Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, April 15, 2011

Ama’ i Feni dan Masa Depan Bolsel


MENJELANG waktu makan siang, Kamis (14 April 2011), saya tiba di Ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Molibagu. Impresi pertama saya, begitu memasuki batas kota, adalah suasana yang tenang dan ‘’relatif’’ bersih. Kesan bersih itu makin kuat ketika memasuki areal perkantoran (sementara), menuju Kantor Bupati.

Cukup lama saya tidak berkunjung ke Molibagu. Tidak juga ketika Bupati-Wabup pertama hasil pemilihan langsung, Herson Mayulu-Samir Badu, dilantik oleh Gubernur SH Sarundajang, Desember 2010 lalu. Padahal saat itu beberapa kawan mendesak agar saya ikut serta, tapi karena ada sejumlah pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan, dengan berat hati saya menolak ajakan itu.

Kehadiran saya di Bolsel kali ini adalah atas undangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) berkenaan dengan Sosialisasi Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat (Badko Humas) Bolsel. Di acara ini saya didaulat jadi pembicara (saya selalu merasa lucu setiap kali diundang sebagai pembicara di seminar, workshop dan sejenisnya; sebab tampaknya satu-satunya keahlian saya memang hanya bicara) dengan topik yang cukup ‘’seram’’: Paradigma Baru Humas, Peran dan Etika Pers dalam Penyebarluasan Informasi. Urusan topik ini, saya sempat mengerutkan kening ketika menerima email dari panitia, sebab seolah-olah kita semua –termasuk saya-- sudah paham ‘’paradigma lama’’ dan sekarang waktunya belajar yang baru.

Ama’ i Feni yang Saya Kenal

Dua hari sebelum berangkat ke Molibagu, saya menerima pesan pendek dari Bupati Bolsel, Herson Mayulu, yang menginformasikan dia masih berada di Jakarta. Ama’ i Feni atau Oku –begitu saya menyapa dia dengan hormat—juga menanyakan saya berada di mana. Saya mengemukakan sedang berada di Manado dan akan ke Bolsel untuk menghadiri undangan Pemkab.

Kami sempat bertukar beberapa pesan pendek lagi, yang intinya Bupati mengharapkan saya ikut membantu memberikan wawasan pentingnya aspek komunikasi pada birokrat di Boltim. Pembaca, tanpa diminta oleh Pak Bupati, saya dengan senang hati bersedia melakukan apa yang saya bisa untuk dia, jajaran birokrat di Pemkab, dan masyarakat Bolsel umumnya.

Pesan pendek selalu terbatas dan saya tak bisa mengekspresikan apa yang ada di kepala. Yang jelas hari itu saya ingin mengatakan bahwa undangan Pemkab Bolsel sudah satu kehormatan besar; apalagi kemudian Bupati meluangkan waktu berkomunikasi langsung.

Sejujurnya, hubungan saya dengan Ama’ i Feni pernah kurang harmonis karena perbedaan pandangan, terutama karena kesetiaan dan loyalitas politiknya. Belakangan saya bisa memahami bahwa sikap itu dia ambil agar tidak menjadi ‘’abu-abu’’ dalam tiap tindakannya. Saya kian respek ketika tahu dia menggorbankan karir politik yang sedang menuju puncak, karena keyakinan bahwa yang hak adalah hak; dan yang tidak tetaplah tidak.

Bukan karena sekarang Ama’ i Feni sudah menjadi Bupati lalu saya berlagak dekat atau ‘’sok punya empati dan simpati’’. Tapi ketika mengetahui dia tidak dilantik sebagai anggota DPR Bolmong, padahal menjadi peraih suara terbanyak dari wilayah Bolsel (ketika itu masih menjadi bagian Bolmong Induk) tersebab rivalitas politik, diam-diam saya memprotes lewat beberapa teman di DPP Partai Golkar.

Sewaktu Ama’ i Feni pindah ke PDI Perjuangan (lalu menjadi Ketua DPC Bolsel), kepada salah satu sahabat terdekat, Nano Syafe’i, saya mengatakan partainya sudah mengambil langkah tepat. Ama’ i Feni tak hanya akan memberikan nilai tambah dan penambahan pada PDI Perjuangan di Sulut, tapi juga menjadi salah satu kader partai yang bakal berperan besar di pentas politik Bolmong. 

Seingat saya percakapan dengan Nano Syafe’i itu berlangsung di Hotel Ritzy di tengah berlangsungnya Konferensi Daerah (Konferda) PDI Perjuangan Sulut. Ketika itu juga saya mendapatkan konfirmasi bahwa Ama’ i Feni pasti mencalonkan diri sebagai kandidat Bupati Bolsel; dan bahwa PDI Perjuangan akan memberikan dukungan penuh.

Saya sendiri sampai saat itu tidak pernah berhubungan langsung dengan Ama’ i Feni. Kami baru berpelukan dan bertatap muka langsung di Hotel Ritz Carlton Sudirman Central Business District (SCBD). Kami saling menyapa dengan ‘’Utat’’ dalam pengertian yang sesungguhnya. Dia bukan hanya kerabat dalam pengertian karena sesama orang Mongondow; tapi dalam arti yang sebenar-benarnya.

Sejak itu hubungan saya dengan Ama’ i Feni kembali seperti masa lalu. Respek saya padanya juga kian besar, terutama setelah mengikuti dan menyaksikan bagaimana dia dengan keras hati ingin mewujudkan cita-cita memberikan kontribusi rill terhadap Bolsel, dengan menjadi Bupati. Walau saya masih kerap salah tingkah setiap kali menerima pesan pendek dari Ama’ i Feni, karena di alam pikiran saya seorang Bupati adalah orang paling sibuk di wilayahnya, yang tentu harus meluangkan waktu tersendiri untuk mengirim pesan pendek pada rakyat biasa seperti saya.

Masa Depan Bolsel

Di Kantor Bupati Bolsel saya disambut kejutan. Jajaran elit Pemkab yang saya sua ternyata bukanlah mereka yang asing, tapi tetap saja membuat terperanjat.

Asisten III, Hamka Podomi, ternyata mantan guru saya di SMA Negeri 2, yang beralih menjadi birokrat. Asisten I, Tahlis Galang, yang selama ini kerap disebut-sebut namanya di beberapa pertemuan yang saya hadiri, adalah adik kelas jauh. Sekretaris Kabupaten (Sekab), Gunawan Lombu, akrab saya kenal dengan sapaan Om Gunawan. Ada pula Kabag Hukum, Roy Bara, yang tak lain kawan diskusi semasa di Perguruan Tinggi (dia ikut mendirikan Kelompok Diskusi Titian yang kemudian melahirkan sejumlah orang yang saat ini disebut sebagai ‘’tokoh’’ di Sulut), dan adik-adik yang saat kuliah kerap reriungan di rumah saya di Manado seperti Hendra Mokoagow.

Bercakap-cakap dengan orang-orang itu, yang saya tahu persis record-nya sebagai birokrat, saya menyimpan optimisme besar terhadap masa depan Bolsel sebagai salah satu kabupaten berusia belia di Sulut. Bupati-Wabup, Herson Mayulu-Samir Badu, menurut pandangan subyektif saya berhasil mengumpulkan sumber daya birokrat yang tergolong cakap di bidangnya untuk menopang pemerintahan mereka di Bolsel. Saya berkeyakinan dengan sumber daya seperti itu (ditambah sumber daya alam –SDA—dan masyarakatnya yang relatif kooparatif), Bolsel bakal menjadi salah satu kabupaten yang memberikan kebanggaan untuk orang Mongondow.

Memang simpulan saya terlampau dini dan terkesan mengagung-agungkan visi kepemimpinan Bupati-Wabup, yang salah satunya mengedepankan religiusitas sebagai pondasi bagi Bolsel ke masa depan. Anehnya, saya tidak kuatir prediksi  itu akan meleset dan hanya membuahkan kekecewaan karena Bupati-Wabup dan jajarannya tergelincir menjadi tak beda dengan praktek birokrasi di Mongondow yang saya kritik setidaknya dalam hampir 20 tahun terakhir.

Saya lebih kuatir pada bisik-bisik yang saya dengar sejak Bupati-Wabup Bolsel dilantik, bahwa Ama’ i Feni hanya berencana menduduk jabatannya selama satu periode. Setelah itu dia akan beralih ke ‘’lahan’’ politik lain, yang ‘’konon’’ itu adalah DPR RI.

Kalau visi dan misi yang saat ini dia letakkan sukses di lima tahun pertama, diperlukan waktu yang lebih panjang untuk menstabilitasi capaiannya agar menjadi kultur yang kokoh bagi birokrasi dan masyarakat Bolsel umumnya. Dengan segala kelebihan dan kelemahan Ama’ i Feni sebagai manusia, saya yakin dia –bersama Wabup dan jajaran birokrasi yang ada saat ini—harusnya menjadi jawaban jangka panjang bagi kemaslahatan Bolsel.***