Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, April 6, 2011

Eyang dan Tangisan Itu

Medi Lensun dan Sehan Lanjar.
Foto: Internet
MATAHARI di atas Jakarta masih menggantung  di ubun-ubun ketika telepon saya berdering, Selasa (5 April 2011).  Waktu menunjukkan hampir pukul 13.00 WIB.

Perlu beberapa detik untuk mengenali suara yang langsung menyapa saya dengan ‘’Saudaraku’’. Ternyata yang menelepon adalah Bupati Boltim, Sehan Lanjar. ‘’Terima kasih karena sudah mengingatkan saya lewat tulisanmu, Saudaraku,’’ katanya, berulang-ulang.

Beberapa jenak saya kehilangan kata-kata. Tulisan yang dimaksud Eyang (dia lebih suka disapa demikian oleh mereka yang akrab dengannya) adalah Eyang, So Lupa Itu Janji? Yang di-posting di blog ini Sabtu (2 April 2011) yang kemudian dimuat Harian Media Sulut edisi Selasa, 5 April 2011.

Saya makin sulit bicara karena tiba-tiba Eyang terisak-isak. ‘’Saya tahu saya keliru. Dan saya tahu pula bahwa kau, Saudaraku, mengingatkan aku agar selalu hati-hati menjaga amanah,’’ ujarnya.

Ya, di artikel itu saya memang ‘’mengingatkan’’ –sebenarnya lebih tepat disebut mengkritik— Eyang karena merayakan HUT pernikahannya bersamaan dengan kunjungan kerja (Kunker) di Pulau Nanas, Minggu (27 Maret 2011) lalu. Bahwa dari sisi etika, apa yang dia lakukan itu tidaklah elok. Tidak melanggar hukum apapun, hanya kesilapan kecil, yang saya kuatirkan bila tidak diingatkan berpotensi terulang lalu menjadi biasa dan akhirnya kebiasaan seperti yang umum dilakukan para pejabat publik: mencampuradukkan urusan orang banyak dengan pribadi.

Pengalaman Pertama

Mengingat kebanyakan pejabat bertelingga tipis, apalagi kalau itu Walikota, Bupati atau Gubernur, saya sebenarnya lebih siap menerima telepon penuh amarah; karena dianggap mempermalukan Bupati dengan kritik yang pedas. Di depan umum pula. Sepanjang ‘’karir’’ saya menulis, bukan sekali-dua saya mendapat caci-maki (dan ancaman) karena tulisan yang dianggap keterlaluan.

Menghadapi respons seperti itu, biasanya saya cuma cengengesan. Berani mengkritik, apalagi dengan bahasa yang kerap tidak sopan atau penuh olok-olok, mesti siap pula menerima umpan balik yang sama, atau bahkan lebih keras. Prinsip saya, sepanjang kata-kata dibalas kata-kata, argumen ditindak-lanjuti dengan argumen, tak masalah. Tapi kalau sudah menjurus ke ancaman kekerasan fisik, lain lagi soalnya.

Itu sebabnya saya hampir tidak siap menerima telepon dari Eyang, Bupati yang dianggap paling keras kepala dan reaktif di seluruh Mongondow, yang justru mengucapkan terima kasih karena dia dikritik. Seingat saya, itu adalah pengalaman pertama di mana seorang pejabat publik setingkat Bupati tanpa basa-basi mengakui kekeliruannya. Tidak pula dia berdalih, misalnya dengan menyalahkan orang lain (padahal saya yakin kesilapan itu hampir seluruhnya dikontribusi oleh para bawahan).

Tak lebih 30 menit setelah telepon dari Eyang, kami (saya dan seorang kawan, Tohap Munthe) bertemu dengan dia, salah satu stafnya, Rizky Lamaluta, dan Reiner Ointoe di Hotel JW Marriott, Mega Kuningan. Begitu kami bertemu, seusai salaman dan berpelukan, Reiner (kawan yang saya akrabi sejak masa remaja) berucap, ‘’Bukang main, ngana bekeng Bupati maleleh aermata.’’

Budaya Baru

Politikus yang piawai memainkan perannya bisa lebih ahli berakting dibanding aktor dan aktris kebanyakan. Tak akan saya tampik bila ada sinisme dan tuduhan ‘’melelehnya airmata Bupati Boltim’’ karena tulisan yang mengkritik dia, hanyalah bagian dari ‘’tuntutan peran politik dan pencitraan diri’’. Tapi saya pribadi berpendapat, saat menelepon saya, dia tidak dalam disain ‘’pura-pura menyesal’’ dan airmata yang meleleh adalah ‘’tangis komodo’’.

Tidak. Saya yakin itu sesuatu yang spontan dari Eyang; yang hatinya belum menjadi lempung atau batu sekali pun kini duduk di kursi Bupati. Saya tidak pula berani mengatakan berhasil menyentuh hati kecilnya, hingga membuat dia melelehkan airmata. Yang lebih tepat adalah Eyang memang punya kecerdasan, kesadaran dan kepekaan menangkap pesan dalam tulisan, yang kebetulan datang dari seseorang yang sebetulnya dekat dengan dia, tanpa kandungan kebencian. Kalau yang menulis orang lain, yakinlah reaksinya akan sama: berterima kasih dan menjadikan catatan agar lebih awas di masa datang.

Pembaca, saya yang pongah dan sok tahu ini sangat jarang memuji orang; apalagi  berpretensi menyanjung Eyang. Toh saya tidak punya kepentingan apa-apa terhadap dia dan kekuasaan yang saat ini digenggamannya, kecuali sebagai orang Mongondow saya bermimpi –yang juga menjadi mimpi kita semua— punya pemimpin yang pantas dipanuti; dan sebagai kawan memiliki kawan dalam senang dan susah.

Bila perilakunya konsisten hingga akhir masa jabatan, menurut hemat saya Eyang –dan juga Medi Lensun—bisa dijadikan contoh generasi baru kepemimpinan di Mongondow. Yaitu pemimpin yang manusiawi, lepas dari bayang-bayang ego dan kecenderungan feodal, serta jauh dari basa-basi yang cuma membikin rakyat capek.

Karena manusiawi itu, kita tak bisa menuntut Eyang dan Medi Lensun berubah jadi manusia tanpa cacat-cela selama menjabat Bupati-Wabup. Kekuasaan, besar atau kecil, memberikan banyak ruang bagi para penggenggamnya untuk silap, keliru, terpeleset, terantuk, atau bahkan gelap mata.

Pemimpin yang baik adalah mereka yang menyadari bahwa dengan membuka diri terhadap kritik dan koreksi seluas-luasnya, mereka akan memperkecil kemungkinan (sadar atau tidak) menyalahgunakan kekuasaannya. Sebaliknya, di hadapan pemimpin yang demikian orang banyak juga tak segan menyampaikan pendapatnya. Lebih penting lagi, pengalaman empirik peradaban manusia khatam mengajarkan: semakin terbuka seorang pemimpin terhadap kritik dan koreksi, semakin lembut bentuk dan penyampaian kritik dan koreksi yang dia terima.

Eyang, terima kasih telah menyimak apa yang saya tuliskan sebelumnya dan memberikan respons yang masih jadi surprise buat saya, bahkan disaat menuliskan artikel ini.  Saya yakin rakyat Boltim selalu menerima Anda apa adanya. Jangan ragu merumuskan kebijakan, mengambil keputusan, dan berimprovisasi.

Jangan pula kuatir andai ada sinisme dan tudingan bila misalnya ada kerabat Anda (anak, istri, kakak dan adik, atau keluarga lingkaran dekat lain) yang kiprahnya mengkilap di sektor yang mereka pilih di Boltim, di saat Anda menjabat Bupati. Bila Anda terus-menerus membuka diri, meluaskan hati menerima yang membakar kuping sekali pun, maka segala yang dicapai itu justru menjadi bukti objektif Anda adalah pemimpin yang handal dan adil.

Sebelum melantur kemana-mana dan mulai mengambil alih tugas uztad dan akhirnya tulisan ini malah jadi tauziah, saya harus berhenti dan menunggu momen berikut. Entah itu sentilan atau justru pujian, kita lihat nanti. Yang jelas, Eyang, Anda Bupati pertama di Mongondow yang secara pribadi saya kenal dekat dan tetap asik, sekali pun sudah jadi Bupati. Semoga itu tidak pernah berubah.***