Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, April 17, 2011

William Kamkwamba, Salihi Mokodongan dan Keberanian Bermimpi

DARI namanya, Walliam Kamkwamba, tentu bukanlah orang Mongondow. Tidak ada hubungannya pula dengan wilayah yang membentang di leher ujung Pulau Sulawesi yang kini terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota ini.

Saya ingin bercerita tentang anak muda dari Malawi, Afrika, ini karena dua sebab: Pertama, sepanjang akhir pekan (sejak dari Kota Kotamobagu hingga kembali ke Jakarta, Sabtu, 16 April 2011), saya membaca The Boy Who Harnessed the Wind: Creating Currents of Electricity and Hope (2009) yang dia tulis bersama Bryan Mealer. Buku luar biasa ini sudah diterbitkan di Indonesia awal April lalu oleh Penerbit Literati dengan tajuk Bocah Penjinak Angin. Kedua, selama menyimak halaman demi halaman pahit-getir riwayat William Kamkwamba, anehnya yang terbayang di kepala saya adalah sosok calon Bupati Bolmong 2011-2016 yang sudah terpilih, Salihi Mokodongan.

Alkisah, William Kamkwamba yang dilahirkan 5 Agustus 1987 di Dowa, Malawi, tumbuh di Desa Masitala, Wimbe (sekitar 2,5 jam perjalanan dari ibukota Malawi), putus sekolah di usia 14 tahun karena keluarganya –yang hidup dari bertani tembakau dan jagung— tak mampu membiayai. Ketika itu Malawi dilanda wabah kelaparan dan seluruh daya yang dimiliki keluarganya harus dikerahkan sekadar bertahan hidup.

Dihimpit derita dan kelaparan, William berpaling ke perpustakaan reyot di sekolah dasar dekat rumahnya dan menemukan buku Using Energy. Buku ini menginspirasi dia untuk membuat kincir angin penghasil listrik –yang masih menjadi barang langka di desanya, bahkan di seluruh Malawi. Anak putus sekolah ini kemudian memulung material apa saja yang mungkin digunakan mewujudkan mimpinya. Begitu terobsesinya William dengan mimpinya hingga dia dianggap gila oleh kebanyakan penduduk desa.

Tatkala dia akhirnya berhasil membangun kincir angin yang mengalirkan listrik ke rumahnya dan hanya cukup menghidupkan bola lampu mobil –tapi bagi keluarganya yang hanya mengenal lampu minyak tanah, itu sudah sebuah keajaiban--, William Kamkwamba segera jadi pusat perhatian. Mula-mula hanya oleh orang-orang sedesa, lalu meluas ke seluruh Malawi, Afrika, dan akhirnya dunia.

Kincir angin itu mengubah hidupnya dari bocah miskin Malawi menjadi salah satu anak muda yang dianggap sebagai ‘’berlian’’ Afrika di masa datang. Dia diundang dan bicara di konferensi serta pertemuan internasional energi dan elektronika pretisius; didukung kembali ke bangku sekolah –yang sudah lima tahun dia tinggalkan--; dan bahkan menerima sejumlah penghargaan kelas dunia.

Kegigihan William yang sejak 2010 melanjutkan pendidikannya di Amerika  membuat media sekaliber Wall Street Journal menulis khusus profil tentang dia. Hasil kreasinya, yang membuat namanya mendunia, sebagian besar kini dipajang di Meseum Ilmu Pengetahuan dan Industri Chicago. Sedang buku yang dia tulis bersama Bryan Mealer dipilih sebagai salah satu dari 10 buku terkemuka Amazon.Com pada 2009.

Berani Bermimpi

Pertanyaannya: dimana hubungan antara William Kamkwamba dan Salihi Mokodongan? Kalau ada yang menganggap saya cuma mau pamer buku dan menghubung-hubungkan antara dua sosok itu, mari saya uraikan lebih jauh.

Dua orang itu sesungguhnya tak jauh beda. Hanya kisah hidup Salihi Mokodongan masih dianggap ‘’terlalu biasa’’ dan belum spektakuler ditulis, kecuali bila dia akhirnya dilantik sebagai Bupati Bolmong 2011-2016 (bayangkan, dia akan menjadi Bupati pertama di Indonesia yang hanya mengantongi Surat Tanda Lulus SD, Ijazah Paket B untuk SMP, dan Ijazah Paket C untuk SMU).

Kesamaan terdekat William Kamkwamba dan Salihi Mokodongan adalah keberanian mereka bermimpi. Juga kerja keras mewujudkan mimpinya. Saya tidak mengatakan mimpi Salihi Mokodongan yang dimaksud adalah menjadi Bupati Bolmong; melainkan sesuatu yang ditarik ke belakang ketika dia menamatkan SD di Lolak dan setelah itu putus sekolah.

Di satu percakapan panjang dengan Om Salihi, terungkap bahwa dia tak pernah bercita-cita jadi pengusaha perikanan (pemilik armada kapal penangkap ikan) sukses dengan ekonomi yang mapan –apalagi jadi calon Bupati terpilih—seperti saat ini. Kerja kerasnya, mulai dari jadi pedagang ikan kecil-kecilan, kemudian pedagang pengumpul, lalu pemilik perahu, dan akhirnya penguasa armada kapal tangkap (mungkin satu-satunya dari etnis Mongondow), tak lebih dari upaya untuk hidup lebih baik. Karena dia kapok menjadi orang susah.

Mimpi Om Salihi yang berharap bisa makan cukup dan tidur nyenyak  ‘’atas karunia laut”, tak beda dengan William Kamkwamba yang bersusah payah membangun kincir angin agar punya listrik, hingga mereka mereka sekeluarga dapat mendengarkan radio dan punya penerang supaya tak buru-buru naik ke tempat tidur setelah malam turun. Kalau kemudian mereka mendapatkan yang melebihi mimpi sederhananya, itu karena ‘’siapa yang menanam, dia pula yang menuai’’. Dan, ‘’hanya mereka yang berjalan malamlah yang akan melihat fajar merekah’’.

Keduanya, untuk skala yang berbeda, juga membawa harapan (minimal) pada orang-orang di sekitarnya. Jauh sebelum Salihi Mokodongan digadang-gadang ikut serta di Pilkada Bolmong, namanya sudah kerap disebut sebagai contoh baik kerja keras, kerendahan hati, dan rasa syukur. Yang datang dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, bukan ‘’anak sekolahan’’ di Mongondow, dan bukan pula kerabat dari elit politik dan birokrasi, punya penghiburan, sebab: Lia pa Salihi Mokodongan, nyanda skolah tapi karna karja kras boleh hidop sanang deng banya doi.

Kata terakhir, ‘’doi’’, sangat mengganggu saya setiap kali mempercakapkan Om Salihi, seolah-olah siapa saja yang berhubungan dengan dia semata karena ingin ikut merasakan uang yang dimilikinya. Sama dengan rumor yang disebar kemana-mana bahwa menjelang Pilkada Bolmong, Rabu (22 Maret 2011) lalu, pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk membanjiri para pemilih dengan uang yang tak terhitung jumlahnya. Betapa berbahayanya imajinasi yang lalu dianggap sebagai fakta.

Kenyataannya, di Pilkada lalu pemilih Salihi Mokodongan-Yani Tuuk umumnya adalah ‘’orang-orang kecil'' yang melihat pasangan ini sebagai harapan mereka sendiri. Sama seperti William Kamkwamba yang mendunia karena mereka yang sama miskin dan hampir kehilangan harapan melihat dia sebagai representasi dari mimpi mereka.

Usai membaca membaca The Boy Who Harnessed the Wind: Creating Currents of Electricity and Hope, ketika Garuda 601 menurun mendekati Bandara Soekarno-Hatta, saya memutuskan tidak ambil pusing lagi apakah Salihi Mokodongan-Yani Tuuk akan dilantik sebagai Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 atau tidak. Kalau gugatan Didi Moha-Norma Makalalag dan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit akhirnya berbuah Pilkada ulang (dan yang terburuk Salihi Mokodongan tak boleh ikut serta karena satu dan lain hal); hormat, simpati, dan empati saya terhadap Om Salihi tidak bakal berkurang sedikit pun.

Buat saya, dia (seperti William Kamkwamba dan banyak orang hebat lain di muka bumi ini) selalu bisa menjadi contoh bagaimana mimpi yang paling mustahil pun bisa diwujudkan.***