Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, April 10, 2011

PTUN dan MK: Kemana Pilkada Bolmong Pergi?

GUGATAN pasangan bakal calon Bupati-Wakil Bupati (Wabup) yang gagal lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bolmong, Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit, dikabulkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado. Di sidang yang berlangsung Jumat (8 April 2011), PTUN membatalkan Pleno KPU yang dituangkan dalam Keputusan No. 8 Tahun 2011, yang tidak mencantumkan nama pasangan ini sebagai calon Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016.

Kabar dari PTUN Manado bersambut dengan kepastian bahwa Selasa (12 April 2011) Mahkamah Konstitusi (MK) mulai memeriksa  perkara No. 37/PHPU.D-IX/2011 yang diajukan pasangan Didi Moha-Norma Makalalag serta perkara No. 38/PHPU.D-IX/2011 yang diajukan pasangan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit. Dua perkara ini berkaitan dengan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2011.

Pemeriksaan gugatan yang diajukan dua pasangan itu menjawab tanda-tanya dan rumor yang bersiliweran sejak 31 Maret lalu, bahwa ada dua pasang calon Bupati-Wabup yang menggugat (Limi Mokodompit-Meidy pandeirot dan Didi Moha-Norma Makalalag); serta satu pasang bakal calon, yaitu Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit. Bila saya bisa memahami gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit; tidak demikian dengan gugatan yang diajukan Didi Moha-Norma Makalalag. Sebagai pasangan yang hanya berada di nomor urut tiga perolehan suara, apa target yang ingin mereka capai dari gugatannya?

Apakah Didi Moha-Norma Makalalag ingin membuktikan ada cacat kerja KPU yang menyebabkan hasil Pilkada merugikan mereka? Membuktikan politik uang yang massif dari pasangan pemenang (Salihi Mokodongan-Yani Tuuk) yang mengakibatkan perolehan suaranya jeblok, sebagaimana dugaan yang ditiupkan di media massa. Atau bahwa pasangan pemenang tidak pantas ikut serta di Pilkada karena masalah administratif fundamental: ijazah Salihi Mokodongan yang secara terang-terangan belakangan dipermasalahkan para pendukung Didi Moha-Norma Makalalag, dimotori Kepala Dinas Pendidikan (Diknas), Ulfa Paputungan?

PTUN Ke MK

Mengingat saya bukanlah ahli hukum, maka tulisan ini tidak lebih dari pandangan awam yang menganalisis gugat-menggugat Pilkada Bolmong ke PTUN dan MK di tingkat permukaan. Untuk itu bila ada logika, terutama berkaitan dengan hukum dan penafsirannya yang keliru, mohon dimengerti, dimaafkan, dan diluruskan.

Bagaimana sengketa berkaitan dengan Pilkada dibawa ke PTUN? PTUN, sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) No. 8 Tahun 2005 tertanggal 6 Juni 2005 mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah, yang kemudian ditegaskan dengan Surat Edaran MA No. 7 Tahun 2010 tertanggal 11 Mei 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), hanya berwenang terhadap perkara yang terkait keputusan bidang urusan pemerintahan. Sederhananya, kewenangan itu meliputi keputusan-keputusan yang diterbitkan Pejabat Tata Usaha Negara (dalam hal ini KPU), misalnya di tahap pendaftaran pemilih, pencalonan peserta, masa kampanye dan sebagainya.

Surat Edaran MA juga tegas menyatakan untuk sengketa hasil pemilihan umum (keputusan yang berisi hasil pemilihan umum sesudah melewati tahap pemungutan suara dan dilanjutkan dengan perhitungan suara), bukan menjadi kewenangan PTUN. Yang memiliki kewenangan terhadap sengketa hasil Pilkada adalah MK.

Gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit ke PTUN jelas sudah tepat. Dengan PTUN Manado memenangkan pasangan ini, tentu ada yang keliru dari keputusan pleno KPU yang dipermasalahkan. Pertanyaannya: Lalu apa sesudah kemenangan itu diraih?

Sangat mungkin putusan PTUN Manado itu sekadar ‘’macan kertas’’  Surat Edaran MA N0. 7 Tahun 2010 juga menegaskan, karena proses Pilkada perlu segera ada kepastian hukum hingga dapat dilaksanakan sesuai jadwal, maka harus dihindari putusan atau penetapan yang akan mengganggu proses dan jadwal pelaksanaannya.

Kasus yang mirip adalah Pilkada Belitung Timur dimana pasangan Khaerul Efendi-Erwandi H Rani menggugat ke PTUN Palembang setelah mereka dinyatakan tak lolos sebagai calon Bupati-Wabup. Putusan PTUN Palembang memenangkan pasangan ini serta memerintahkan KPU memasukkan kembali mereka sebagai peserta Pilkada. KPU menolak putusan PTUN hingga Khaerul Efendi-Erwanti H Rani membawa kasusnya ke MK yang walau memandang terjadi pelanggaran atas hak konstitusional mereka, tapi tidak mengabulkan gugatan yang diajukan karena persoalan legal standing atau kedudukan hukum pemohon.

Kalau MK konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya, mengacu pada kasus Belitung Timur, gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit kemungkinan besar bakal ditolak. Kecuali bila akhirnya MK menggunakan penafsiran ekstensif guna memberikan kedudukan hukum pemohon dalam sengketa Pilkada sebagaimana yang dikatakan Anggota Majelis Hakim MK, Harjono (Tribunnews.Com, Jumat 13 Agustus 2010).

Kalau pun MK tiba-tiba membuat keputusan mengejutkan, katakanlah yang terburuk menerima gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit dan memerintahkan Pilkada Bolmong diulang dari tahap awal; saya yakin yang diuntungkan adalah pasangan yang sudah dinyatakan sebagai pemenang. Lepas dari itu, apakah bijaksana dan masuk akal mengulang Pilkada dengan biaya tak sedikit dan kerja keras semua komponen yang sudah berlangsung tanpa gejolak seperti yang dibuktikan di Bolmong 22 Maret lalu?

Sekali Lagi: Kalahlah dengan Terhormat

Saya sepenuhnya bisa memahami mengapa Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit menggugat; tapi tidak untuk Didi Moha-Norma Makalalag. Sejumlah pertanyaan yang diajukan di awal artikel ini hanya melahirkan banyak jawaban yang mendorong masyarakat Bolmong umumnya menyimpulkan: satu-satunya alasan rasional mereka menggugat adalah ketidak-siapan untuk kalah.

Menggugatnya Didi Moha-Norma Makalalag sudah berulangkali saya tulis; tapi setiap kali pula saya menemukan hal baru. Terakhir, dengan tidak menggugatnya Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot, bila yang dipersoalkan adalah politik uang, maka pasangan peraih suara ketiga terbanyak sesuai pleno KPU ini secara langsung maupun tidak mengalamatkan dugaannya pada dua pasangan lain yang lebih unggul. Itu pun sembari harus menyiapkan diri andai kata pasangan pemenang membuktikan sebaliknya, bahwa yang mempratekkan kecurangan secara massif justru Didi Moha-Norma Makalalag, lewat pengerahan birokrasi didukung kekuasaan Bupati Bolmong saat ini yang tak lain ibu kandung Didi Moha.

Untuk aspek yang berkaitan dengan kerja KPU, termasuk masalah administrasi ijazah Buputi terpilih, Salihi Mokodongan, saya tidak yakin merupakan wilayah yang menjadi kewenangan MK. Andai demikian adanya, kita sudah bisa menebak gugatan mereka bakal dimentahkan.

Mari kita semua, warga Bolmong maupun orang Mongondow yang terus mengikuti ‘’keramaian’’ Pilkada, menunggu nasib dua gugatan di MK itu. Saya sendiri ingin memberi catatan betapa secara pribadi sangat kecewa karena akhirnya Didi Moha memutuskan menggugat, yang menurut hemat saya hanya kian mengurangi modal sosial-politik yang selama ini ada di genggamannya.

Modal besar yang ingin dipertahankan mati-matian oleh setiap politikus itu dia pertaruhkan di MK. Andai menang, bisa jadi hadiah hiburan bagi kepentingan karir politiknya di masa depan. Kalau kalah, saya berharap Didi Moha tidaklah jadi sasaran cibir dan olok-olok politik untuk jangka panjang, karena diposisikan sebagai pihak yang kalah dan tidak terhormat.***