Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, April 21, 2011

UDK: Universitas Dega’ Ka’in

CIVITAS Akademika Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK) jangan buru-buru meradang membaca judul tulisan ini. UDK yang saya maksudkan adalah Universitas Dega’ Kain; bukan Universitas Dumoga Kotamobagu. Kesamaan inisial maupun tempat yang menjadi setting universitas ini berada, yaitu Kota Kotamobagu, cuma kebetulan belaka.

UDK yang bukan Universitas Dumoga Kotamobagu (ini Perguruan Tinggi –PT—kredibel, walau pengurus yayasannya kembar dan kini saling cakar, begitu pula dengan Rektor yang ada dua orang dan sama-sama mengklaim paling sah) pertama kali saya dengar sebelum menulis Kisah Ketololan, Ikan Paus dan Tude’ yang diunggah di blog ini pada Selasa (29 Maret 2011). PT ini disebut-sebut penuh takjub oleh orang-orang yang saya temui karena mampu meluluskan seseorang sebagai sarjana ekonomi (SE) dalam waktu dua tahun atau hanya empat semester.

Ada SE yang menyelesaian kuliah sesingkat itu sebenarnya adalah temuan tak sengaja. Saat itu, di 2010 lalu, saya serius memelototi rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS) di Mongondow, terutama sejak merebaknya skandal CPNS Kota Kotamobagu  yang tersangkanya hingga kini tak ketahuan juntrungnya, hingga satu-satunya kambing hitam adalah makluk halus yang kita kenal sebagai tuyul.

Di saat asik menelusuri CPNS yang dinyatakan lulus tes di Bolmong Induk, saya menemukan beberapa nama yang sepengetahuan saya sewajarnya masih sedang menempuh pendidikan di PT. Tentu kalau Anda menyelesaikan pendidikan SMU di 2007, kemudian baru mendaftarkan diri di PT pada 2008 untuk jenjang S1, maka di Agustus 2010 pastilah sedang duduk di semester lima.

Sepintar-pintar seorang mahasiswa, sejak sistem SKS diterapkan di Indonesia ada batasan-batasan yang ketat dijalankan di semua PT kredibel. Misalnya seorang mahasiswa dengan indeks prestasi (IP) 4 di semester pertama, diperbolehkan mengambil 24 SKS di semester kedua; dan demikian seterusnya di semester-semester selanjutnya. Di Fakultas Ekonomi (FE), yang umumnya harus menyelesaikan 143 SKS hingga layak menyandang gelar SE, wajar bila mahasiswa tekun dan pintar dinyatakan lulus hanya dalam antara tujuh-delapan semester. Artinya, dia menyandang gelar SE di kisaran 3,5 tahun.

Kalau dalam empat semester seseorang dinyatakan bergelar SE, hanya ada tiga kemungkinan: Pertama, dia mahasiswa pindahan, minimal sudah menempuh tiga atau empat semester dari PT lain di fakultas dan jurusan sama. Dua, universitasnya jenis abal-abal di mana gelar gampang diatur karena tekanan kekuasaan, uang, atau kombinasi keduanya. Tiga, si mahasiswa adalah jenius yang mendapatkan keistimewaan karena sudah teruji dan tidak diragukan lagi kapasitas otaknya.

Di Kota Kotamobagu seorang jenius pasti sangat menonjol dan jadi kebanggaan (juga bahan percakapan) SD, SMP, dan SMU di mana dia bersekolah; setelah itu tawaran kuliah lewat jalur tanpa tes (kerap bersama bea siswa) membanjir, minimal di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado atau Universitas Manado di Tondano (Unima). Jenius, tersuruk di ketiak pohon pun, cepat atau lambat pasti mengundang perhatian orang banyak. Berbeda dengan cantik atau ganteng yang bisa dikemas dengan bedah plastik, macam-macam perawatan kulit, rambut, gigi, kuku, dan sebagainya di Singapura; jenius adalah kombinasi bawaan alamiah dan kesempatan yang tersedia untuk membangkitkannya. Kotamobagu tergolong kota kecil, tapi bukan udik terpelosok yang hampir mustahil menyediakan wahana penyemaian bakat-bakat jenius.

Jadi yang ingin saya katakan, penyandang gelar SE yang menyelesaikan sarjananya dalam dua tahun itu, bukanlah jenius. Dan tidak punya bawaan alamiah sebagai jenius.  Artinya pula, mustahil dia mampu menyelesaikan kuliah dalam dua tahun, sekali pun dengan pertolongan semua dedemit dan makluk halus yang dapat dikumpulkan di seluruh tanah Mongondow. Dan memang, tanpa bermaksud meremehkan, kecerdasannya –dari informasi yang belakangan saya kumpulkan— ‘’pas bandrol’’ saja.

Penyandang gelar S1 dari Universita Dega’ Ka’in lainnya, yang saya ketahui belakangan, setali tiga uang dengan ‘’tokoh’’ yang diceritakan di atas. Kemiripan lain di antara keduanya: Mereka sama-sama anak petinggi politik dan birokrasi di Bolmong.

Kriminalitas Berjamaah

Gelar S1 ajaib dan lulusnya para penyandangnya sebagai PNS itu, adalah serangkaian kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama dan terencana oleh sekumpulan orang. Kita bisa mendifinisikannya dengan dua kata saja: kriminalitas berjamaah.

Polisi bukan hanya perlu, melainkan wajib turun tangan, bahkan sebelum ada laporan resmi yang mempersoalkan. Pemberitaan media massa seperti yang dilansir Radar Totabuan (Selasa, 19 April 2011) dan Harian Komentar (Rabu, 20 April 2011), sudah bukti permulaan yang menjadi dasar kuat dimulainya penyelidikan polisi.

Kejahatan berkelompok dan terencana, dalam banyak kasus tergolong terorisme. Gelar S1 dalam dua tahun dan lolosnya si penyandang sebagai PNS, apa boleh buat, adalah bentuk nyata dari ‘’terorisme pendidikan’’. Di saat jutaan anak muda Indonesia banting tulang (dan daging) belajar –ada pula yang sambil bekerja demi mencicipi bangku PT--, sungguh terkutuk hanya karena anak seorang pejabat dengan kekuasaan dan uang, lalu melenggang mudah (dan melecehkan) menggenggam gelar sarjana.

Penyelidikan (lalu penyidikan) yang dilakukan pihak kepolisian tak hanya menyeret banyak orang, tapi –mengingat posisi publik aktor-aktornya dan keterlibatan institusi pendidikan-- bakal mengguncang dinamika masyarakat di Mongondow. Yang saya bayangkan, polisi bakal merantai sejumlah orang di Universitas Dega’ Kain’, si penyandang gelar, orangtua mereka, panitia penerimaan CPNS 2010, dan entah siapa lagi, dengan sejumlah pasal berat; termasuk pemufakatan jahat dan penghianatan terhadap negara (ingat, mencerdaskan kehidupan rakyat adalah salah satu substansi berdirinya Indonesia).

Hanya, pekerjaan besar yang dihadapi Polres Bolmong itu tidak akan berurusan dengan Universitas Dumoga Kotamobagu. Sebab, seperti penegasan Iwan Manoppo SE MM selaku Pem-bantu Dekan 1 Bidang Akade-mik UDK Pembanditu Dekan I Bidang Akademik (FE?) UDK, Iwan Manoppo, SE, MM (Harian Komentar, Rabu, 20 April 2011, Anak pejabat dituding sarjana karbitan:
Pihak PT UDK Ikut Membantah), di universitas mereka tidak ada sarjana yang mendapatkan gelarnya dengan cara instan dan tak prosedural.

Pernyataan Iwan Manoppo itu jadi tantangan tersendiri buat Polres Bolmong, yang harus mengungkap wujud sebenarnya dari Universitas Dega’ Ka’in itu?

Kalau polisi jerih mengungkap kriminalitas berjamaah itu karena pertimbangan politis atau stabilitas daerah; saya bisa menyakinkan mayoritas orang Mongondow akan berdiri di depan agar kasus tersebut diungkap-tuntas. Atau perlukah (untuk menunjukkan keseriusan), saya menggalang demonstrasi yang melibatkan minimal 15 persen pendudukan Bolmong? Pernyataan in bukan gertak sambal atau heroisme kampungan yang suka dipertontonkan mereka mendaulat diri sebagai aktivis.

Sebelum menutup tulisan ini, saya mau mengungkapkan yang berkesiuran di benak, bahwa: Betapa ingin saya melihat wajah Kepala Dinas Pendidikan (Kadiknas) Bolmong, Ulfa Paputungan; Ketua Forum Pemuda Peduli Bolaang Mongondow (FP2BM), Roni Mokoginta; Sehan Ambaru; serta gerombolan yang selama ini mengaku LSM dan aktivis di Mongondow; dan menanyakan apa yang akan mereka lakukan terhadap kriminalis berjamaah itu. Saya sangat ingin melihat keringat dingin yang menetes di jidat mereka.***