Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, April 17, 2011

Adi-Pura(-Pura) di Kotamobagu


BEGITU tiba di Kotamobagu –dalam perjalanan ke Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Rabu malam (13 April 2011), saya hanya mampir beberapa saat di kediaman Ayah-Ibu di Jalan Amal, kemudian melayat almarhum Om Ode Mokoginta yang sedang disemayamkan di rumah duka, seberang Mesjid Raya.

Keluarga kami dan keluarga almarhum Om Ode, terutama generasi saya dan adik-adik, amat sangat dekat sejak masa sekolah. Sony, Fei, dan Stenly (tiga anak-anak Om Ode) bagai adik kandung buat saya; dan saudara dekat untuk adik-adik saya. Di masa kuliah Sony bahkan tinggal bersama dengan saya dan adik-adik hingga menyelesaikan studinya di Perguruan Tinggi (PT).

Malam itu saya menemukan suasana berkabung yang khusyuk tetapi tanpa tangis. Sony dan Stenly –Fei masih dalam perjalanan dari Filipina dan dipastikan tidak akan hadir dipemakaman ayahnya--, bercakap-cakap dengan para tamu dengan keiklasan melepas ayah mereka. Melihat ketabahan mereka, saya justru harus mati-matian menahan airmata.

Bagi saya menyaksikan perkabungan seperti itu bagai menyua sesuatu yang langka. Sedih dan kehilangan tak harus diekspresikan dengan tangisan melolong-lolong. Cukuplah dada dan hati yang dibanjiri airmata, sebab semua yang hidup memang akan kembali pada-Nya. Dan keluarga besar almarhum Om Ode menunjukkan itu dengan sangat elegan.

Memerintah Tanpa Konsep

Saat malam menua, saya, bu, adik-adik, dan para sepupu yang datang melayat bersama-sama pamit pulang. Begitu keluar dari rumah duka, saya terperanjat melihat sepanjang jalan di samping Mesjid Raya dipadati berbagai gerobak jualan. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah saya lihat di ruas jalan itu. ‘’Mereka adalah pedagang yang untuk sementara dipindahkan dari taman sebelah (di samping Universitas Dumoga Kotamobagu –UKD), karena ada penilaian Adipura,’’ jelas salah seorang sepupu.

Cukup lama saya tak bisa berkata-kata melihat karut-marut para pedagang yang sibuk mengurusi dagangannya, pembeli yang lalu-lalang, dan kendaraan bermotor yang susah payah mencari celah untuk berhenti atau bahkan hanya sekadar lewat. Ketika akhirnya bisa berkomentar, saya menyemburkan serapah, ‘’Otak udang mana yang merencanakan pemindahan ini?’’ Kalau pun dia pernah mencicipi sekolah teknik –katakanlah sipil, arsitektur, atau perencanaan kota--, saya yakin seluruh ilmu yang pernah dicecap di PT tak ada yang mengajarkan mengelola kota dengan hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat lain.

Untunglah saya bisa menahan mulut yang tampaknya semasa sekolah selalu lupa saya ajak belajar sopan-santun. Teringatlah bahwa kebanyakan insinyur atau sarjana teknik yang sekarang menjadi pegawai negeri sipil (PNS) –bahkan Kepala Dinas atau Kepala Badan—di Kota Kotamobagu, kalau bukan kakak kelas, ya, adik kelas saya. Sebagai warga teknik (walau pun saya tergolong warga kelas dua), prinsip ‘’sesama bus kota tidak boleh saling mendahului’’ masih dipegang erat. Artinya, tidak boleh saling memaki, apalagi kalau umpatan itu akhirnya mendarat di kuping dan jidat kakak kelas.

Tapi saya tidak kuasa menahan mulut yang gagal sekolah ini ketika esoknya, dalam perjalanan ke Bolsel, saya melihat ada dua jenis tempat sampah yang rupanya disediakan di tepi jalan atas kampanye Pemerintah Kota (Pemkot), masing-masing untuk sampah basah dan kering. Yang membuat saya naik darah (sebenarnya apa hak saya untuk jengkel?), karena mobil pengangkut sampah ternyata hanya satu. Alhasil saat diangkut isi dua tempat sampah itu dicurahkan begitu saja ke dalam bak mobil dan bercampuk-aduklah dia.

Sungguh dua tempat sampah itu adalah contoh kesia-siaan, kalau bukan kebodohan yang seterang sinar matahari pukul 12 siang. Untuk apa memilah-milah sampah kalau akhirnya dicampur-adukkan lagi?

Tak perlu repot-repot menelusuri seluruh Kota Kotamobagu untuk menyimpulkan: Pemerintahan yang saat ini berkuasa sedang menjalankan tanggungjawabnya dengan cara tidak bertanggungjawab; bahkan menyia-nyiakan sumber daya (manusia dan uang) yang seharusnya bisa lebih diefektifkan penggunaannya.

Konsep kota macam apakah yang sedang dijalankan oleh Walikota Djelantik Mokodompit? Saya melontarkan pertanyaan ini dengan kekuatiran, bahwa jawabannya bisa ngalor-ngidul dan akhirnya membingungkan Walikota sendiri; dan juga saya yang punya pengetahuan pas-pasan belaka. Yang jelas, sepanjang pengetahuan saya kota yang baik tidaklah dibangun dengan sulap-sulapan, apalagi hanya untuk memenuhi ambisi Walikota mendapatkan Adipura, sebagaimana ‘’demam’’ yang kini sedang melanda Kota Kotamobagu.

Ironisnya, di saat penilaian Adipura sedang berlangsung (dengan pedagang yang dipindahkan agar beberapa bagian utama kota tampak tertib dan tempat sampah yang dipilah agar seolah-olah warga kota sadar lingkungan), saya mendengar Walikota sedangn menunaikan ibadah Umroh. Melaksanakan ibadah Umroh sungguh mulia, tapi saya perhatikan itu sudah menjadi modus Walikota Djelantik Mokodompit untuk cuci tangan dari tanggungjawabnya. Seingat saya, ketika pengumuman hasil tes CPNS yang bergelimang skandal (kasusnya entah sudah terselip di mana di Polda Sulut), Walikota juga tak ada di tempat.

Untuk apa warga kota punya Walikota yang selalu tidak  ada di tempat setiap kali kehadirannya dibutuhkan? Perjalanan dinas atau Umroh toh tidak mendadak turun di kepala Walikota seperti wahyu; sama seperti penilaian Adipura yang sudah dijadwalkan sejak tahun lalu.

Mulailah dari Sekitar

Ada orang yang dilihirkan tak bisa melihat; tapi ada yang dilahirkan dengan kedua mata bersinar cemerlang tapi sengaja membutakan penglihatannya.

Saya tidaklah sentimen pada Walikota Kota Kotamobagu. Tidak ada untungnya memusuhi orang yang sedang punya kuasa. Masalahnya, menurut hemat saya, sejak terpilih Djelantik Mokodompit sama sekali tidak menunjukkan kualitas pemimpinan yang diharapkan warga kota. Aspek paling mendasar dari kepemimpinan, semisal kepekaan terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, sama sekali tak dia miliki.

Lihatlah sepanjang Jalan Adampe Dolot, Mogolaing (kita batasi saja dari Supermarket Paris hingga jabatan yang menjadi batas Kelurahan Mogolaing dan Molinow), yang tak mencerminkan pemandangan selayaknya jalan utama di Kota Kotamobagu. Sepanjang jalan kita menyaksikan warung dan macam-macam bangunan (sebagian diabuat seadanya) menghiasi halaman rumah hingga ke tepi jalan. Kesan pertama adalah kekumuhan yang centeng-perenang. Tidak pernahkah Walikota dan para insinyur serta sarjana teknik mendengar kata ‘’sepadan jalan’’ atau jarak antara bangunan dengan tepi jalan?

Di manakah tata kota yang seharusnya direncanakan dan ditegakkan dengan konsisten; dengan tetap memberi ruang pada warga untuk menggerakkan ekonomi dengan membangun usaha. Dengan penataan yang serius, ekonomi kota akan bergerak di satu sisi, sedangkan di sisi lain tata kota juga terjaga, minimal tidak tampak sebagai areal yang dibangun asal-asal dan tidak karuan.

Pemandangan yang saya persoalkan itu seharusnya tiap hari jadi ‘’menu mata’’ Walikota yang rumah pribadinya terletak hampir tepat di tengah Mogolaing, lebih khusus lagi di Jalan Adampe Dolot. Kalau Walikota tidak menyadari betapa seriusnya situasi yang saya gambarkan, barangkali kaca mobilnya terlampau gelap; atau bisa jadi dia memang tidak peduli. Lalu untuk apa warga kota harus peduli pada Walikotanya?

Tanpa makar pun 2013 sudah dekat dan warga boleh mengganti Walikota dengan damai dan senang hati.***