Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, April 23, 2011

Rezim Penunggang Kuda Mati

Artikel ini ditulis bersama Rahfan Mokoginta. Ide dasarnya dipertukarkan lewat email yang dia kirimkan. Saya hanya memformulasi dan menambahkan beberapa aspek.

MENGAPA umumnya orang Mongondow bagai tak kehabisan energi mengikuti roller coaster Pilkada Bolmong, yang sengketanya masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (28 April 2011) pekan depan –bukan Selasa (26 April 2011) seperti yang dituliskan di blog ini sebelumnya?

Pilkada Bolmong 2011 adalah puncak dari seluruh isu politik yang diakui atau tidak menjadi pondasi arah Mongondow paling tidak hinga 10-15 tahun ke depan. Berubah-tidaknya bandul, praktek  dan budaya politik serta birokrasi, sangat dipengaruhi apa yang terjadi Bolmong –yang menjadi induk dari tiga kabupaten dan kota hasil pemekarannya.

Faktor rezim yang berkuasa selama 10 tahun terakhir menambah daya pikat Pilkada. Di permukaan, orang banyak digambarkan patuh dan memuja Bupati yang sebentar lagi mengakhiri masa jabatannya. Persepsi itu diperkuat agresifnya upaya pencitraan yang dilakukan kelompok pendukung Bupati dan keluarganya (kebanyakan dari kalangan birokrasi dan sejumlah orang dekat berlatar aktivis mahasiswa dan Parpol).

Tatkala impian rezim itu dan pendukungnya memperpanjang kekuasaannya, paling tidak hingga 10 tahun lagi dengan mengusung putera Bupati sebagai suksesor Ibunya, kandas lewat kekalahan telak di Pilkada Selasa, 22 Maret 2011; orang Mongondow sebenarnya sedang menggambar ulang bukan hanya peta politik dan birokrasi, tapi juga kelompok sosial, kelompok penekan, dan bahkan klik-klik antar tokoh-tokoh elit yang baru.

Belum tentu rezim yang baru akan lebih baik dari sebelumnya. Namun setidaknya masyarakat Bolmong sudah menentukan mereka ingin perubahan. Ini adalah dinamika alamiah yang kerap sulit diterima para elit yang terlampau lama terdilusi (atau sengaja mendilusi kepercayaannya) seolah kekuasaan yang ada di tangan akan dikuasai selama. Dilusi seperti ini, di konteks global, selalu berakhir pahit dan bahkan berdarah-darah seperti yang terkini kita saksikan di Mesir dan Libya.

Di banyak diskusi politik, rezim yang gigih melestarikan kekuasaan biasanya dipercakapkan dari dua sudut pandang: Pertama, mereka sangat cerdas dan mampu menjawab kebutuhan rakyat hingga keseimbangan sosial terjaga. Singapura adalah salah satu contoh yang sukses menerapkan suksesi rezim model ini dengan baik. Perdana Menteri (PM) saat ini adalah putera kandung mantan PM sebelumnya, yang sukses berkuasa selama bertahun-tahun. Kedua, rezim yang cenderung bodoh dan totaliterian, yang berhasil membangun kekuasaan dengan formulasi khas negara-negara miskin dan berkembang, yaitu pencampuran antara mitologi dan represi. Contoh untuk rezim jenis ini bertebaran di mana-mana dalam sejarah peradaban manusia.

Mengapa rezim jenis kedua ini layak disebut bodoh? Sebab biasanya di titik tertentu mereka tidak lagi mampu menjaga keseimbangan sosial; yang akhirnya meledak menjadi penolakan massal. Ekspresinya bisa damai lewat jalan demokrasi; atau kerusuhan sosial yang hampir dalam semua kasus sukses menumbangkan rezim yang ditentang.

Kearifan Tua

Menyitir kearifan tua, rezim model kedua itu adalah mereka yang ‘’tak sadar lagi sudah menunggang kuda mati’’. Padahal: “Kalau Anda tahu sedang menunggang kuda mati, adalah arif jika Anda turun dan cari kuda lain yang masih hidup.’’ Repotnya, kearifan bagi setiap rezim yang keenakan berkuasa, hanya jadi kewajiban rakyat.

Karena itulah, kalau pun tahu mereka sudah menunggang kuda mati, yang dilakukan justru upaya yang kerap sia-sia, seperti: Satu, mencambuk kuda lebih keras dan bertubi-tubi agar dia mau berlari. Kegagalan dijawab dengan peningkatan pengendalian terhadap si pencambuk. Ujung-ujungnya ada yang dipersalahkan sebagai ‘’kambing hitam’’ mogoknya si kuda. Dua, membentuk panitia khusus (biasanya dari lingkaran terdekat dan terpercaya( untuk mempelajari masalah dan menemukan cara yang benar menunggang kuda mati. Tiga, studi banding demi mengetahui bagaimana orang lain, di tempat lain, berhasil menunggang kuda mati. Keempat, merekrut penunggang baru yang diduga lebih ahli menunggang kuda mati. Pembaca, daftar ini dapat diperpanjang lagi sesuai kreativitas Anda masing-masing.

Sengketa Pilkada Bolmong yang bergulir di MK adalah contoh nyata bagaimana ‘’kuda mati’’ itu berusaha dipacu agar bisa berlari. Begitu kerasnya usaha sejumlah orang, saya kira bahkan alternatif mengundang dukun voodoo pun pasti sudah terpikirkan. Siapa tahu turun tangannya dukun dengan mantra-mantra saktinya, kuda mati bangun dan berlari kencang seperti adegan di film Creek besutan sutradara Joel Schumacher yang sedang tayang di sejumlah bioskop.

Celakanya, makin lama kuda mati itu susah payah ditungganggi, kian tak sadar pula rezim keras kepala itu bahwa sebentar lagi dia membusuk, menyebarkan bau dan penyakit ke mana-mana. Dampak ikutan yang kerap tidak diperhitungkan ini, malah bisa lebih destruktif dan melibatkan kerugian berantai yang tak berujung.

Menggugat keabsahan ijazah Salihi Mokodongan, misalnya, membuat bau ‘’mayat kuda’’ membangunkan amis dan busuk yang lain. Ini yang sedang terjadi dengan mencuatnya dugaan ijazah sarjana instant (yang diperoleh hanya dalam waktu tiga tahun), yang melibatkan kelompok terdekat dari rezim tersebut. Terakhir –baru beberapa hari marak di sejumlah group facebook dan milis—malah merembet ke kabupaten lain karena ada PNS yang menempuh pendidikan D3 cukup delapan bulan dan dilanjutkan ke jenjang S1 selama setahun, hingga gelar sarjana diperoleh hanya 1,8 tahun.

Iri betul mengetahui ada sarjana yang begitu mudah menyelesaikan pendidikannya. Di sisi lain, karena ini terjadi di Mongondow, semestinya jadi kebanggaan karena diam-diam daerah ini menyimpang para jenius yang baru terungkap keberadaannya.

Kembali ke kuda mati yang masih tetap ditungganggi itu, apakah lagi dampak ikutan yang akan terjadi? Apakah jadi urusan polisi, jaksa, dan KPK; atau RSJ? Kita tunggu saja.

Catatan:
Di awal 2000-an Rahfan Mokoginta adalah salah satu anggota Komunitas Banjer (komunitas ini bermarkas di rumah milik almarhum Ahmad Honny Mokoagow –kami memanggilnya ‘’Papa Honny’’). Ketika itu Rahfan baru menyelesaikan studi di Akademi Perawat Manado. Di periode itu Komunitas Banjer yang hampir seluruhnya berasal dari Mongondow (kecuali Budi Santoso), menerbitkan Tabloid Totabuan. Rahfan yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Manado (kini berganti nama menjadi RSU Prof dr VL Ratumbuysang) mendapat gelar ‘’Mantri Gila’’. Kini dia bekerja sabagai salah seorang paramedik di Kota Kotamobagu; dan alhamdulillah tidak pernah tercatat sebagai pengidap gangguan jiwa.