Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, April 19, 2011

MK, Satu Kali Lagi

GUGATAN Pilkada Bolmong yang disidangkan di Mahkamah Konstitusi hari ini, Selasa (19 April 2011), bagai anti klimaks. Saksi-saksi terakhir yang dihadirkan baik oleh penggugat maupun tergugat, boleh dibilang hanya mengkonfirmasi fakta-fakta yang sudah disampaikan di sidang-sidang sebelumnya.

Gugatan pasangan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit, misalnya, datar-datar saja. Menurut hemat saya, klimaks pembuktian gugatan pasangan ini berlangsung di sidang kemarin (Senin, 18 April 2011). Sedang untuk gugatan Didi Moha-Norma Makalalag, saksi-saksi yang mereka hadirkan dengan menyesal saya katakana tak membawa greget baru.

Kita sama tahu, ada dua kasus yang diajukan Didi Moha-Norma Makalalag, yaitu politik uang (money politic) yang lakukan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk; dan ijazah SD, Paket B, dan Paket C Salihi Mokodongan yang ‘’dianggap cacat’’ hingga secara administratif Pilkada Bolmong juga dianggap bermasalah. Terhadap gugatan politik uang, saya tidak perlu berpanjang-panjang. Aspek terpenting dari pembuktian terhadap tuduhan ini berubah sebaliknya; karena justru pihak tergugat (yang menghadirkan sejumlah Kepala Desa) berhasil mangungkap fakta Didi Moha-Norma Makalalag-lah yang mempratekkan politik uang dengan cara terencana dan terstruktur.

Kepala-kepala desa yang dihadirkan masih mengingat dengan jelas tanggal berapa utusan pasangan Didi Moha-Norma Makalalag menemui mereka, memberikan amplop berisi uang (jumlah amplopnya pun mereka sebutkan), untuk dibagikan pada para pemilih.

Kesaksian aparat utama desa itu tak dapat dikesampingkan sebagai hal penting, karena merekalah yang dijadikan operator lapangan. Tepat seperti dugaan saya –yang bisa ditelusuri dari artikel-artikel yang saya unggah di blog ini--, menggugat dengan dasar politik uang bakal menjebak penggugat sendiri. Rekam jejak gugatan politik uang di Pilkada yang disidangkan di MK juga menunjukkan mayoritas kasus ditujukan pada incumbent; bukan sebaliknya oleh incumbent pada penantangnya.

Incumbent untuk konteks Pilkada Bolmong tak lain Didi Moha-Norma Makalalag; karena faktor Bupati Marlina Moha-Siahaan yang adalah Ibu Kandung Didi Moha. Bagi yang paham persis praktek dan budaya politik di Bolmong dalam 10 tahun terakhir, gugatan Didi Moha-Norma Makalalag akhirnya harus dimaknai seperti pepatah ‘’menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri’’.

Mengetahui gugatan politik uang itu berpotensi jadi bumerang untuk Didi Moha-Norma Makalalag, mendorong saya menelepon Sekretaris Partai Golkar (PG) Bolmong, Widi Mokoginta, sebelum pasangan ini mendaftarkan gugatannya. Widi yang di masa studi Perguruan Tinggi (PT)-nya menjadi bagian dari kelompok anak-anak Mongondow yang bergaul dekat dengan saya –bahkan hingga hari ini, walau pun kami kerap berbeda ide dan pandangan terhadap banyak hal—hanya menjawab bahwa apa yang dilakukan Didi Moha-Norma Makalalag adalah ikhtiar pendidikan politik.

Saya setuju saja dengan dalih ikhtiar itu, tapi tetap bersikukuh lebih banyak mundarat jangka panjang, khusus untuk Didi Moha, ketimbang manfaatnya. Pikiran sederhana saya, kalau tergugat bisa membuktikan sebaliknya (seperti yang tampak di siang MK hari ini), masyarakat bisa menghubung-hubungkan ke belakang dan mendapat pembenaran terhadap gosip yang pernah meruyak, bahwa terpilihnya Didi Moha sebagai anggota DPR RI pada Pemilu 2009 tak jauh dari hasil politik uang.

Mari kita tutup saja hal-ihwal politik uang yang kalau diolah dan dikilik-kilik pasti beranak-pinak gosip dan bisik-bisik baru.

Ijazah Lagi: Capek Deh

Yang tetap menarik –walau bikin capek bila terus-menerus diulas—adalah ijazah Salihi Mokodongan yang menjadi alasan gugatan cacat proses Pilkada Bolmong.  Ada dua aspek: Pertama, Surat Tanda Lulus yang dikantongi Salihi Mokodongan dari SD Negeri Motabang tak diutak-atik lagi, karena memang tak ada masalah di situ. Kedua, ijazah Paket B dan Paket C ditanda-tangani Kepala Dinas Pendidikan (Kadiknas) Kota Kotamobagu, adalah benar dan sah.

Bagaimana dengan kesaksian Kepala Diknas Bolmong, Ulfa Paputungan, serta Raula Sugeha yang sejak awal mengesankan dua ijazah itu abal-abal? Kengototan Ulfa dengan mudah dipatahkan oleh Kesaksian Kadiknas Provinsi Sulut, HR Makagansa dan Kadiknas Kota Kotamobagu, Hamri Manoppo.

Subtansi dari kesaksian dua Kadiknas ini –ditunjang saksi lain-- adalah: Pertama, Ulfa Paputungan tidak punya urusan dengan sah-tidaknya ijazah Paket B dab C Salihi Mokodonga serta proses mendapatkannya. Yang berwenang adalah Kadiknas Provinsi dan Kadiknas Kabupaten/Kota di mana ijazah itu dikeluarkan. Kedua, dekatnya jarak waktu antara didapatnya ijazah Paket B dan C, tidak menjadi masalah, apalagi dari arsip yang dimiliki Kadiknas Provinsi dan Kadiknas Kota Kotamobagu, cukup banyak yang mengantongi ijazah Paket B dan C di Sulut dengan jarak waktu perolehannya hanya 18 bulan.

Gong dari kelindang ijazah itu adalah kesaksian Kasat Reskrim Polres Bolmong, AKP Diari Astetika dan Kasat Intelkam, Tedi Pontoh. Dua pejabat kepolisian ini menyampaikan kesaksian bahwa mereka memproses laporan dari Ketua Forum Pemuda Peduli Bolaang Mongondow (FP2BM), Roni Mokoginta –kendati Polres Bolmong hanya menerima tembusan, namun mereka tetap melakukan penyelidikan. Yang dilakukan Polres Bomong tidak hanya meminta keterangan dari Diknas Kota Kotamobagu dan Diknas Provinsi Sulut, tapi bahkan menanyakan keabsahannya ke Sekretaris Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP).

Seluruh penyelidikan yang dilakukan aparat Polres Bomong menghasilkan simpulan tidak ada masalah dengan ijazah Paket B dan C milik Salihi Mokodongan. Laporan Roni Mokoginta tidak dilanjutkan ke penyidikan sebab tak ditemukan bukti permulaan yang cukup kuat. Fakta lain,  tak ada pula rekomendasi apapun dari Panwas dan ini menguatkan temuan Polres Bolmong bahwa dugaan ijazah paket B dan C Salihi Mokodongan sebagai abal-abal, hanya isapan jempol.

Kesaksian Kasat Reskrim dan Kasat Intelkam itu secara tidak langsung juga mementahkan laporan Roni Mokoginta ke Mabes Polri.

Setelah saksi-saksi dan bukti-bukti, dibeberkan di hadapan Majelis Hakim MK, siapa pun yang mengukuti prose’s persidangan sudah bisa menyimpulkan kemungkinan putusan yang bakal jatuh. Pembaca, Anda mesti bersabar karena Rabu (20 April 2011) masih ada pemasukan simpulan dan bukti-bukti tambahan dari penggugat dan tergugat. Diperkirakan putusan Majelis Hakim MK akan dijatuhkan Selasa pekan depan (26 April 2011).

Ketika itu kita tahu siapa yang bersorak ‘’hore’’ dan siapa yang  balik mabur terkaing-kaing dengan ekor terlipat di antara kedua kaki bagai anjing dihantam balok.***