Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, April 18, 2011

Gugatan Pilkada Bolmong: Pasti Ada yang Dusta di Antara Kita!

SENGKETA Pilkada Bolmong yang tengah disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki babak krusial. Di sidang yang berlangsung hari ini (Senin, 18 April 2010), banyak kejutan yang terungkap setelah saksi-saksi dari pihak tergugat, baik KPU Bolmong maupun pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, menyampaikan kesaksiannya.

Kita mulai saja dari yang paling ringan, gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit. Saksi yang dihadirkan KPU Bolmong, tiga orang pengurus partai (tingkat provinsi dan pusat) dari partai politik (Parpol) yang diklaim Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit sebagai pendukung; menyampaikan mereka justru menyokong pasangan Samsurijal Mokoagow-Nurdin Mokoginta. Kesaksian tiga pengurus Parpol itu diperkuat saksi lain, anggota KPU Pusat, Putu Artha.

Sepengetahuan saya, aturan dukungan terhadap pasangan kandidat peserta Pilkada tidaklah rumit. Cukup didukung pengurus Parpol –dalam hal ini yang bertanda-tangan Ketua dan Sekretaris; atau yang ditunjuk sebagai pengganti-- setingkat kabupaten/kota, kemudian dikuatkan pengurus tingkat provinsi. Bila ada konflik di tubuh Parpol pendukung, misalnya kepengurusan ganda, maka prosesnya mungkin lebih panjang, yaitu melibatkan pengurus tingkat provinsi dan kemudian dikuatkan pengurus pusat.

Dalam kasus Suharjo Makalag-Hasna Mokodompit, bila pengurus tingkat kabupaten memberikan dukungan, tetapi dianulir di tingkat provinsi; dan keputusan pengurus tingkat provinsi dikuatkan pengurus pusat, duduk soalnya terang sudah: yang harus digunakan adalah keputusan otoritas yang lebih tinggi. Repotnya, karena Parpol yang berkoalisi menyokong Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit pas-pasan jumlahnya, satu partai saja yang menarik diri, gugurlah persyaratan minimal yang mesti dipenuhi pasangan ini.

Kesaksian pengurus Parpol yang dihadirkan di sidang hari ini, serta anggota KPU Pusat, bila diterima oleh Majelis Hakim, tanpa perlu perdebatan lagi sudah mengakhiri gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit.

Kontroversi Ijazah

Sekarang bagaimana dengan saksi-saksi yang dihadirkan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk menangkis gugatan pasangan Didi Moha-Norma Makalalag? Saya tidak akan menyebut satu per satu, tapi yang paling penting adalah bersaksinya Kepala Sekolah SD Negeri Motabang 1964-1974, Hadijah Paputungan-Damopolii. Kesaksian wanita yang sudah memasuki usia (kalau saya tidak salah) 74 tahun, mementahkan spekulasi yang selama ini simpang-siur dipercakapkan dan dispekulasikan di Mongondow.

Memang benar SD Negeri Motabang baru berdiri 1964, tapi sudah meluluskan murid pada 1968. Latar belakangnya, begitu SD Negeri itu mulai beroperasi, murid-murid yang berasal dari sekitar sekolah, yang sebelumnya menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Lolak dan (SR) Mokoinit, dipindahkan ke SD Negeri Motabang. Salah satu murid itu adalah Salihi Mokodongan, yang kelas 1-nya ditempuh di SR Lolak, kemudian kelas 2 di SR Mokoinit, dipindah dan langsung duduk di kelas 3 SD Negeri Motabang. 

Surat Tanda Lulus yang dikantongi Salihi Mokodongan dari SD Negeri Motabang ditanda-tangani oleh Hadijah Paputungan-Damopolii. Tanda lulus itu pula yang bukti kerasnya saat ini masih di tangan Salihi Mokodongan.

Bagaimana dengan Surat Keterangan Pengganti Ijazah yang dipersoalkan Kadis Pendidikan Bolmong, Ulfa Paputungan, Ketua Forum Pemuda Peduli Bolaang Mongondow (FP2BM, Roni Mokoginta, dan sejumlah saksi lain? Di sinilah persoalannya, karena beberapa saksi –termasuk KPU Bolmong—menyatakan bahwa mereka mengacu pada Tanda Lulus yang dikantongi Salihi Mokodongan. Untuk mendapatkan ijazah Paket B dan Paket C, Salihi Mokodongan mendasarkan pada Tanda Lulus yang ditandatangani Hadijah Paputungan-Damopolii, dan bukan Surat Keterangan Pengganti Ijazah yang ‘’katanya’’ bertanda 2008 tapi dengan materai yang baru beredar 2010.

Di persidangan juga terungkap pengakuan saksi ahli dari Badan Nasional Standar Nasional Pendidikan (BNSP) yang diajukan pasangan penggugat Didi Moha-Norma Makalalag, yang mengakui bahwa yang berhak menyatakan seseorang lulus dari pendidikan Paket B dan Paket C adalah panitia penyelenggara. Dengan kata lain di tangan Kepala Bidang Kesetaraan Pendidikan di Diknas Provinsi. Sedang yang berhak mengeluarkan ijazah adalah Kepala Diknas setempat, di mana peserta Paket B atau C melaksanakan pendidikannya.

Mantan Kepala Diknas Kota Kotamobagu, yuridiksi di mana Salihi Mokodongan mendapatkan ijazah Paket B dan Paket C-nya, Hamri Manoppo, bersaksi bahwa setelah memeriksa semua dokumen dan mendapatkan laporan dari para staf (termasuk melihat daftar nilai yang dicapai peserta), dia lalu menanda-tangani ijazah dari semua mereka yang dinyatakan lulus. Kesaksian Hamri Manoppo ini mementahkan spekulasi bahwa ijazah Salihi Mokodongan abal-abal dan tidak sesuai prosedur.

Lalu jarak ijazah Paket B dan Paket C Salihi Mokodongan yang hanya berselisih 18 bulan; dan bukan dua tahun? Tampaknya masalah ini terletak pada penafsiran apakah dua tahun yang dimaksud adalah jumlah bulan yang harus 24; atau dua tahun dalam pengertian tahun ajaran. Kalau pengertiannya tahun ajaran, maka tidak ada lagi perdebatan.

Kita semua tahu, anak sekolah tidaklah ujian di setiap Juni, tapi mundur beberapa bulan ke belakang (saat ini ujian akhir sekolah bahkan dilaksanakan paling lambat April). Kalau standarnya harus tepat 24 bulan (sesuai kalender), maka pastilah semua ijazah yang dikeluarkan di negeri ini tergolong abal-abal karena pasti jumlah bulan di mana anak didik menempuh pendidikan kurang dari 36 bulan (kalau itu untuk tingkat SMP dan SMU).

Saya tidak akan menginterpretasi lebih jauh fakta-fakta yang diajukan ke depan MK lewat saksi-saksi dari Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Apalagi besok (Selasa, 19 April 2011) Majelis Hakim MK akan meng-konfrontir saksi-saksi yang diajukan Didi Moha-Norma Makalalag dan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Di antara para saksi itu, saya ingin tahu bagaimana Lukman Lobud yang bersaksi sebagai Pengawas Pengganti, bahwa dalam mendapat ijazah Paket B, Salihi Mokodongan menggunakan ‘’joki’’, Linda SS.

Siapa yang benar antara Lukman Lobud dan Linda SS (yang menyatakan dia tidak pernah menjadi joki ujian Paket B untuk Salihi Mokodongan), kita ketahui setelah konfrontir. Satu hal yang mengganggu saya: Kalau Lukman Lobud adalah Pegawas Pengganti –tentu dia punya kuasa mengawasi proses ujian--, mengapa tidak mengambil tindakan apa-apa saat mengetahui ada peserta yang diwakili ‘’joki’’?

Persidangan sengketa Pilkada Bolmong, bagi kita orang Mongondow, memang menyedot perhatian dan keingintahuan. Khusus bagi saya pribadi, makin jelas ada yang berdusta di antara orang-orang yang terlibat, boleh jadi  penggungat, yang digugat, atau saksi-saksi yang dihadirkan (dan akan dihadirkan). Siapa para pendusta itu, kita tunggu saja bersama akhir ‘’drama’’ ini.***