Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, April 7, 2011

Mendisiplinkan Birokrasi Bolmong


LELAH yang mendera ditambah batuk dan demam yang menggoyang, membuat saya langsung terkulai begitu masuk mobil, Selasa (5 April 2011) selepas magrib. Syukurlah jalanan yang biasanya kejam, hari itu cukup bersahabat. Casablanca, Plasa Semanggi, SCBD, dan Senopati, ditempuh kurang dari 12 menit.

Menjelang tikungan ke arah Ciranjang –sekitar 1 km dari tempat saya bermukim di Jalan Gunawarman--, nama Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu, Tatong Bara, berkedip-kedip memanggil di layar telepon. Dia mengabarkan, sekaligus mengundang, bergabung dengan sejumlah orang yang sedang bertemu di Pacific Place SCBD –yang belum lagi 2 menit saya lewati.

Seketika saya melupakan badan yang sebenarnya serasa baru dicecar penggebuk kasur. Saya mengiyakan dengan pikiran bahwa pasti Wawali Kotamobagu tidak sendirian. Setidaknya dia bersama Bupati Bolmong 2011-2016 terpilih, Salihi Mokodongan, yang berulang-kali berkomunikasi dengan saya sejak dia berada di Jakarta pekan lalu. Namun saya juga mengatakan, ‘’Mungkin saya tidak bisa lama. Agak kurang enak badan.’’

Dugaan saya tidak meleset. Bukan hanya Om Salihi –setiap kali disapa dengan ‘’Bupati’’, orang tua sederhana ini hanya tertawa dan tampak belum nyaman— yang hadir, tapi juga Ketua Komisi V DPR RI, Yasti Mokoagow, Wakil Bupati (Wabup) Yani Tuuk, dan sejumlah tokoh politik lainnya.

Bertemu dengan tokoh-tokoh yang berada di pusaran isu hangat Pilkada Bolmong, apalagi di tengah gencarnya spekulasi jadi-tidaknya gugatan pasangan Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot dan Didi Moha-Norma Makalalag ke Mahkamah Konstitusi (MK), walau sebentar saya manfaatkan mengklarifikasi sejumlah rumor liar yang kini gentayangan di Bolmong. Mulai dari sikap politik partai pengusung Salihi Mokodongan-Yani Tuuk terhadap gugatan di MK paska penetapan terpilihnya pasangan ini oleh KPU Bolmong hingga bisik-bisik perubahan radikal yang akan dilakukan Bupati-Wabup terpilih terhadap birokrasi di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong.

Politik adalah Negosiasi

Praktisi hukum dan politisi yang memahami mekanisme gugatan hasil Pilkada di MK hampir bersepakat bahwa politik uang adalah yang paling sulit dibuktikan. Apa, bagaimana, dan fakta politik uang di Pilkada Bolmong, tidak perlu lagi dibahas lebih jauh. Di artikel-artikel sebelumnya saya sudah ‘’berbusa-busa’’ mengupasnya.

Pendeknya: pasangan yang menggugat hanya mencari-cari cara agar masih kelihatan gagah, sekali pun mereka sebenarnya mirip pelari marathon yang sudah menempul 43 kilometer non stop. Cukup terantuk sedikit atau ada orang iseng yang menyenggol terlampau keras, mereka bakal terjerembab dan mungkin pingsan.

Kebanyakan kita yang mengikuti proses Pilkada Bolmong dari dekat tahu persis kondisi para kandidat saat ini, termasuk kemampuan keuangannya setelah bertarung habis-habisan menarik perhatian konstituen selama hampir tiga bulan. Pengetahuan itu pula yang membuat saya setuju ketika tahu ada upaya komunikasi yang dilakukan tokoh-tokoh dan politisi dari partai pendukung Salihi Mokodongan-Yani Tuuk dengan dua kandidat yang kalah, sejak mereka mendaftarkan gugatannya Kamis (31 Maret 2011) lalu.

Menurut saya, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk yang santun dan dua-duanya tak banyak mulut, dari mula memang tidak ingin menerapkan praktek politik mentang-mentang dan membabi-buta. Mereka juga ingin memutus cara berpolitik di Bolmong yang 10 tahun terakhir nyaris totaliter: pemenang yang memegang kekuasaan bukan lagi memposisikan diri sebagai politisi dan pemimpin, tapi maharaja yang mesti dipatuhi tanpa reserve, tanpa dialog.

Komunikasi yang dilakukan juga bukan dalam rangka hom-pim-pa karena pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk memang mempraktekkan kecurangan sebagaimana yang dasar gugatan dua pasangan yang lain.

Bahwa kemudian ada pasangan yang menggugat akhirnya membatalkan niatnya, demikianlah politik yang semestinya dipraktekkan bagi kemaslahatan orang banyak. Mirip pertandingan sepakbola, setelah pluit akhir dibunyikan, semua pemain –kawan atau lawan— kembali berangkulan. Om Salihi membahasakan komunikasi yang dilakukan itu, sebab, ‘’Torang samua sama-sama Mongondow. Apa yang toreng bekeng musti for Bolmong pe kepentingan. Bukang cuma for satu-dua kelompok.’’

Kalau akhirnya ada yang ngotot, sekali pun sudah terbukti kalah, saya kira mereka sudah tahu hukum politik selanjutnya. Seluas dan sebesar apa pun hati Salihi Mokodongan-Yani Tuuk serta partai politik pendukung mereka dan tokoh-tokohnya, mereka pasti tak akan segan mengeliminasi kekuatan yang dimiliki pasangan pesaing, tapi juga seluruh pendukungnya. Politik ‘’bumi hangus’’ inilah yang saya tentang sejak awal.

Mengurusi Birokrasi

Hari ini (Kamis, 7 April 2011) kita mungkin akan mendengar bagaimana kelanjutan gugatan pasangan yang kalah di MK. Sementara itu, ada banyak hal yang hampir matang disiapkan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk menjelang pelantikan mereka sebagai bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 (bukankah KPU sudah menetapkan mereka sebagai pasangan terpilih?).

Dari yang saya simak, prioritas utama adalah bagaimana melakukan audit terhadap seluruh mekanisme pemerintahan di Bolmong; bukan sekadar audit keuangan daerah, yang memang harus dilakukan agar Bupati-Wabup baru tahu persis apa yang diserah-terimakan ke tangan mereka.

Audit dilakukan bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan agar birokrasi di Bolmong yang 10 tahun terakhir kita ketahui bersama makin mirip partai politik bisa kembali ke rel yang benar: sebagai satu sistem yang mengurusi hajat orang banyak dengan professional dan disiplin. Temuan-temuan dari audit ini, serta evaluasi terhadap kapasitas dan kapabilitas setiap individu birokrat, menjadi dasar untuk membangun sistem yang tidak bertumpu pada mau-maunya Bupati-Wabup saja; tetapi pada sistem yang sepenuhnya bekerja melayani Bolmong dan masyarakatnya.

Bahwa ada yang akan berubah, itu pasti. Namun perubahannya dilakukan bukan dengan pendekatan suka atau tidak; melainkan dengan alasan-alasan profesional yang dapat dipertanggungjawabkan.

Maka percumalah upaya politis yang dilakukan serombongan birokrat –yang jumlahnya dari hari ke hari kian banyak—yang dengan segala upaya kini mencari celah menunjukkan pada Salihi Mokodongan-Yani Tuuk bahwa mereka ‘’berdiri di belakang’’ Bupati terpilih. Lucunya, ada yang bahkan mendadak tanpa malu mengaku sebagai keluarga dekat Om Salihi atau Yani.

Saya kira, dari percakapan yang tak lama malam itu, saya bisa menyimpulkan: selama ini sejumlah elit di Bolmong memang memandang enteng kemampuan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk serta sejumlah praktisi dan pemikir yang ada di sekitar mereka. Pandang-enteng itu justru jadi modal yang baik bagi mereka saat memulai masa kepemimpinannya.***