Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, November 20, 2013

Ha ha ha, Manajemen ‘’Radar Bolmong’’ Memang ‘’Bobodukon’’ (1)

LISTRIK byar-pet dan jaringan selular yang kerap datang dan pergi tak menghalangi cepatnya ruyakan kabar dari Kotamobagu. Jumat malam (15 November 2013), di tengah serapah koneksi internet yang selambat siput di seantero Manado, hampir serempak beberapa SMS dan BBM menjerit-jerit di telepon saya. Isinya pun seragam, ihwal nasib dan kepentingan beberapa ‘’pencari dan penyiar warta’’ yang tercatat sebagai awak redaksi Radar Bolmong.

SMS dan BBM itu umumnya menanyakan apakah saya sudah mengetahui ada tiga wartawan (bahkan di posisi senior) Radar Bolmong yang dijatuhi sanksi ‘’skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan’’? Bahwa surat pemberitahuan skorsing yang mereka terima ditanda-tangani Pemred Budi Siswanto dan Wapemred Firman Toboleo.

Awalnya saya tidak bereaksi karena beberapa orang yang menginformasikan skorsing itu mengatakan, alasan dihukumnya tiga wartawan itu sebab mereka mengabaikan penugasan dan doyan mangkir dari rapat redaksi. Saya tidak gila urusan dan masih sayang dengan kewarasan sendiri hingga sudah pula menghentikan langganan Radar Bolmong sejak dua bulan terakhir, jadi buat apa repot-repot membuang waktu memikirkan sepak-terjang media ini, lebih khusus kebijakan redaksinya.

Di negara-negara di mana demokrasi dan pers bebas mendadak dinikmati seperti bah bendungan jebol, media yang tak waspada mudah jatuh sekadar produksi pamflet dan brosur iklan; serta jurnalis yang lepas kendali jadi semena-mena, pongah, dan tak tahu diri. Di Indonesia, situasinya kian kompleks sebab sejumlah kelompok media pun tak malu-malu memperjual-belikan berita seperti yang dipraktekkan Grup MP lewar kebijakan cash in. Media semacam ini juga memperlakukan jurnalis dan karyawanannya sebagai ‘’pencari kerja’’ yang tanpa reserve diminta berkhimat karena punya status pekerjaan. Mereka tidak dianggap dan diperlakukan sebagai asset intelektual penting, melainkan sekadar elemen mesin yang setiap saat boleh diganti atau dibuang.

Sumber berita dan pembaca Radar Bolmong boleh menghitung sendiri berapa banyak wartawan media ini yang terpental atau dipental dalam tiga bulan terakhir. Di media-media kredibel kehilangan satu-dua wartawan adalah pukulan, bahkan aib, apalagi bila mereka di level bukan lagi calon reporter dan dipinalti karena dinilai tidak kompeten atau membangkang. Ada yang sakit dari manajemen dan praktek keredaksian di media yang ditinggalkan pewartanya, terlebih jumlah yang pergi mencapai lebih dari setengah awak redaksi. Ajaibnya, kesadaran seperti itu tampaknya tidak berlaku di Radar Bolmong dan Grup MP umumnya.

Dengan pengetahuan yang kian luas terhadap praktek manajemen dan jurnalistik di Grup MP, bagi saya pribadi, Radar Bolmong memecat seluruh wartawannya, menghentikan penerbitan korannya, atau apa kek, terserah. Kalau pun saya masih menulis tentang media ini, sebab mereka adalah lembaga penyiaran publik yang sepak-terjangnya wajib dikritisi, dikritik, dan dikontrol setiap warga negara sebagaimananya hak umum yang dimilikinya.

Namun, saya agak terganggu dengan beberapa BBM yang berspekulasi para wartawan itu diskorsing sebab mereka pernah terlibat bincang-bincang dan bual-bual saat saya ada di Kotamobagu bertepatan dengan perayaan Idul Adha (Selasa, 15 Oktober 2013) lalu. Petang di satu hari sebelum Idul Adha saya memang berkunjung ke Kopi Jarod Sinindian, di mana kebetulan ada sejumlah wartawan (termasuk dari Radar Bolmong) yang tengah reriungan. Kami sempat berbincang-bincang, tidak lebih dari saling bertukar cerita dan lelucon.

Dengan kata lain mustahil ihwal-soal diskorsingnya tiga wartawan itu karena ada hubungannya dengan pertemuan tidak sengaja dengan saya. Lagipula di antara ketiganya hanya dua orang yang sepengetahuan saya ada di Kopi Jarod petang itu. Satu wartawan lagi bahkan sama sekali tidak pernah bertemu, apalagi berhubungan dengan saya, untuk jangka waktu yang sangat lama.

Rumor dan dugaan itu sangat tidak bertanggungjawab. Sebab bila demikian adanya, artinya Radar Bolmong telah mengkriminalisasi saya. Sebagai kriminil tanpa proses pengadilan dan tahu apa dosa yang diperbuat, kriminalisasi itu cukup jadi alasan saya menyambangi Kantor Radar Bolmong dan meludahi batok kepala jajaran manajemennya.

Di sisi lain, rumor itu dapat pula ditafsir sebagai bentuk ketakutan manajemen Radar Bolmong, lebih khusus para petinggi redaksinya, karena berhalusinasi saya memiliki kesaktian mempengaruhi jajaran wartawannya. Kok media yang mengklaim ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’, yang juga berlindungan di bawah payung Grup MP yang menyakini kelompoknya sebagai ‘’Terbesar di Sulawesi Utara’’, minder dan kehilangan taji hanya karena gangguan seorang penulis blog?

Memangnya skorsing terhadap wartawan yang kebetulan sekadar berpapasan, ngobrol, atau berbual-bual dengan saya menghentikan olok-olok, sentilan, dan tempeleng di kuping manajemen Radar Bolmong dan Grup MP? Justru rumor dan duga-duga yang beredar itu memantik ide, saya perlu mengunjungi jajaran direksi koran ini (yang semuanya saya kenal baik dan pasti tidak berani menolak ketukan di pintu rumah mereka). Kita kita lihat nanti apakah Budi Siswanto dan Firman Toboleo berani menandatangani surat skorsing untuk Suhendro Boromo atau Urief Hassan.

Saya bahkan tiba-tiba berencana meluangkan waktu menunggu kemunculan Wapemred Firman di ruang-ruang publik. Saya akan menyambangi dia di tengah orang banyak untuk menyampaikan banyak hal berkaitan dengan kebobrokan manajemen, cara kerja, dan produk medianya. Saya betul-betul ingin tahu apakah Wapemred yang saya kenal cukup rendah hati ini bakal mempermalukan diri sendiri di depan khalayak, terutama pemangku kepentingan (cash in) Radar Bolmong? Pula, apakah setelah itu dia bakal diganjar dengan ‘’skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan’’ atau tidak?

Akan halnya Budi Siswanto, saya masih punya urusan yang belum selesai. Pada waktunya nanti, ketika dia bahkan sama sekali telah mengabaikan, saya akan menangih hutang-piutang itu. Pemburu yang paling banyak membawa pulang buruan adalah yang memiliki kesabaran ekstra revolusioner. Saya cukup terlatih dan terbiasa untuk itu.

Mengingat  rumor dan duga-duga itu dianggap sekadar mengait-ngaitkan saya dan karena Radar Bolmong adalah lembaga penyiaran publik, kita fokuskan saja cermatan pada ‘’skorsing tanpa batas waktu yang ditentukan’’ itu, yang kini sudah jadi pengetahuan dan gunjing orang banyak. Pembaca, tampaknya jajaran manajemen Radar Bolmong datang dari jenis manusia yang benar-benar tumpul, tidak mau belajar, apalagi bercermin, dan gemar melanggar hukum. Surat skorsing untuk tiga wartawan yang ditanda-tangani Pemred dan Wapemred-nya, adalah contoh bagaimana mereka sekeras granit dalam soal mempertontonkan kebodohan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; BBM: BlackBerry Messenger; MP: Manado Post; Pemred: Pemimpin Redaksi; SMS: Short Message/Pesan Pendek; dan Wapemred: Wakil Pemimpin Redaksi.