Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, April 28, 2011

Hore...!

TULISAN MK akan Menangkan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk dan KPU Bolmong yang diunggah di blog ini pada Jumat (22 April 2011) terbukti kebenarannya. Di  sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang berlangsung Kamis (28 April 2011), putusan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini memang sudah diduga sejak awal. Paling tidak oleh mereka yang memahami hukum dan wewenang batas-batas kewenangan MK dalam menyindangkan sengketa Pilkada; serta yurisprudensi dari putusan-putusan sebelumnya.

Terhadap gugatan pasangan Didi Moha-Norma Makalalag, Majelis Hakim MK berpendapat: Pertama, gugatan untuk keabsahan ijazah Salihi Mokodongan bukanlah kewenangkan MK. Dengan demikian, dalil yang disampaikan pemohon (dalam hal ini pasangan Didi Moha-Norma Makakalag) harus dikesampingkan. Kedua, gugatan adanya politik uang yang dipraktekkan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk juga ditolak. Majelis Hakim MK justru menilai penggugatlah yang justru mempraktekkan politik uang.

Terbuktinya praktek politik uang oleh Didi Moha-Norma Makalalag membenarkan mayoritas pendapat yang berkembang di Bolmong (sayangnya ditutup-tutupi media massa yang mendukung pasangan ini karena terikat kontrak pencitraan dengan menggunakan dana Pemkab), bahwa gugatan mereka tidak lebih dari meludah ke wajah sendiri. Penilaian Majelis Hakim itu, di sisi lain bisa ditindak-lanjuti, sebab bila dana yang digunakan berasal dari APBD/APBN atau fasilitas negara untuk warga kurang mampu seperti beras miskin (Raskin), konsekwensinya adalah tindak kriminal.

Dua putusan MK terkait gugatan Didi Moha-Norma Makalalah itu sebelumnya sudah berulangkali saya bahas di beberapa artikel di blog ini. Sama dengan gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit yang juga ditolak Majelis Hakim.

Kelemahan terbesar gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit karena (sebagaimana yang juga disampaikan sejumlah saksi selama proses pengadilan berlangsung) satu partai pendukung saja yang menarik dukungan, maka syarat minimal 15 persen dukungan yang mesti mereka kantongi gugur sudah. Dan itulah yang terbukti dilakukan beberapa partai, sebagaimana fakta yang tersaji selama persidangan berlangsung.

Pelajaran Demokrasi

Apa arti ditolaknya gugatan Didi Moha-Norma Makalalag dan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit bagi warga Bolmong umumnya? Menurut hemat saya, masyarakat telah berhasil mengajarkan apa dan bagaimana berdemokrasi, terutama pada pasangan Didi Moha-Norma Makalalag dan partai pendukungnya (Partai Golkar dan Partai Demokrat).

Beberapa hari lalu saya membaca pernyataan Didi Moha, juga Sekretaris PG Bolmong, di media massa terbitan Manado dan Kota Kotamobagu Pernyataan Didi Moha, juga Sekretaris PG Bolmong, Widi Mokoginta, bahwa gugatan mereka ke MK adalah untuk pembelajaran demokrasi, justru adalah cermin ketidakmengertian dan ketidakmampuan mereka memahami serta mempraktekkan demokrasi yang sehat-bermartabat. Apalagi kemudian MK menilai merekalah yang justru mempraktekkan politik uang, satu perilaku yang sangat menciderai demokrasi.

Saya kira, sebagai anak muda, Didi Moha –juga Widi Mokoginta— bisa memetik pelajaran berharga dari seluruh rangkaian pelaksanaan Pilkada Bolmong hingga putusan Majelis Hakim MK hari ini. Bahwa, ada batas-batas di mana seorang politikus mesti mengambil putusan dengan pertimbangan tidak hanya demi egonya atau ego kelompoknya.

Saya berharap dapat membantu Didi Moha untuk keberlanjutan karir politiknya di masa datang, sepanjang sejumlah orang yang secara sengaja menjerumuskan dia (juga keluarganya) ke praktek politik yang irasional, disingkirkan sejauh mungkin.

Kesadaran terhadap batas ingin saya sampaikan pula pada sejumlah politikus dan (katanya) konsultan serta pengamat politik, yang terlibat aktif (atau aktif melibatkan diri) di Pilkada Bolmong, semisal Pitres Sombowadile. Saya menggaris bawahi Pitres bukan karena dia penting, tetapi untuk mengingatkan warga Bolmong (dan publik politik umumnya di Sulut), betapa tidak berkualitasnya assessment dan prediksi politik yang bersangkutan.

Pembaca, Anda mungkin masih ingat Harin Komentar, Senin (18 April 2011) menurunkan berita Hasil Sidang MK Bakal 
Keluarkan Putusan ‘Heboh’
Bolmong, yang mengutip habis analisis Pitres. Bahwa, Pertama, kemungkinan MK memutuskan diadakanya Pemilukada ulang dan harus mengakomodir Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit. Kedua, diadakanya pemungutan suara ulang tanpa mengikutsertakan Suharjo-Hasna. Ketiga, Pemilukada ulang dimana pasangan Salihi Mokodongan-Yanni Tuuk akan didiskualifikasi. Dan keempat, MK akan meminta KPU Bolmong untuk menggelar pleno penetapan Bupati-Wakil Bupati Bolmong terpilih (minus Salihi-Yanni). Secara otomatis pasangan Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot peraih suara terbanyak kedua tampil sebagai pemenang.


Analisis yang luar biasa ngawurnya karena tak ada satu pun yang mendekati fakta putusan Majelis Hakim MK hari ini.

Arus Balik

Lalu apa setelah MK menolak gugatan Didi Moha-Norma Makalalag dan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit? Tentu yang pertama kita semua menunggu dikukuhkannya Salihi Mokodongan-Yani Tuuk sebagai Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolmong 2011-2016. Setelah itu, biarkan mereka bekerja menata Bolmong tanpa direcoki oleh kebiasaan ‘’asal bapak senang’’ yang terbukti perlahan-lahan bakal meracuni dan membuat mereka berakhir sebagai pemimpin yang ‘’sama saja dengan yang lain’’.

Agar mereka selalu awas, kontrol dan kritik harus terus-menerus dilakukan dengan ketat. Saya, hari ini –di saat kebanyakan warga Bolmong meneriakkan ‘’hore…!’’ menegaskan: Saya akan selalu mengambil jarak dengan kekuasaan. Artinya, sampai di sini dukungan saya terhadap Om Salihi dan Yani Tuuk. Setelah ini, dukungan saya terhadap mereka berdua adalah kritik dan koreksi yang mungkin saja bakal memerahkan kuping dan memicu amarah.

Di luar itu, yang saya kuatirkan, adalah nasib sejumlah orang –tertama birokrat yang terang-terangan berpolitik praktis, bahkan menjadi operator terdepan kampanye hitam terhadap Bupati-Wabup terpilih--; yang tentu bakal dituntut pertanggungjawabannya sesuai UU dan peraturan yang berlaku. Saya yakin, tanpa dipegaruhi perasaan pribadi (sakit hati dan sejenisnya), orang-orang tersebut lebih dari pantas dicopot dari jabatan dan diseret ke hadapan hukum.

Saya berharap proses itu bukanlah balas dendam politik yang biasanya selalu dengan cara bumi hangus.***