Pembalap Ducati Marlboro, Vaelntino Rossi. Foto: Internet |
Stoner tersingkir di tengah berlangsungnya balapan setelah Rossi yang berusaha menyalip dari sisi dalam tingkungan terjatuh. Efek dominonya antara lain ikut menyeret Stoner terhempas. Rossi berhasil menyelesaikan balapan, sedangkan Stoner harus kembali ke pole dengan nilai akhir nol.
Sesaat setelah balapan, sebagaimana yang dilansir Detik.Com (mengutip situs Crash), mereka berdua terlibat percakapan. Saya kutipkan lagi dialog antara keduanya di sini.
Stoner (tersenyum): Bagaimana bahumu? Apa baik-baik saja?
Rossi (masih mengenakan helm): Aku sangat menyesal.
Stoner: Tak apa-apa. Kamu masih memiliki masalah dengan bahumu?
Rossi: Aku membuat sebuah kesalahan.
Stoner: Yeah. Keinginanmu tadi jelas melebihi kemampuanmu (ingin menyalip).
Rossi: Eh?
Stoner: Keinginan melebihi kemampuan.
Rossi: Aku sangat menyesal.
Stoner: Tidak masalah.
Orang-Orang Terhormat
Di dunia olahraga, di mana kompetisi berlangsung sangat berat dan ketat, sportivitas adalah kehormatan yang menjadi penakar seorang atlet berkualitas dunia atau kelas kampungan (saya tidak menyebut kampung, sebab ‘’kampung’’ dan ‘’kampungan’’ punya arti yang jauh berbeda). Atlet yang mencapai prestasi tinggi dan dihargai di tengah komunitasnya –dan juga fans—adalah mereka yang bekerja keras dengan jalan lurus; dan tetap berlaku sebagai ‘’orang-orang terhormat’’ di dalam dan di luar arena.
Bukan sekali-dua kita menyaksikan pertandingan sepakbola, di mana sepanjang laga para pemain kerap bukan hanya menendang atau menanduk bola, tapi juga tulang kering dan dada lawan. Saling sikut dan tarik kaos –bahkan mungkin dibarengi cubitan— juga dilakukan. Tapi begitu pluit akhir pertandingan ditiup, dua tim yang saling berhadapan itu bisa berpelukan, saling tukar kaos (Anda bisa membayangkan kebiasaan menjijikkan ini justru menjadi ekspresi keakraban para pemain bola), dan bergandengan ke ruang ganti. Tidak peduli siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Tentu pertandingan sepakbola yang saya maksudkan itu bukan di Indonesia, yang dalam banyak kejadian lebih mirip pertandingan tinju atau demonstrasi, ketimbang sebuah tontonan indah. Mungkin hanya di Indonesia (selain di Amerika Latin di 1970-an), tim sepakbola harus diangkut dengan kendaraan lapis baja ke dan dari stadion, agar keselamatan mereka terjamin.
Dari dunia olahraga (celakanya sangat sedikit yang bisa dirujuk dari negeri sendiri) kita belajar banyak bagaimana menjadi pemenang yang menghormati lawan dan kalah; dan bagaimana yang kalah tidak kehilangan muka dan kehormatan di hadapan pemenang. Pengakuan keliru dan penyesalan yang berkali-kali yang disampaikan Rossi pada Stoner adalah salah satu contoh di mana keduanya sama-sama patut diacungi jempol.
Rossi sudah berusaha mati-matian mengalahkan Stoner di lintasan; sedangkan Stoner telah berjuang habis-habisan mengungguli Rossi. Kalau kemudian terjadi insiden di tengah kompetisi dan salah satu tersingkir, itu bagian dari proses. Boleh jadi satu saat giliran Stoner yang melakukan kekeliruan dan menyebabkan kerugian pada Rossi. Dan karena itu dia menanggapi dengan kebesaran hati seorang gentlemen. Hal yang sama juga dilakukan Rossi.
Alangkah indahnya menonton MotoGP Jerez. Terasa lebih sedap lagi setelah saya mengetahui dialog di antara kedua pembalap papan atas itu.
Cermin untuk Politisi Bolmong
Pesan moral apakah yang bisa kita petik dari dialog antara Stoner dan Rossi itu? Di antara pikuk isu gugatan kandidat Bupati di Pilkada Bolmong 2011-2016, Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot dan Didi Moha-Norma Makalalag, ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dugaan pasangan pemenang, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, melakukan politik uang (money politic), saya membayangkan mereka punya waktu luang dan sempat membaca dialog Stoner-Rossi.
Dua pasang kandidat yang menggugat ke MK itu bisa bercermin dari Stoner-Rossi bagaimana menjadi petarung yang habis-habisan selama laga berlangsung; sekaligus menjadi pemenang dan yang kalah dengan lega serta tak kehilangan penghormatan. Menggugat dengan alasan politik uang, apalagi di Pilkada era reformasi saat ini (kita semua tahu demokrasi Indonesia setelah reformasi dan otonomi daerah adalah ‘’demokrasi biaya mahal’’), sungguh menggelikan. Ibarat pembalap yang sama-sama terjatuh, tetapi kemudian salah satu bisa bangkit dan menyelesaikan seluruh lap, yang kalah semestinya memberi selamat dan berusaha lebih baik di masa datang.
Di banyak diskusi dan percakapan saya suka mengatakan Pilkada bukanlah Musabaqah Tilawatil Qur’an. Sebab dalam politik segala daya (dan tipu) dipersepsi sah dilakukan, sepanjang tidak disemprit otoritas yang bertanggungjawab sebagai pegawas. Di Pilkada Bolmong, di mana salah satu kandidat adalah putra Bupati incumbent, yang kita sama tahu selama ini juga punya pengaruh kuat terhadap seluruh institusi birokrasi dan masyarakat, kalau ada pelanggaran seperti politik uang, semestinya Panwas, polisi, dan jajaran birokrasi yang terlibat pengawasan Pilkada sudah jauh-jauh hari ramai berkicau.
Ketimbang hanya memperpanjang-panjang masalah (serta biaya yang potensial dikeluarkan bila MK akhirnya menerima gugatan kandidat yang kalah), saya kira sebelum semuanya kasip, Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot serta Didi Moha-Norma Makalalag, sebaiknya menarik kembali gugatannya. Kalau pun mereka tetap bersikukuh, tentu menjadi hak hukum dan konstitusinya.
Saya dan kita yang rakyat biasa ini, paling-paling hanya menunggu hasil akhirnya dengan sabar. Atau, menghibur hati dengan mencemooh kandidat yang kalah dan keras kepala merasa benar sendiri sebagai politisi kampungan. Tidak cocok untuk kompetisi berkelas. Dan memang begitulah adanya.***