Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, April 20, 2011

Onde-Onde dan Rp 100 Miliar

BERAPA banyak Rp 100 miliar? Sepupu saya yang punya usaha sampingan membuat kue-kue tradisional pasti pingsan andai ada pembeli yang meng-order onde-onde senilai Rp 100 miliar. Berapa ton beras yang akan ditumbuk sebagai bahan baku; berapa banyak gula merah yang harus disediakan; dan tak kurang penting: berapa ribu butir kelapa yang mesti diparut?

Mempercakapkan onde-onde, saya teringat humor Mongondow yang pertama kali saya dengar saat duduk di bangku SMA. Tersebutlah, kata cerita, ada produsen onde-onde yang menerima pembayaran tak hanya dengan uang untuk kue buatannya. Orang boleh menukar onde-ondenya (konon lezatnya sungguh mak-yus) dengan beras, gula merah, atau kelapa.

Satu saat datanglah seorang pembeli dan menanyakan, ‘’Ina’, ta mo ta’au ka’in in onde-ondemu toliuan in bango’?’’
Singap tegas si Ina’ menjawab, ‘’Mo ta’au ambe.’’
‘’Aka tobatu’ in bango’, yo tongono in onde-onde?’’
‘’Tobatu’.’’
‘’Aka dee-wa in bango’?’’
‘’Dee-wa doman in onde-onde.’’
‘’Aka tolu in bango’?’’
‘’Tolu doman in onde-onde?’’
‘’Aka to roda in bango’, yo tongonu in onde-onde, Ina’?’’
Kontan si Ina’ kita meradang. ‘’Rinda’ bi’ dega in iko na’a. Ki ine bi’  in morimbung-rimbung kon onde-onde to roda?’’

Dengan imajinasi sedikit liar dan nakal, kita bisa membayangkan bila harga satu butir onde-onde sekitar Rp 2.000 per buah; maka berapa banyak yang didapatkan dengan anggaran Rp 100 miliar? Katakanlah jumlah seluruh penduduk Mongondow (di empat kabupaten dan satu kota) kita sebutkan sesuka hati, sekitar 1 juta jiwa; maka berapa butir onde-onde yang bakal diterima setiap orang?

Bahkan hanya menghitung dan membayangkan orang per orang dipaksa memakan tumpukan onde-onde yang dijatahkan, saya yakin kita bakal mulas dan bakal membenci onde-onde paling tidak selama setahun. Tak kurang pentingnya, ‘’Ki ine bi’ in morimbung-rimbung kon onde-onde ta damal tua?’’

Katanya ‘’Cuma’’ Administratif

Tapi uang sejumlah itu pula yang diungkap anggota Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Rizal Djalil, sebagaimana dikutip Harian Manado Post (Senin, 18 April 2011, 685 M, Temuan BPK di Sulut), yang pertanggungjawabannya masih tanda-tanya di Bolmong. Temuan BPK ini berkaitan dengan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2008-2009; sekaligus menempatkan Bolmong sebagai ‘’juara pertama’’ di antara 11 kabupaten/kota di Sulut yang terpayah dalam pengelolaan administrasi keuangannya selama periode pemeriksaan.

‘’Pesaing’’ terdekat Bolmong adalah Kota Manado yang harus bersegera membereskan administrasi dana APBD-nya senilai Rp 87 miliar. Bila dibandingkan antara dua daerah ini ada selisih sekitar Rp 13 miliar, yang tetap saja melimpah ruah andai dibelikan onde-onde dan dibagikan ke seluruh penduduk Mongondow.

Temuan BPK itu sungguh serius.  Kalau tidak segera dibereskan, kata Rizal Djalil, pihaknya akan menyerahkan ke penegak hukum. Di tangan penegak hukum, tak peduli pejabat yang bertanggungjawab masih di kursinya atau tidak, pasti terjerat seperti mantan Bupati Minahasa Selatan (Minsel) yang di hari-hari terakhir ini meramaikan media massa di Sulut.

Apa artinya pernyataan BPK itu bagi Pemkab Bolmong khususnya dan warga masyarakat umumnya? Menurut hemat saya, pertama, pemenuhan syarat administratif adalah aspek penting dalam pengelolaan APBD dan juga profesionalisme aparat birokrasi. Cacat pengelolaan administrasi, semisal ada penggunaan dana di 2008 yang ditemukan pada 2010 tidak memenuhi syarat (panduan dasar menejemen pemerintahan, standard operation procedure –SOP-- dan sebagainya-), mengindikasi sistem tidak bekerja sebagaimana seharusnya.

Kedua, orang-orang yang melakukan kontrol terhadap proses administrasi tidak melaksanakan pekerjaannya. Mengingat birokrasi adalah sistem yang terstruktur, fungsi kontrol itu tak hanya berhenti pada Bupati, melainkan Gubernur dan jajarannya di tingkat provinsi. Dalam konteks ini, ‘’membangun tanpa korupsi’’ yang didengung-dengungkan Gubernur Sulut SH Sarundajang sejak periode pertama kepemimpinannya, tiba-tiba terasa tak beda dengan iklan sabun colek.

Ketiga, Rp 100 miliar tidaklah kecil. Kekhilafan, kelupaan, atau abai mengurus admnistrasi penggunaan dana seratus-dua ratus juta rupiah (dibanding ratusan milyar dana APBD Bolmong setiap tahun), dapat dianggap kewajaran tersebab kerumitan birokrasi. Tapi Rp 100 milyar? Apalagi Kahumas Pemkab Bolmong kemudian menyatakan bahwa hal itu bukan masalah besar, karena seluruh jajaran sedang ‘’bekerja keras’’ membereskannya.

Keempat, saya membayangkan ‘’administrasi’’ yang dimaksud BPK terkait dengan dokumen-dokumen yang umum jadi tuntutan proses audit, semisal bukti pembayaran. Kalau dokumen-dokumen itu ada dan masih tersimpan, hanya belum dikemas sesuai tuntutan administrasi tata negara di negeri ini, solusinya mudah: mereka yang bertanggungjawab dipaksa –kalau perlu lembur—segera menyelesaikannya.

Lain soal kalau dokumen-dokumen itu  ternyata masih perlu dikarang dengan saksama, saya sarankan agar materai yang digunakan bukan terbitan 2010, tapi 2008 atau 2009 sesuai periode penggunaan dananya. Tapi kalau pun harus mengarang, saya yakin para birokrat di Bolmong banyak yang tergolong pakar teruji.

Mimpi Buruk

Ancaman proses hukum terhadap temuan BPK itu, di sisi lain adalah kado pahit akhir masa kepimpinan Bupati Marlina Moha-Siahaan yang tinggal menghitung hari. Saya tidak yakin, walau sekadar administrasi, Bupati dan jajarannya mampu menyelesaikan masalahnya sebelum serah terima jabatan (ke Bupati-Wabup 2011-2016 terpilih; atau pejabat sementara yang ditunjuk –tergantung putusan yang akan dijatuhkan MK tergait gugatan sengketa Pilkada Bolmong).

Pun Bupati-Wabup terpilih tentu saja tidak ingin mewarisi dan memikul tumpukan bara di pundaknya. Begitu menduduki jabatannya, sudah berulang kali saya dengar mereka (yang telah ditetapkan terpilih di Pilkada lalu) berencana melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan dana APBD Bolmong; bahkan juga kinerja SKPD dan perangkatnya. Temuan yang diungkapkan BPK menjadi salah satu titik tolak Bupati-Wabup (atau pejabat yang ditunjuk) dalam pelaksanaan audit tersebut.

Yang memprihatinkan saya, mengapa lobang administrasi dengan potensi jadi kasus pidana itu baru diungkap? Saya bisa membayangkan bagaimana deg-degannya Bupati dan Wabup yang akan segera turun dari jabatannya; juga tidak nyamannya kabar itu bagi kebanyakan kita sebagai warga Mongondow. Bukanlah sesuatu yang menyenangkan melihat bagaimana mantan Bupati Minsel, RM Luntungan, dihadapkan pada penyidikan untuk hal yang mestinya tak lagi membebani setelah dia lengser.

Orang Mongondow pasti tak mengharapkan mantan Bupatinya, yang selama 10 tahun memerintah dipuji dan dielu-elukan, tak tidur nyenyak karena dikejar mimpi buruk pertanggungjawaban penggunaan Rp 100 miliar dana APBD. Apalagi kalau mimpi buruk itu dialami di tahanan polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).***