Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, November 27, 2013

Kecup dan Lain-lain untuk HMI Bolmong Raya

JELANG siang, Rabu, 27 November 2013, beberapa BBM tiba di BB saya. Isinya seragam, tautan ke blog yang tampaknya dikelola Ketua HMI Bolmong Raya, Eko Satrio Paputungan (http://ekspap.blogspot.com/2013/11/yukur-moanto-kakanda-katamsi-tapi-ide.html). Tautan ini berisi tulisan yang menanggapi unggahan saya, Selasa, 26 November 2013, Gerombolan Itu Bernama HMI Bolmong Raya.

Saya sebenarnya tak berminat menanggapi yang mulia Ketua HMI itu. Apa yang dia tuliskan sekadar demam ‘’kekiri-kirian’’ (atau sebaliknya kekanan-kananan) yang umum diidap anak-anak muda yang kaget mencerna bacaan berat. Isinya tak jauh dari merontokkan selera makan siang dan meneguhkan kekuatiran saya terhadap kader-kader HMI masa kini: Gemar omong tanpa mikir, lebih percaya pada otot, tidak jelas logika dan struktur berpikirnya, serta (yang paling parah) merasa mereka adalah kelas elit tersendiri di tengah masyarakat. Preklah!

Bertahun-tahun lampau (saya bahkan sudah lupa kapan tepatnya, tetapi dapat ditelusuri dari kumpulan dokumen publikasi tentang HMI di media massa) saya pernah menulis di Harian Media Indonesia, bila HMI ingin survive, organisasi ini mesti mampu membebaskan diri dari beban sejarah dan model pengkaderan yang kaku. Ringkasnya, di zaman yang menjadi digital, HMI tidak cukup hanya intelek dan kritis, tetapi juga mampu menempatkan diri sebagai mercu suar pemandu yang memikat bagi generasinya.

Apa yang terjadi hari ini? Demo di Rudis Walikota dan tulisan Ketua HMI Bolmong Raya sebagai counter terhadap artikel saya menunjukkan HMI sudah tak intelek, tertinggal jauh pula dibanding zaman yang seharusnya diantisipasi satu organisasi dengan akar intelektual yang kuat. Di skala lebih luas, nasional, HMI kontemporer adalah organisasi yang gemar saling sikut dan kudeta. Dan puncaknya, Kongres untuk memilih Ketua Umum PB tak beda dengan pertemuan para hooligan: Riuh caci-maki, rebutan palu sidang, saling lempar kursi, hunus-menghunus pisau, serta bagi-bagi duit dari kandidat dan tim suksesnya untuk membeli suara cabang-cabang.

Tingkah dan pola itu yang dipertunjukkan di demo menggeruduk Rudis Walikota; juga tulisan Syukur Moanto’ Kakanda Katamsi, Tapi Ide Harus Sesuai Dengan Realitas dari Ketua HMI Bolmong Raya. Dengan berbaik hati dan memberi muka pada yang mulia Ketua (tak apalah sesekali saya melanggar tekad tak menanggapi hal tak penting), saya harus menjawab beberapa hal yang memang musti diluruskan dari pikiran-pikiran yang dia lontarkan.

Pertama, saya tidak pernah mengklaim sebagai ini-itu. Tidak juga Pemerhati Bolaang Mongondow yang entah Anda pungut dari tong sampah mana. Deklarasi status saya, bila menulis di media nasional, adalah ‘’Penggemar Buku’’; sedang di media lokal, saya dengan bangga menuliskan ‘’Orang Mongondow’’. Tidak lebih dan kurang. Jangan samakan saya dengan Anda yang mungkin tidak ‘’pe-de’’ kalau tak diembeli ‘’Ketua HMI Bolmong Raya’’.

Kedua, tuduhan saya tidak beretika, tidak tahu diri, dan tidak berkontribusi terhadap apa pun di Mongondow, jelas cuma ekspresi kemarahan orang yang tidak cukup cerdas mencari cara menyerang yang tepat. Di manakah ketidak-beretikaan itu? Tahukah pula Anda apa itu etika? Ketika segerombolan orang dengan pengeras suara menggeruduk halaman rumah orang lain, apakah kita menyebut itu etis dan beretika?

Di manakah pula ketidak-tahudirian saya? Saya hanya anggota masyarakat biasa, orang Mongondow dan warga KK, yang terkagum-kagum melihat sejumlah orang meng-klaim berhak mewakili masyarakat menuntut pemerintahnya? Tidak bolehkah orang yang terlongo-longo ini berkomentar, menilai, mencaci gerombolan tak terdidik yang berlaku sesukanya? Pula, siapa kalian? Memangnya HMI mendapat mandat dari warga mana saja lalu merasa menjadi wakil mereka? Mengaku-ngaku dan mengklaim-klaim itulah yang disebut tidak tahu diri.

Demikian pula, urusan apa seorang Ketua HMI Bolmong Raya menanyakan kontribusi saya terhadap Bolmong? Kalau saya tidak berkontribusi apapun, lalu Anda mau apa? Sekali lagi, saya cuma warga biasa, bukan seseorang seperti yang mulia Ketua HMI Bolmong Raya yang terseok-seok ingin diakui penting dan layak dapat perhatian. Anda yang inferior dan masih meyakin-yakinkan diri bahwa demo adalah salah satu cara berkontribusi terhadap pembangunan, kok orang lain yang diseret-seret.

Ketiga, rujukan saya terhadap penggerudukan Rudis Walikota oleh gerombolan HMI Bolmong Raya adalah media. Kalau info yang saya sitir itu keliru, maka proteslah media yang bersangkutan dan saya dengan sukarela meralat ketidak-akuratan yang dituliskan di blog ini. Masak kelas Ketua HMI (Bolmong Raya pula) tak mudeng perkara yang luar biasa sederhananya ini.

Keempat, lebih 50 persen warga KK yang memilih Walikota-Wawali di Pilwako Juni 2013 lalu tahu persis, mereka dapat menuntut janji-janji pasangan pemenang dengan segala cara. Tapi warga yang taat hukum, memahami aturan, mekanisme, dan sistem, pertama-tama harus membawa aspirasi dan tuntutan mereka ke DPR. Ini cara berdemokrasi yang konstitusional. Cara ekstra konstitusi, seperti demo, boleh dilakukan tetapi bila segala upaya konstitusional mampet dan masalah yang dikedepankan amat sangat penting bagi kelangsungan hidup khalayak.

Apa pentingnya tuntutan HMI Bolmong Raya agar Walikota KK menanda-tangani dokumen komitmen dengan organisasi ini? Andai Walikota mau menanda-tangani, setelah itu melemparkan ke got di depan Rudis, Anda dan HMI Bolmong Raya bisa apa? Menggugat? Menyumpahi Walikota? Atau mungkin mencari dukun sakti untuk menyantet Walikota?

Begini saja, demo itu kan cuma untuk cari perhatian. Dengan saya menuliskan, Anda dan organisasi Anda sudah dapat atensi. Tak perlulah minta pula dikecup pipi kiri-kanan, usapan di punggung, dan pujian hebat. Kalian sudah hebat-hebat; sekaligus tolol.

Ketua HMI Bolmong Raya, mari saya beritahu blak-blakkan: Anda dan organisasi Anda tidak penting dalam konteks ini. Cuma menimbulkan kebisingan (mungkin pula kemacetan) yang tidak perlu. Jadi sebaiknya balik ke sekretariat, belajar menulis yang baik dan benar, bikin kajian, lalu publikasikan. Ini cara modern di zaman digital yang lebih efektif, mengena, dan bermutu.

Kelima, HMI Bolmong Raya boleh menganggap kinerja DPR KK payah. Tapi mereka dipilih oleh warga kota ini serta hak dan kewajibannya dijamin UU. HMI Bolmong Raya juga boleh menyampaikan dan mengawal aspirasinya langsung ke Walikota-Wawali. Soalnya adalah seperti apa caranya? Anda menyebut berkoar-koar di jalan dan menggeruduk Rudis Walikota seperti orang kesurupan setan bugil sebagai cara sopan dan santun? Sekolah di manakah sebenarnya Anda?

Keenam, benarkah unjuk rasa HMI Bolmong Raya itu juga menyampaikan pemberitahuan (kalau benar ada pemberitahuan) ke pihak Polres Bolmong dengan men-disclosure akan pula menggeruduk Rudis Walikota? Saya yakin Anda adalah pembohong kelas wahid bila jawaban atas pertanyaan sederhana ini adalah ‘’ya’’.

Dan ketujuh, secara khusus saya ingin menjawab pertanyaan: ‘’... kok bisa ya, Walikota-Wawali KK yang dikritik Kakanda Katamsi Ginano yang kebakaran jenggot? Apakah Kakanda Katamsi diperintahkan Walikota?’’ Anda boleh mengecek rekam-jejak saya, apakah saya pernah menjadi tukang kritik pesanan. Kalau Anda menemukan fakta dan buktinya, saya akan hadir di sekretariat HMI Bolmong Raya untuk  meminta maaf pada organisasi ini, jajaran pengurus, dan anggotanya. Lagipula, demo yang dilakukan HMI Bolmong Raya tidaklah untuk mengkritik Walikota-Wawali, melainkan menanda-tangani komitmen.

Sebaliknya, saya justru ingin bertanya, benarkah demo Senin, 25 November 2013, itu adalah aspirasi HMI Bolmong Raya? Bagaimana kalau saya memiliki bukti bahwa itu demo pesanan belaka?

Harap dicatat pula, saya punya pertanyaan yang sama kritisnya: Mengapa HMI Bolmong Raya mendadak kalap mendemo Walikota-Wawali yang belum genap tiga bulan duduk di jabatannya? Mengapa organisasi ini mandul (atau ketakutan) mendemo perkara lain yang lebih substansial bagi kepentingan orang banyak, misalnya praktek jurnalistik Radar Bolmong yang sudah mencapai level perbuatan kriminal?

Ketua HMI Bolmong Raya, Anda dan organisasi yang Anda pimpin pilih-pilih isu dan sasaran, kan? Anda takut toh kalau yang disoal atau didemo adalah isu-isu tertentu yang tidak menguntungkan atau mengundang kontra banyak pihak? Di sinilah beda antara saya, Anda, dan organisasi yang Anda pimpin.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; KK: Kota Kotamobagu; PB: Pengurus Besar; Rudis: Rumah Dinas; UU: Undang-undang; dan Wawali: Wakil Walikota.