Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, November 20, 2013

Ha ha ha, Manajemen ‘’Radar Bolmong’’ Memang ‘’Bobodukon’’ (2)

PASAL 2 hingga Pasal 8 UU No 40/1999 Tentang Pers secara gamblang menjelaskan apa itu institusi pers, kewajiban dan haknya, serta bagaimana wartawan bekerja dan mendapat perlindungan hukum selama menjalankan profesinya. Selain dilindungi UU ini, sebagai pekerja, para pewarta juga dipayungi UU No 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan.

UU berisi 193 pasal itu relatif lengkap mengatur bagaimana kewajiban dan hak pemberi kerja, pekerja, dan pengawasan terhadap penegakannya oleh institusi negara. Tentu akan panjang, membosankan, dan jauh dari menggugah selera bila seluruh pasal yang mengatur kewajiban dan hak pekerja, khususnya terkait dengan skorsing tiga wartawannya oleh Radar Bolmong, mesti dibahas satu per satu. Toh pembaca atau siapa pun yang berkepentingan kini gampang mengunduh UU No 13/2003 dan mempelajari secermat-cermatnya.

Maka telaah yang dilakukan lebih bersifat umum namun substansial. Mula-mula adalah bagaimana hubungan antara pemberi kerja (Harian Radar Bolmong) dan pekerja (wartawannya), yang tentu mesti didasari dokumen yang mengikat secara hukum. Di perusahaan, institusi, atau lembaga yang menerapkan standar sebagaimana mestinya, dokumen-dokumen itu biasanya disebut sebagai employment documents atau yang lebih umum kita kenal sebagai perjanjian kerja, SK, dan sejenisnya.

Adakah ikatan antara Radar Bolmong dan wartawannya dituangkan dalam dokumen yang demikian? Semestinya ‘’ya’’, karena di dalamnya tercantum kewajiban dan hak kedua pihak, termasuk salary dan benefit yang diterima wartawan dari media tempatnya bekerja. Merujuk praktek umum di negeri ini, employment documents juga menyebutkan setiap pekerja harus mematuhi etika, norma, budaya, SOP, dan berbagai aturan yang ditetapkan (secara tertulis) oleh pemberi kerja.

Alangkah mengejutkan dan menggelikan tatkala mengetahui Radar Bolmong nyatanya tak beda dengan warung onde-onde. Jangankan SOP dan aturan-aturan kerja tertulis yang menjadi panduan internal karyawan dan wartawannya; umumnya awak media ini ternyata tak mengantongi sepotong pun SK atau kontrak kerja. Bagi sebagian karyawan dan wartawan yang namanya dicantumkan di boks manajemen dan redaksi, bukti status pekerjaannya hanya dirujuk dari sini dan (kalau pun ada) bukti penerimaan gaji.

Manajemen suka-suka hati ini menempatkan pekerja di Radar Bolmong dalam posisi ‘’datang tanpa kepala, pergi tanpa punggung’’. Masuk gampang, sekadar (bagi wartawannya) mampu merangkai kata dan kalimat, bersedia pontang-panting memburu sumber berita, dan menyetor cash in; keluar atau ditendang pun mudah. Maaf kawan-kawan jurnalis di Radar Bolmong dan Grup MP, nasib sapi perah tampaknya masih lebih baik dari sebagian besar Anda. Walau susunya setiap pagi direlakan untuk tuan pemilik, sapi perah masih dilengkapi sertifikat kepemilikan dan diasupi dengan konsumsi prima.

Ketiadaan ikatan hukum pemberi kerja-pekerja di Radar Bolmong membuat mereka yang duduk di posisi pengendali manajemen leluasa pula berbuat sesuka hati. Wartawan yang dianggap gagal mencapai target cash in dipinalti dengan non aktif atau ditiadakan statusnya. Alpa mengikuti rapat redaksi atau tak mematuhi instruksi, dijatuhi hukum skorsing tanpa batas waktu. Apa dasar yang digunakan, tanya pada pohon sirsak di tepi ruas jalan Sinindian-Matali, di mana koran ini berkantor, karena Pemred dan Wapemred pasti tak pernah membaca UU Tentang Ketenagakerjaan, bahwa sekadar SP pun ada masa berlakunya.

Sesuai UU No 13/2003, pekerja yang tidak mematuhi kewajiban, etika, norma, budaya, SOP, kerbijakan dan berbagai aturan yang ditetapkan pemberi kerja, boleh diskorsing atau di-PHK tetapi harus dengan dasar yang secara hukum dan administratif dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum tindakan itu dilakukan, minimal pekerja mendapat SP yang diberikan sesuai tingkat kesalahan yang dilakukan.

Skorsing atau PHK memang boleh langsung dilakukan, tetapi pelanggaran yang dilakukan tergolong sangat berat, semisal terlibat tindak kriminal berat seperti pembunuhan, Narkoba, merusak asset atau merugikan pemberi kerja hingga mengganggu kelangsungan bisnisnya secara permanen. Pelanggaran ini harus dicantumkan dengan jelas dalam employment documents atau peraturan kerja yang disepekati bersama antara pemberi kerja dan pekerjanya. Di luar itu, menurut hemat saya, seperti kasus skorsing yang dialami tiga wartawan Radar Bolmong, mereka seolah diberi jalan tol menggungat pidana dan perdata yang bakal dengan mudah dimenangkan.

Ketiadaan employment documents, SOP, kebijakan dan aturan tertulis, serta perlakuan semena-mena yang dialami tiga wartawan Radar Bolmong itu bahkan sudah tergolong pelanggaran HAM. Surat skorsing yang ditanda-tangani Pemred dan Wapemred yang mereka terima juga menjadi bukti kriminalisasi terhadap pekerja oleh pemberi kerja, tanpa dasar hukum memadai.

Akan menjadi lelucon akhir tahun yang meriah bila tiga jurnalis yang kini berstatus TJ itu melaporkan nasibnya ke Komnas HAM serta menggugat pidana dan perdata nama-nama mentereng yang terkait dengan koran ini dan kelompok penerbitannya, seperti Dahlan Iskan, Imawan Mashuri, Suhendro Boroma, Tauhid Arief, Taufik Adam, serta PU, Pemred, dan Wapemred Radar Bolmong. Liputan media lokal dan nasional pasti gempita, apalagi Dahlan Iskan sedang mengadang-ngadang dan menjual diri sebagai calon Presiden RI 2014-2019.

Selain bakal membeber dan mendeder kelakuan bangsat manajemen Radar Bolmong dan Grup MP, gugatan tiga wartawan berstatus ‘‘’skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan’’ itu berpotensi pula membangkrutkan media ini. Di tangan penasehat hukum dan litigator piawai, sungguh mudah membuktikan Radar Bolmong dan kelompok yang memayunginya sama sekali tidak pantas dihormati, apalagi dibiarkan terus-menerus mempraktekkan manajemen dan jurnalisme munafik seperti yang selama ini digiatkan.

Itu sebabnya, apalagi yang dapat kita konklusi dari institusi pemberitaan publik yang setiap hari berkoar tentang etika, norma, budaya luhur, kemanusian, kepatuhan terhadap hukum, HAM, anti korupsi, ketata-laksanaan, dan transparansi; sementara di saat bersamaan mereka menginjak nilai-nilai agung itu, kecuali sebutan jahanam? Kata ini tak jauh beda dengan biadab yang telah berulangkali saya tuliskan di blog ini, yang kian lengkap karena kebodohan dan ignorance jajaran manajemennya yang sudah mencapai batas (dalam bahasa Mongondow) bobodukon. Menghadapi para jahanam yang bobodukon, dengan segala keterbatasan dan risiko, saya lebih dari sukarela bersedia turut serta.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; HAM: Hak Asasi Manusia; Komnas: Komisi Nasional; Narkoba: Narkotika dan Obat-obat Terlarang; Pemred: Pemimpin Redaksi; PHK: Pemutusan Hubungan Kerja; SK: Surat Keputusan; SMS: Short Message/Pesan Pendek; SOP: Standard Operation Procedure; SP: Surat Peringatan; TJ: Tidak Jelas; UU: Undang-undang; dan Wapemred: Wakil Pemimpin Redaksi.