan jajaran redaksi) Radar Bolmong itu sekeliru menyamakan lutut sebagai otak. Supaya rujukannya dapat sama-sama mudah diakses (saya malas menggunakan literatur cetak sebagai sumber, sebab pasti mereka yang berhimpun di media ini lebih suka membaca syair Togel), yang digunakan adalah sumber-sumber online. Nah, menurut situs Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/kriminalisasi), kriminalisasi berasal dari criminalization (bahasa Inggris), yang berarti, ‘’dalam ilmu kriminologi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat.’’

Wikipedia berbahasa Inggris (http://en.wikipedia.org/wiki/Criminalization) lebih lengkap mencantumkan, ‘’in criminology, is ‘the process by which behaviors and individuals are transformed into crime and criminals.’ Previously legal acts may be transformed into crimes by legislation or judicial decision. However, there is usually a formal presumption in the rules of statutory interpretation against the retrospective application of laws and only the use of express words by the legislature may rebut this presumption. The power of judges to make new law and retrospectively criminalise behaviour is also discouraged. In a less overt way, where laws have not been strictly enforced, the acts prohibited by those laws may also undergo de facto criminalisation through more effective or committed legal enforcement.’’ Bagi yang tak paham bahasa Inggris, karena blog ini ditujukan pada pembaca yang tidak malas, saran saya gunakan Google Translate (http://translate.google.co.id/?hl=id&tab=wT).

Secara lebih sederhana, situs http://www.thefreedictionary.com/criminalization mendefinisikan criminalization sebagai ‘’legislation that makes something illegal.’’ Contohnya adalah sepotong kalimat, ‘’The criminalization of marijuana’’, yang dapat kita artikan ‘’menjadikan (penggunaan) ganja sebagai tindak (pidana) kriminal.’’

Masih menurut Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Kriminalisasi), ‘’Kriminalisasi mengalami neologisme, yaitu menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena hanya karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh dalam perseteruan KPK dan polisi, kata kriminalisasi digunakan media untuk mendefinisikan upaya polisi menjerat pemimpin KPK.’’

Sejalan dengan pengertian dari sumber-sumber online itu, KBBI (Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, 2005) mengartikan kriminalisasi sebagai, ‘’Proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.’’ Maaf, pembaca, dengan terpaksa saya harus merujuk pada satu sumber berbentuk buku, sekali pun saya ragu apakah Radar Bolmong punya sekadar satu copy KBBI di ruang redaksinya.

Benderanglah sudah pengertian ‘’kriminalisasi’’ sebagaimana yang diketahui umum. Kita pun dapat menafsir judul berita dan keterangan foto Radar Bolmong dengan pemahaman yang sama, bahwa: Menurut koran ini, di Bolmut para guru telah mendudukkan siapa saja yang menjadi murid sebagai pelaku kriminal. Pendeknya, Anda jangan jadi murid, sebab dengan demikian Anda adalah kriminalis. Dan yang menjadikan Anda kriminalis adalah para pendidik Anda sendiri.

Melihat adegan guru sedang menghajar (maaf) bokong muridnya dengan sepotong benda di foto yang menyertai berita Kriminalisasi Murid, Dekab Panggil Dikpora, kita patut menduga kata yang dimaksud bukanlah ‘’kriminalisasi’’ melainkan ‘’kriminali’’ (melakukan tindak kriminal). Dengan begitu tajuk yang tepat adalah Kriminali Murid, Dekab Panggil Dikpora. Judul ini pun baru mendekati dua pertiga kebenaran, sebab yang semestinya adalah Guru Kriminali Murid, Dekab Panggil Dikpora.

Pelajaran penggunaan kriminil, kriminal, kriminali, dan kriminalisasi kita sudahi dengan menilai jurnalis, jajaran redaksi, dan sumber berita yang tulisan ngawur selangit itu sebagai para kriminil. Menurut hemat saya, gara-gara cuma dijadikan sapi perah cash in, tampaknya sudah menjadi takdir para pewarta Radar Bolmong lebih piawai menggunakan cangkul ketimbang pena dan komputer.

Sudah pula jadi nasib kebanyakan sumber berita yang mereka rujuk untuk tampak idiot dan menggelikan, karena pernyataan-pernyataan yang dikutip memang menunjukkan mereka bobodukon belaka. Tidak sebanding dengan kementerengan jebatan publik atau birokrasi yang disandang, yang di kasus berita Kriminalisasi Murid, Dekab Panggil Dikpora, sumbernya adalah yang terhormat oknum DPR Bolmut.

Tepat pula bila akhirnya membaca Radar Bolmong sekadar dianggap dan dijadikan penyaluran keinginan bermain-main, berolok-olok, atau menumpahkan serapah. Tidak ada manfaat lebih menyimak koran yang isinya mengkriminali pengetahuan pembacanya. Barangkali bahkan ikan atau kacang yang dibungkus koran semacam ini pun langsung busuk sebelum sempat ditanak, apalagi isi kepala kita. Wassalam.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Dekab: Dewan Kabupaten; Dikpora: Dinas Pendidikan dan Olah Raga; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; dan Togel: Toto Gelap.