TIAP kali pulang ke Kotamobagu saya suka mendengar dua kata disebutkan, ‘’aktivis’’ dan ‘’LSM’’ (lembaga swadaya masyarakat), dengan macam-macam ekspresi. Namun umumnya seperti menceritakan sesuatu yang bisa membuat jerih dan takut.
‘’Hati-hati, dia itu aktivis’’ tak beda dengan mengatakan ‘’Awas, ada bambao’ di pohon beringin di ujung Ongkag.’’ Atau, ‘’Dorang itu LSM. Jangan cari gara-gara.’’ Seolah-olah LSM sudah seperti polisi, jaksa, hakim –dan belakangan juga petugas pajak— yang bila kita semua tak awas, alamat cilaka 12 menunggu.
Bahkan seorang kerabat, perempuan Mongondow yang di kesehariannya hanya sibuk berurusan dengan anak dan tetek-bengek rumah tangga, satu ketika spontan berkomentar ketika mendengar saya dan beberapa orang yang asyik bercakap-cakap, menyebut ‘’aktivis’’ dan ‘’LSM’’. ‘’Sabanarnya ta dimbolo’ ko onda in aktivis bo LSM tua? Poki domok mako bain dia’ salalu mopo gogondog (Sebenarnya setan di mana aktivis dan LSM itu? Minta ditangkap saja supaya tidak selalu menakut-nakuti).’’
Hampir saja saya menunjuk rumpun bambu di ujung Jalan Amal sebagai tempat dimbulo’ aktivis dan LSM itu. Mengingat hantu bisa memicu kepanikan (bisa pula anarki), saya mengurungkan niat nakal itu. Yang terbayang adalah orang berbondong membawa parang ke rumpun bambo milik orang, menebang sampai habis, dan dan menganggap sudah memusnahkan ‘’rumah’’ dimbulo’; sedang saya harus mengganti rugi bambu tak berdosa milik orang.
Komentar spontan kerabat yang lucu itu yang segera meloncat di kepala saya ketika Kamis (31 Maret 2011) mendengar cerita kemarahan salah seorang Kasubag di bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkab Bolmong terhadap salah seorang staf dari Bagian Hukum. Musabab naik darahnya sang Kasubag karena merasa dilecehkan oleh si staf Bagian Hukum, yang meminta disediakan kliping berita dengan membawa-bawa nama salah seorang kandidat yang bertarung di Pilkada Bolmong 2011-2016.
Sang staf, kata pencerita yang mengurai insiden yang menjurus ke fisik itu, merasa boleh berlaku seenak pohon mangga neneknya karena dekat dengan sejumlah elit politik Bolmong. ‘’Walau pangkatnya lebih rendah dari Kasubag, dia berani begitu karena dia itu aktivis,’’ ungkap si pencerita dengan mimik dan suara meyakinkan. O, jadi karena aktivis lalu oleh seenaknya?
Di hari yang sama, saya menerima telepon seorang kerabat yang menceritakan bahwa di Harian Posko Manado ada berita yang mengutip Ketua Lembaga Pemantau Kinerja Eksekutif-Legislatif (LPKEL) Reformasi, Effendi Abdul Kadir, yang menyesalkan pernyataan Ketua komisi Pemilihan Umum (KPU) Kotamobagu, Nayodo Kurniawan. Yang disoal Ketua LPKEL Reformasi berkaitan dengan pernyataan Noyodo yang mempertaruhkan kepalanya bila Pilkada Bolmong akan diulang.
‘’Harusnya Nanang (demikian Nayodo di kenal luas di Bolmong) tidak sembarangan bicara. LSM bisa keberatan. Dan sudah terjadi, kan,’’ ujar si kerabat. Saya hampir mengatakan, ‘’Kalau LSM keberatan, terus apa? Mereka boleh bicara, Nanang juga boleh. Ini negeri merdeka.’’ Komentar yang sudah nyaris tersembur itu saya telan lagi dan hanya mangut-mangut (persis beo) sambil terus menempelkan telepon di kuping.
Dimbulo’ seperti apakah aktivis dan LSM ini? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2005, mengartikan ‘’aktivis’’ sebagai: (1) orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan suatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya; dan (2) –politik-- seseorang yang menggerakkan (demonstrasi dan sebagainya). Serta LSM sebagai: organisasi yang bertujuan memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Merujuk pengertian di atas, saya bisa mengatakan bahwa hampir tidak aktivis dalam pengertian yang sebenarnya di Mongondow, yang justru banyak berkoar-koar di media selama ini. Aktivis yang rill justru lebih banyak tidak terdengar sepak-terjangnya; dan yang saya amati umumnya dari kalangan petani atau kaum perempuan. Akan halnya aktivis (politik), kalau pun ada demonstrasi –sebagaimana pengertian kedua dari KBBI—tak lebih dari kepentingan sesaat dan atas pesanan sponsor tertentu.
Karenanya, saran saya pada siapa pun di Mongondow (termasuk para birokrat dan pengusaha yang paling sering ditakut-takuti dengan kata ‘’aktivis’’), bila ada yang mengaku aktivis dan bikin ulah, semisal Sehan Ambaru --janjinya untuk mundur dari PNS akan saya tagih setelah Salihi Mokodongan-Yani Tuuk dilantik--, maka tempeleng saja. Kalau tidak tega melakukan, saya bersedia ditelepon untuk mewakili.
Begitu pula dengan LSM? Memangnya ada berapa banyak LSM dalam pengertian sebenar-benarnya di Mongondow? Jenis lembaga seperti LPKEL Reformasi bukanlah LSM. Apa yang sudah disumbangkan oleh organisasi ini terhadap masyarakat Mongondow? Kertas kerja, konsep, dan program apa yang sudah secara nyata dilahirkan oleh lembaga semacam LPKEL Reformasi –-serta banyak lembaga sejenis lain? Kalau hanya sekadar berkomentar di koran, menurut saya tidak perlu atas nama lembaga yang namanya seolah-olah ‘’keren’’.
Di sisi lain, media (utamanya para wartawan) semakin malas dan tidak kreatif mencari berita; dan itu juga menunjukkan kualitas personal jurnalisnya sekaligus kualitas media bersangkutan. Kalau Effendi Abdul Kadir yang tampak seperti ‘’master segala bidang’’ menjadi sumber berita tetap, pengetahuan macam apa yang ada di kepala si wartawan? Mengapa bukan dosen hukum atau pengacara bereputasi baik yang dimintai komentar atas pernyataan Noyodo Kurniawan, yang dia ungkapkan dengan menggunakan nalar dan pengetahuan dengan dasar yang rasional dan kokoh.
Menjengkelkan betul membaca keberatan yang jauh dari subtansi dan sekadar reka-reka. Nayodo Kurniawan berani mempertaruhkan kepalanya dengan konteks yang jelas; sedang Effendi Abdul Kadir mengomentari dari perspektif yang logikanya entah dipungut dari mana.
Yang lebih mengherankan saya, orang-orang yang saat ini mengaku sebagai aktivis dan penggiat LSM, yang berlaku (termasuk bicara seenaknya) di Mongondow, tidak saya kenal reputasinya selama tahun-tahun saya berada di Perguruan Tinggi dan LSM. Nama-nama orang Mongondow yang aktif di berbagai aktivitas (terutama) selama masa kuliah, baik di Manado, Makassar, dan Yogyakarta (enclave terbesar mahasiswa asal Bolmong di luar tanah kelahirannya) setidaknya saya ingat dengan baik.
Sangat mudah mengaku sebagai aktivis di Mongondow, terutama kalau Anda tidak punya kesibukan lain. Sama mudahnya dengan mengaku LSM, sembari melirik kiri-kanan untuk mendapatkan kontrak bersoal di media atau berpolitik-praktis yang ujung-ujungnya berkaitan dengan proyek APBD atau kepentingan pribadi sejumlah elit politik dan birokrasi lokal.
Kalau ada di antara nama-nama dan mereka yang merasa aktivis serta LSM di Mongondow keberatan; saya menantang mareka berdebat di depan orang banyak untuk membuktikan bahwa apa yang selama ini ada di batok kepala dan yang mereka praktekkan, bukanlah aktivisme dan LSM dalam pengertian subtantifnya.***