Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, November 28, 2013

‘’Bae Kita Anak Mami, Bukang HMI’’

LEWAT tengah malam, Kamis, 28 November 2013, saya masih bertekun dengan sejumlah dokumen ketika disambangi BBM dari seorang kawan di Kotamobagu. Yang tiba adalah tautan facebook seseorang bernama Samsul Bahri Gonibala (http://www.facebook.com/samsul.bahri.gonibala/notes#!/notes/samsul-bahri-gonibala/penjilat-berdasi-itu-bernama-katamsi/684584574899651).

Saya tidak punya account facebook dan tidak pernah berniat memiliki. Atas jasa baik kawan yang kerap bertukar canda itu, yang juga masih terjaga padahal hari sudah uzur menjelang fajar, saya lengkap mendapatkan curahan hati Samsul Bahri Gonibala. Isinya, di luar insinuasi saya adalah penjilat berdasi, tak beda dengan yang ditulis Ketua HMI Bolmong Raya, Eko Satrio Paputungan. Bikin tulisan saja harus saling contek? Cuma beginikah hasil pengkaderan yang dilakukan untuk aktivis-aktivis di Bolmong?

Belum reda ketercengangan saya, tautan tulisan Supriadi Dadu di Kompasiana.Com (http://m.kompasiana.com/post/read/614548/2/seharusnya-katamsi-menuliskan-gerombolan-itu-bernama-satpol-pp-part-1) masuk menyusul BBM sebelumnya. Setelah menyimak beberapa alinea, saya menghentikan membaca. Capek sungguh mengikuti kalimat-kalimat yang berkelindang tak karuan, bercerdas-cerdas padahal yang menulis barangkali turut pula pening bila kembali membaca apa yang dia tulis.

Sepengetahuan saya, kalau tak salah, selain aktivis HMI, Supriadi Dadu adalah wartawan di salah satu situs berita Sulut. Amatlah mengecewakan bila kualitas tulisan seorang wartawan (HMI pula) jauh kelas dibanding esai putra kedua saya yang baru berusia 12 tahun, yang salah satu tulisannya terpilih dibukukan di kumpulan tulisan-tulisan terbaik pelajar Primary School se  Australia.

Mengingat substansi yang disampaikan dua pengguna media sosial itu sejalan dengan Ketua HMI Bolmong Raya, apapun yang mereka tulis saya aminkan saja. Dicaci tanpa alasan jelas, terutama oleh orang-orang yang sakit hati ketahuan belangnya, telah lama saya mahfumi. Lagipula telah berulang kali diingatkan, orang-orang yang berpikiran pendek, yang langitnya hanya sepelemparan batu, mohon jangan membaca Kronik Mongondow? Blog ini hanya ditujukan pada mereka yang menyediakan diri berpikir tinggi dan terbuka. Yang otaknya cupet dan punya keberatan, tidak perlu lebih mempertontonkan kedunguan. Lapor ke pihak berwenang dan mari kita uji mana loyang, mana yang bukan.

Kalau pun saya menanggapi dua orang itu, yang tampaknya menganggap HMI adalah lembaga suci dan kader-kadernya luar biasa lurus dunia-akhirat, sebab ada bagian tulisan mereka yang terang-terangan membuktikan jahat, licik, dan manipulatifnya segelintir orang yang membanggakan diri sebagai aktivis organisasi mahasiswa, ber-label Islam pula. Padahal aktivis dengan kelakuan seperti ini pasti akan berakhir sebagai bajingan, sama dengan sederet kader HMI yang kini menghuni jeruji besi atau berstatus tersangka KPK karena menggarong duit negara.

Pembaca, setelah mengunggah Gerombolan Itu Bernama HMI Bolmong Raya, tiba-tiba sejumlah orang meng-add PIN BB saya. Saya tak pernah menolak dan memilih-milih tawaran perkawanan, karenanya seluruh ‘’orang baru’’ yang tidak saya kenal sebelumnya itu di-accept. Salah satunya Abdi Firmansyah Sutomo, SE. Walau demikian, mengikuti insting alamiah, saya mewaspadai kawan-kawan dadakan ini, apalagi kemudian percakapan yang dipertukarkan memancing-mancing dan menggiring saya ke isu-isunya tertentu.

Ai, bocah-bocah bau kencur, sepertiga rambut di kepala saya sudah memutih. Warna ini bukan hasil kreativitas salon. Saya sudah cukup berumur dan berjalan jauh untuk tahu pertemanan mana yang sincere dan mana yang disertai niat-niat tak baik. Maka umpan itu pun dilemparkan, yang dengan segera dilahap konspirator amatir itu, dipertukarkan di antara aktivis HMI Bolmong Raya, dimanipulasi oleh Samsul Bahri Gonibala dan Supriadi Dadu, lalu disebarkan di tulisan yang mereka unggah di facebook dan Kompasiana.Com.

Pikatan itu saya sodor di bual-bual BBM dengan Abdi Firmansyah Sutomo, SE, bahwa pada dasarnya saya juga HMI. Kalau ukuran menjadi HMI adalah mengikuti LK, saya tercatat sebagai pesertanya ketika HMI Manado bersekretariat di Gedung Serimpi. Bukan hanya itu, di beberapa angkatan LK I saya diminta turut memberikan training (khususnya tulis-menulis), yang satu ketika bahkan ‘’nyaris celaka’’ karena disodori materi NIK.

Sepotong-dua info itulah yang saya kisik ke Abdi Firmansyah Sutomo, SE, yang menyambar dengan tawaran, ‘’... kapan-kapan bisa kasih kajian tentang NIK....’’ Respons saya adalah, ‘’Kalau mau jangan kita, sekalian saja Nadia Madjid, Fami Fachrudin, atau Geisz Chalifah, supaya kelas berat punya.’’ Saya masih menyimpan percakapan BBM pribadi ini, yang disebar-sebarkan oleh Abdi Firmasyah Sutomo ke sesamanya, dan kemudian dipelintir Samsul Bahri Gonibala sebagai penolakan untuk bertemu dengan HMI Bolmong Raya. Pelintiran (dan kebohongan yang sama) juga dilaku Supriadi Dadu yang menuduh saya mengaku-ngaku sebagai kader HMI.

Mengetahui dua manipulasi itu, saya mengirim BBM ke Abdi Firmansyah Sutomo, SE, bahwa (sekali pun sudah mencium niat buruknya sejak awal) saya kecewa dengan cara jahat, licik, dan tak beretika yang dia lakukan. Mengapa percakapan antara dua orang yang sama-sama mewakili diri sendiri, bukan atas nama organisasi, tiba-tiba menjadi ‘’tantangan’’ HMI Bolmong Raya ke saya, yang tidak berani saya ladeni? Sepotong info bahwa pada dasarnya ‘’saya juga HMI’’ kok mendadak dituduh sebagai mengaku-aku?

Mari saya tanyakan pada tiga orang itu: Sejak kapan HMI secara resmi, atas nama organisasi, meminta saya hadir sekadar berbual-bual, saling ludah, atau duduk sebagai sesama manusia beradab yang memahami apa itu intelek dan barbar? Pula, kapan dan di mana saya secara terbuka mengaku-ngaku sebagai alumni HMI? Saya tidak pernah menyelesaikan pendidikan PT di Indonesia dan malu mengaku ‘’alumni’’; dan kini lebih malu lagi ‘’alumni HMI’’ melihat laku dan pola aktivisnya, khususnya di Bolmong Raya.

Yang berbahaya bagi negeri ini bukanlah orang-orang tidak berpendidikan atau mereka yang dengan sinis disebut oleh Samsul Bahri Gonibala sebagai ‘’hanya lulusan SMA’’, melainkan jahanam yang jahat sejak dalam pikiran. Terlebih pikiran itu dimuati ideologi dan kecakapan tertentu sebagai pembenar. Itukah yang kalian pelajari dari NDP di LK-LK yang dilakukan HMI masa kini?

Tidak salah kawan yang mengirim tautan tulisan Samsul Bahri Gonibala dan Supardi Dadu berkomentar, ‘’Bae kita anak Mami, bukang HMI.’’ Memang, untuk apa jadi kader HMI kalau substansi paling dasar, Islam, yang dibangga-banggakan organisasi ini hanya sekadar cap sebab kelakuan aktivis-aktivisnya justru jauh lebih buruk dari para pengusung atheism.

Begini saja, kumpulkan seluruh aktivis dan alumni HMI Bolmong Raya dan kita duduk buka-bukaan dan saling tunjung jago. Gatal betul saya menunjukkan pada Ketua HMI Bolmong Raya dan aktivis-aktivis yang dia pimpin, bahwa kini mereka sedang kuyup ludah ‘’ide harus sesuai dengan realitas’’. Apa ide Anda tentang kemaslahatan hidup orang banyak sesuai NDP dan panduan luhur HMI? Bagaimana realitasnya kini?

Tak perlu jauh-jauh, jejerkan mantan pengurus dan kader-kader HMI yang kini berserak di media massa di Sulut. Yang akan Anda-Anda lihat adalah tukang peras, kriminal, yang sudah lama mengencingi keluhuran-keluhuran yang pernah mereka pelajari dan khimati di organisasi ini. Menyebut nama mereka pun saya tidak jerih; apalagi cuma menempeleng bocah-bocah yang sedang gegar merasa penting dan pintar, memaki-maki tak karuan, semata karena ‘’apa daya pengetahuan tak memadai''.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; LK: Latihan Kader; NDP: Nilai Dasar Perjuangan; NIK: Nilai Identitas Kader; PIN: Personal Identification Number; PT: Perguruan Tinggi; dan Sulut: Sulawesi Utara.