Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, November 27, 2013

Badut di Komidi Putar ‘’Penyitaan’’ DB 25 D

DUA berita yang diunggah Lintasbmr.Com, Selasa, 26 November 2013, masing-masing Mobil Dinas DB 25 D Milik Pemkab Bolmong Masih ‘’Disita’’ Oknum Kontraktor (http://lintasbmr.com/mobil-dinas-db-25-d-milik-pemkab-bolmong-masih-disita-oknum-kontraktor/) dan KY Bantah ‘’Sita’’ DB 25 D (http://lintasbmr.com/ky-bantah-sita-db-25-d/), menambah daftar lelucon di lingkungan Pemkab Bolmong. Kian hari, sejak rezim Bupati Salihi Mokodongan-Wabup Yani Tuuk berkuasa, pemerintahan di kabupaten ini semakin mirip komidi putar yang dijalankan para badut.

Raibnya Mobdin DB 25 D yang sedianya dialokasikan untuk Kadis PU, sejatinya bukan isu baru.  Senin, 23 September 2013, saya sudah menulis DB 25 D, Sogok-menyogok, dan Licin-melicin, yang disusul beberapa pemberitaan media (cetak dan elektronik) yang turut menyoroti isunya. Setelah itu, hening panjang bagai tengah malam di jantung kuburan. Pemkab Bolmong berlaku seolah tak terjadi apa-apa, pihak kepolisian duduk manis menunggu ada laporan resmi, dan masyarakat yang merasa tak berkepentingan dengan cepat berpindah ke isu lain yang lebih hangat dan heboh.

Di tengah dunia yang bergerak cepat, Kabupaten Bolmong beringsut-ingsut bagai siput demam dan pilek. Dibanding KK dan tiga kabupaten hasil pemekarannya, daerah ini berada di urutan paling buncit dari segala aspek, termasuk sukses mencatat disclaimer dari BPK selama dua tahun berturut –yang hampir pasti akan dilengkapi hattrick di tahun anggaran 2013 ini. Pembangunan, pemerintahan dan birokrasi, serta praktek politik yang lebih baik, yang menyertai terpilihnya Bupati Salihi Mokodongan-Wabup Yani Tuuk pada 2011 lalu, telah lama raib dari harapan kebanyakan orang yang mencermati jalannya kepemimpinan publik di Bolmong.

Birokrasi di Bolmong bagai mesin berkarat yang beringsut karena bahan bakar masih tersedia. Pengendalinya adalah sekelompok domba bingung yang tak punya arah, karena pengembalanya bukan hanya tak paham ihwal ternak, tetapi juga sama sekali tak ingin menyentuh pengetahuan gembala-menggembalai.

Nyaris hanya sebagai keisengan dan olok-olok, di banyak kesempatan saya menanyakan pendapat beberapa kalangan soal kedisiplinan PNS yang dua tahun terakhir mencapai praktek terparah di Bolmong. Jawabannya aneka rupa dan lucu-lucu. Dari ‘’Bupati tidak tahu apa itu disiplin’’; ‘’Bupati cuma bisa marah-marah dan setelahnya lupa’’; hingga yang maha serius: ‘’Segala sesuatu di Bolmong bukan tergantung pada Bupati Salihi Mokodongan, tetapi pada Bupati Ad Interim, Ibu Hajjah.’’

Saya tahu bahwa Bupati Ad interim itu adalah lontaran main-main yang menggambarkan pengertian sebaliknya. Bahwa de jure Salihi Mokodongan memang dilantik sebagai Bupati Bolmong; tetapi de facto sejak dilantik dia diposisikan ‘’tidak berada di tempat’’ dan kekuasaannya ada di tangan Bupati Ad Interim. Pembaca, tidak perlu menduga-menduga, yang dimaksud Ad Interim itu bukanlah Wabup Yani Tuuk yang kekuasaannya juga sama diamputasi. Kita, warga Mongondow, toh sudah tahu sama tahu.

De facto tidak berkuasanya Bupati Salihi Mokodongan terlihat jelas dari isu ‘’penyitaan’’ Mobdin DB 25 D yang telah terkatung-katung sejak November 2013. Apa sulitnya seorang Bupati memanggil pejabat yang ‘’menggadaikan’’ Mobdin itu, Inspektorat, dan Kepala DPPKAD, lalu menginstruksikan penyelesaian masalahnya sesegera mungkin? Faktor apa yang menghalangi Bupati Bolmong menggunakan wewenangnya?

Isu ‘’penyitaan’’ itu tidaklah sepele. Sebab tidakkah sangat memalukan Pemkab Bolmong yang menggembar-ngemborkan pembangunan yang tertata laksana, yang bergegas membenahi diri agar lolos dari jerat disclaimer ketiga kalinya, membiarkan pelanggaran seperti itu terjadi di depan mata, padahal mereka tahu kejadiannya bakal jadi duri di audit BPK serta lembaga pengawas dan pemeriksa lainnya.

Di sisi lain saya tak dapat menyalahkan siapa pun oknum ‘’penyita’’ Mobdin DB 25 D. Saya berkeyakinan tindakan yang dia ambil punya alasan kuat, terlebih dengan tidak adanya reaksi dari jajaran Pemkab Bolmong. Tidak memerlukan kecerdasan orang kuliahan hingga kebanyakan warga Bolmong sampai pada simpulan: Bupati dan jajarannya telah menjadikan pengelolaan harkat hidup orang banyak di Bolmong sebagai main-mainan, seperti anak-anak TK menyusun-bongkar balok-balok Lego.

Setali-tiga uang, aparat berwenang, khususnya kepolisian dan kejaksaan, juga menganggap skandal ‘’penyitaan’’ itu belumlah menjadi wewenang mereka. Halo, kemana saja komitmen turut menegakkan hukum, memberantas korupsi, dan penyelewengan oleh kejaksaan dan polisi? Bukankah informasi yang beredar luas cukup jadi jalan masuk jaksa atau polisi menggerakkan penyelidikan dan penyidikan? Atau korupsi memang harus selalu diusut setelah ada laporan resmi dari entah siapa?

Wajar belaka bila ada warga masyarakat yang akhirnya mengkonklusi, isu ‘’penyitaan’’ DB 25 D sudah jadi ‘’obyek dagang’’ aparat berwenang dan oknum-oknum di jajaran Pemkab Bolmong. Apalagi, seperti yang ditulis Lintasbmr.Com, ada temuan baru di balik kembali mengedepannya isu ini, yaitu: Rekaman audio skenario kongkalingkong menutupi skandal ini agar tak jadi perhatian BPK dan pihak kepolisian setempat.

Tidak salahlah isu ‘’penyitaan’’Mobdin itu telah dijadikan komidi putar oleh Pemkab Bolmong. Siapa badutnya? Penyataan-pernyataan Kepala DPPKAD, Amri Arif, yang dikutip Lintasbmr.Com membuat saya terpingkal-pingkal membayangkan hidung merah, wajah berbalur bedak tebal, rambut jabrik ala Albert Einstein, pakaian bermotif polka dot, serta sepatu bermoncong menggelembung. Yang membuat pernyataan seorang Kepala DPPKAD atau badut yang bersiap-siap pentas di HUT cucu Bupati?

Setelah berbulan tak ketahuan juntrungannya, menanggapi isu ‘’penyitaan’’ DB 25 D, dengan enteng Amri Arif berkilah, ‘’ Soal itu saya tidak tahu pasti apakah digadai atau bagaimana, sebab masih sedang menelusuri bagaimana jalan ceritanya.’’ Kepala DPPKAD ini tampaknya memang domba linglung yang tersesat, karena pernyataannya secara langsung mengkonfirmasi Mobdin yang jadi pokok-soal memang sedang tak dalam penguasaan Pemkab Bolmong.

Lelucon ala badut itu disempurnakan dengan alasan, ‘’Kami memang sedang mengusut keberadaan mobil tersebut ada di mana. Namun kami juga masih menunggu surat dari pihak Inspektorat Bolmong terkait hal itu.’’ Kemana saja Anda berapa bulan terakhir ini, Pak Kepala DPPKAD? Apa saja yang dilakukan hingga urusan yang hingga detilnya khatam diketahui publik, yang jelas berada di bawah lingkup kewenangan Anda, sama sekali tak Anda ketahui? Lalu apa sebenarnya yang Anda tahu?

Kalau Bupati dan Wabup tak mengeluarkan instruksi menyelesaikan masalahnya, atau ada instruksi tetapi Anda mengabaikan; bagaimana bila kami meminta Bupati Ad Interim turun tangan? Pasti amat kocak. Satu badut saja sudah cukup mengguncang perut, apalagi seluruh pengocok perut dilibatkan sekaligus dan biarkan kami menikmati kegaduhan karnaval hingga tiga tahun ke depan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; BPK: Badan Pemeriksa Keuangan; DPPKAD: Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah; HUT: Hari Ulang Tahun; Kadis: Kepala Dinas; KK: Kota Kotamobagu; Mobdin: Mobil Dinas; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PNS: Pegawai Negeri Sipil; dan PU: Pekerjaan Umum.