Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, November 21, 2013

‘’Hid, Begitukah Cara Mengurus Koran dan Wartawannya?’’

GEDUNG tua di Jalan Babe Palar Manado, tepat berdampingan dengan kediaman mantan Walikota Manado 1966-1971, Almarhum Hi Rauf Mo’o, adalah monumen penanda kelahiran Grup MP, salah satu kelompok penerbitan yang kini menggurita di Indonesia Timur. Bangunan ini mulanya rumah tinggal berarsitektur Belanda dari era setelah kemerdekaan yang diubah jadi kantor, tak lama setelah JP men-take over Harian MP (yang mulanya koran spesialis kriminal).

Yang Terhormat Presdir Harian Radar Bolmong, M Tauhid Arief, karib dari zaman romantis idealisme berjurnalistik, saya yakin engkau tak melupakan bagaimana saya dan beberapa kawan bergabung sebagai rekrutan generasi pertama MP di bawah rezim JP. Hid (izinkan saya menggunakan sapaan yang selalu sarat persaudaraan dan pertemanan ini), seingat saya engkau adalah satu dari segelintir wartawan MP generasi pra JP yang menyambut kami bukan sebagai pesaing. Tidak menatap para ‘’anak bawang’’ Carep dengan pandangan pandang enteng. Sejak hari pertama hingga terakhir saya di MP, engkau selalu menjadi kawan profesional dan pribadi yang mengasyikkan.

Di masa itu tensi politik kantor antara ‘’wartawan lama’’, ‘’kiriman JP’’, ‘’impor dari sesama anak perusahaan’’, dan rekrutan baru, berkelindang mempolarisasi bukan hanya relasi antar personal; tetapi juga hingga bagaimana seluruh sistem bekerjasama supaya koran yang setiap pagi diterbitkan cukup bermutu, kau adalah bagian dari ‘’mereka’’ yang berdiri di jalur tengah. Engkau, yang mendapat sapaan kesayangan ‘’Si Gondrong’’ dari ‘’Panglima Redaksi’’, Asdar Muis RMS, yang diimpor dari Harian Fajar, diterima di semua kelompok yang bergesekan.

Kita (Asdar Muis RMS, engkau, dan saya –belakangan bertambah beberapa kawan lain seperti Burhanuddin Bella yang juga berasal dari Harian Fajar) dengan cepat menjadi sobat. Menjadikan kantor ‘’rumah’’, berbagi ruang di pondok kayu yang ditegakkan di halaman belakang, atau berebut mengakuisisi veltbed milik Asdar ketika mata tak kuat lagi menahan kantuk.

Sebagaimana saya banyak belajar dari Asdar dan Buhanuddin, dengan engkau pun saya memetik aneka tips, trik, dan kepraktisan-kepraktisan kreatif seorang wartawan tatkala dia turun lapangan. Harus diakui, di antara seluruh wartawan MP generasi sebelum JP, diam-diam (lengkap dengan keesentrikan rambut kriwil gondrong yang lebih banyak berantakan ketimbang tersisir) telah ternujum satu saat engkau akan menjadi ‘’seseorang’’, entah di MP atau lebih dari itu.

Di ingatan yang tetap segar, engkau adalah salah satu pewarta otodidak (betapa lucu saya bahkan tidak pernah tahu –juga tak peduli-- latar pendidikanmu, toh kau sudah membuktikan dari kualitas kerja dan profesionalisme) yang nyaris komplit. Engkau mampu meliput, menulis, dan mengedit berita dan feature politik hingga sekadar lengak-lengok artis. Pengecualiannya mungkin isu-isu ekonomi, yang bila bersentuhan dengan angka-angka, selalu cepat membuat kau bosan dan jengkel.

Lalu tiba waktu ‘’pemberontakan demi pemberontakan’’ meletus di MP masa lalu. Satu per satu orang pergi. Mula-mulanya generasi MP pra JP, para pewarta impor dari anak perusahaan JP yang lain, sejumlah wartawan kelahiran Sulut yang di-deploy dari JP, dan akhirnya generasi saya. Para pewarta yang tersisa dari masa itu adalah para survival, antara lain engkau dan Ais Kai (sepengetahuan saya dia kini tak lagi bekerja di Grup MP).

Kenangan saya terhadap kepergian dari MP, sekali pun pahit, telah bertahun-tahun dimaafkan dan disyukuri sebagai bagian dari stupidity journey. Sesuatu yang harus dilalui sebelum akhirnya kita terjaga dan tergelak. Setidaknya saya pernah dengan bangga menertawai diri, sebab percaya bahwa kerja setara profesor absah belaka dibayar dengan kompensasi jauh di bawah pendapatan seorang tenaga kasar harian. Bahwa banting tulang satu-dua hari, tiga-empat bulan, atau lima-enam tahun bakal terbayar dengan tegaknya media yang profesional, kredibel, independen, dan benar-benar dapat dibanggakan.

Saya masih tetap terbahak-bahak setiap kali mengenang tahun-tahun pancaroba di Jalan Babe Palar itu. Betapa naifnya terkagum-kagum pada Dahlan Iskan yang setiap kedatangannya disambut bagai ‘’nabi’’ pembawa kabar baik dan harapan. Atau di rapat-rapat internal dan pertemuan redaksi menyimak Imawan Mashuri menjanjikan ‘’satu saat nanti’’ wartawan MP akan sejahtera lahir-bathin. Koran yang dipelihara, dipupuk dengan kerja keras dan keringat seluruh jajarannya, akan menuai sukses untuk semua.

‘’Satu saat nanti’’ itu saya saksikan setidaknya tujuh atau delapan tahun belakangan. MP membesar dengan cepat, melahirkan anak-anak di banyak daerah, termasuk Malut dan Bolmong di mana engkau kemudian menjadi Presdir dan Dirutnya. Saya, juga kebanyakan eks MP dari generasi ke generasi menyaksikan ‘’mimpi yang jadi nyata’’ itu dengan kagum dan syukur. Terlebih kalian (jajaran eksekutif Grup MP), kawan-kawan yang umumnya saya kenal akrab, juga tampak makmur dan sejahtera. Wartawan Grup MP bukan lagi gerombolan kumuh, kurang tidur, kurang duit, tetapi tetap bangga dan sombong seperti zaman Jalan Babe Palar; melainkan tokoh-tokoh yang hadir sebagai elit sosial di wilayah yang dicakupnya.

Lalu fakta-fakta itu mendadak terbeber. Bermula dari kritik saya terhadap penggunaan kata yang amat keliru di Radar Bolmong, yang lalu menguak begitu banyak praktek tercela yang jelas-jelas mengencingi filosofi, etika, norma, standar, dan keluhuran praktek-praktek jurnalistik. Tidak itu saja, manajemen cash in yang diterapkan dengan brutal (khususnya) di redaksi Radar Bolmong, di mana engkau tercantum sebagai Presdir, bahkan dengan telanjang dapat dibuktikan sebagai ulah para psikopat tukang peras.

Hid, kemana kabar baik, harapan, dan mimpi yang disemai bertahun-tahun lampau hanyut di Grup MP, khususnya Radar Bolmong? Di kalangan elit seperti kalian mungkin tak jadi soal, tapi bagaimana dengan wartawan yang bongkok memikul kewajiban cash in; tanpa legalitas kekaryawannya yang dijamin hukum; dengan mekanisme kerja, SOP, aturan, dan kebijakan sesuka ‘’bos-bos’’ perusahaan dan redaksi? Kemana para pewarta yang diperlakukan lebih buruk dari kuli kontrak dan romusha ini mengadu, ketika mereka dianiaya dengan non aktif atau skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan, semata karena mangkir rapat redaksi atau abai menunaikan penugasan? Atau alasan lain yang dicari-cari, dikreasi, demi mendepak yang tidak seide dan sejalan?

O, terhadap ‘’skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan’’ yang Jumat (15 November 2013) dijatuhkan Radar Bolmong pada tiga wartawannya, menurut hemat saya, semestinya jadi anugerah tak ternilai. Bukankah mereka harus tetap menerima hak-haknya (salary dan benefit) hingga waktu yang tidak ditentukan pula? Hid, kepiawaianmu sebagai salah seorang wartawan kriminal terbaik di Sulut, pasti akan mengkonklusi simpulan yang sama. Tidakkah aturan dan UU-nya memang mengatur demikian?

Sesungguhnya saya tidak menuntut jawaban apapun. Apa yang ditulis ini cuma semacam gumaman, solulokui, sembari mengenang sepotong tahun yang penuh warna denganmu dan banyak kawan lain di MP masa lalu. Namun tetap ada yang mengganjal, yang setidaknya ingin saya bawa dan tanyakan. Saya membayangkan, entah itu di Ternate atau satu tempat di Sulut di waktu dekat ini, kita berdua duduk di hadapan kopi dan kudapan mengepul, bertukar cerita, lalu akhirnya saya menyampaikan pertanyaan, ‘’Begitukah cara mengurus koran dan wartawannya?’’

Mudah-mudahan saya punya cukup ketegaan menderas kalimat sederhana itu, Hid. Saya tahu, diperlukan berton-ton alasan hingga akhirnya kau akan mengangkat tangan dan mengakui: Di Radar Bolmong (mungkin pula MP dan seluruh anak-anaknya) kabar baik, harapan, dan mimpi-mimpi yang pernah sama kita dengar bertahun lampau hanya berlaku untuk segelintir orang. Bukankah kita sama tahu pula, sorga tidak untuk seluruh umat manusia, demikian juga dengan neraka?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Carep: Calon Reporter; Dirut: Direktur Utama; JP: Jawa Pos; MP: Manado Post; Presdir: Presiden Direktur; dan UU: Undang-undang.