Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, April 26, 2011

Iuuuu…, Sehan Ambaru Mo Somasi Pa Kita

SEDIANYA saya ingin jeda sejenak, Rabu petang (26 April 2011), selepas kesibukan yang susul-menyusul (sesekali mencuri-curi waktu berbalas pesan pendek dengan pemilik nomor +6285399551367 --yang sudah saya ketahui siapa orangnya-- tentang ijazah instant di Bolmong. Pada ‘’tokoh kita’’ ini, saya berterima kasih karena telah membenarkan putra Bupati Bolmong, Bayu, adalah pemilik ijazah instant). Namun dua pesan pendek dari dua media cetak terbitan Manado dan Kota Kotamobagu membuat saya menunda waktu istirahat.

Dua kawan wartawan, dari Radar Manado dan Radar Totabuan, mengontak untuk konfirmasi berkaitan dengan pernyataan Sehan Ambaru yang akan melayangkan somasi karena tulisan saya di blog ini. Somasi itu tersebab dia merasa terhina dan menderita kerugian akibat tulisan ‘’Bos Bilang….” Yang saya unggah di section Ambunga-Nga.

Begitu bersemangatnya Sehan, yang dengan gagah berani menyampaikan dia menyandang gelar Sarjana Hukum (SH),  bahkan mendatangi rekan-rekan wartawan itu dan meminta rencananya ditulis sebagai berita.

Pantas Dihina

Ada enam poin komentar yang saya sampaikan ke Radar Manado dan Radar Totabuan. Saya berharap tidak diedit terlampau banyak agar pembaca bisa menangkap secara utuh substansi yang saya sampaikan. Termasuk tindak lanjut yang akan saya ambil berkaitan dengan ancaman somasi itu. Sayangnya, saya tidak akan mengutip poin-poin itu di sini. Biarlah kita semua langsung membacanya di dua Koran itu.

Yang ingin ditegaskan di sini adalah: Pertama, kalau saya mengolok-olok lewat tulisan ‘’Bos Bilang….” dan membuat dia tersinggung; bagaimana dengan caci maki dan cibiran yang jumlahnya hampir tak terhitung semisal di grup facebook Pinotaba’ dan Bolmong Raya?

Kedua, sebagai penyandang gelar SH, dia tentu tahu persis bahwa di ruang publik seorang PNS akan diawasi tidak hanya oleh institusi dan atasannya, tetapi segenap warga masyarakat. PNS yang berlaku tidak etis, profesional, dan beradab, lebih dari pantas dicaci dan dihina. Pendapat ini dengan catatan, dia memang belajar hukum dan SH-nya adalah gelar yang diperoleh dengan benar; bukan instant dan abal-abal.

Ketiga, karena dua aspek itu, saya jadi curiga Sehan ini adalah sejenis orang yang ‘’tidak genap’’, entah karena stress dengan dinamika politik Bolmong terkini atau disebabkan faktor lain yang sebaiknya kita serahkan pada ahlinya di RS Ratumbuysang Manado. Bagaimana disebut genap kalau tanpa rasa malu dia masih petantang-petenteng di Pemkab Bolmong, padahal sudah jadi obyek olok-olok karena mulut besarnya. Terakhir saya dengar dia punya hutang taruhan Pilkada Bolmong, yang selain uang juga melepas seragam PNS-nya, yang sudah ditagih-tagih.

Kalau Sehan masih punya rasa malu, gelar SH-nya diperoleh dengan benar (artinya pula dia paham seluk-beluk hukum), dan cukup ‘’genap’’, maka jangankan mengancam mensomasi siapa pun (tidak hanya saya), keluar rumah barangkali dia tak berani lagi. Saya yang hanya punya pengetahuan hukum pas-pasan saja tahu bahwa PNS yang membawa-bawa nama seseorang untuk melakukan sesuatu atas nama kedinasan; diancam dengan sejumlah sanksi. Insiden Kamis (31 Maret 2011) lalu yang dipicu Sehan jelas adalah penyalahgunaan wewenang.

Satu masalah itu saja cukup jadi alasan melaporkan yang bersangkutan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi MenPAN & RB yang kita semua tahu sedang gencar-gencar menegakkan etika dan disiplin birokrasi. Sial bagi Sehan, insiden itu juga tidak ada hubungan dengan tugasnya sebagai PNS di bagian hukum; melainkan politik praktis untuk mendukung salah satu calon Bupati yang kalah di Pilkada Bolmong.

Somasilah Segera

Tak sabar saya menunggu somasi dari Sehan Ambaru. Dengan somasi dari dia, saya punya alasan menggugat yang bersangkutan, juga atasannya dan atasan dari atasannya hingga ke yang tertinggi. Sebagai PNS --yang saya tulis, termasuk olok-olok yang ''katanya'' menimbulkan perasaan terhina, konteksnya tegas: posisi sebagai PNS-- , Sehan harus melapor dan meminta izin atasannya agar bisa melayangkan somasi yang sudah diancamkan itu. Izin atasannya mutlak karena pangkal-soal perasaan terhinanya tak lepas dari insiden yang terjadi di Kantor Pemkab Bolmong.

Adanya izin atasannya menjadi dasar bagi saya mempersoalkan etika dan disiplin macam apa yang dijalankan di Pemkab Bolmong. Memberikan izin mensomasi saya sama dengan atasan-atasannya mengetahui dan menyetujui tindakan liarnya. Sebaliknya, somasi Sehan tanpa izin atasannya juga menjadi dasar bagi saya menggugat karena atasan-atasannya mengabaikan tanggungjawab mereka mengawasi dan membina PNS yang perilaku serta adab (juga kecerdasannya) tercela.

Pasal-pasal yang bisa digunakan menggugat Sehan Ambaru dan atasan-atasannya bertebaran di mana-mana, mulai dari UU dan turunannya yang mengikat PNS hingga perdata dan pidata yang bersifat umum. Saya ingin melihat apakah ada atasannya yang bersedia membuat kursinya panas dan terbakar hanya karena melindungi seorang Sehan Ambaru?

SH yang menempuh pendidikan hukumnya dengan benar, saya yakin dengan mudah memahami bahwa saya tidak hanya mengertak; karena saya juga tidak suka digertak.

Sebagai anak Mongondow yang dibesarkan di Jalan Amal, saya tidak tergolong kutu yang membuat gatal warga sekitar. Tidak pula saya dikenal sebagai tukang bikin rusuh dan resah orang sekampung. Reputasi saya dan saudara-saudara kandung tidaklah sempurna, tapi cukup membanggakan sebagai warga yang taat hukum dan taat sosial.

Di luar lingkungan saya dibesarkan, setelah beranjak dewasa, saya bukan anak Mongondow yang bisa diperlakukan seenaknya. Saya bangga menjadi anak Mongondow dan mengharamkan siapa pun boleh mengancam atau menakut-nakuti. Tidak juga hanya ancaman ecek-ecek berupa somasi Sehan Ambaru yang namanya baru saya dengar belakangan ini, itu pun tanpa sesuatu yang positif, kecuali menjadi tukang gonggong bayaran di Mongondow atas nama aktivis atau LSM.

Jadi, Sehan, saya dengan tak sabar menunggu somasi Anda. Mari kita menguji siapa yang paham hukum dan siapa yang isi kepalanya memang cuma kacang polong. Sembari, saya nasihatkan, bersiaplah menghadapi hal-hal yang lebih besar dari sekadar olok-olok saya. Kami semua masih ingat bagaimana Anda menjadi garda depan mempersoalkan ijazah Salihi Mokodongan (Bupati Bolmong 2011-2016 terpilih) –mengunggah tuduhan dan dokumen-dokumennya ke facebook dan sebagainya. Bupati terpilih ini tentu punya sesuatu yang harus segera Anda perhitungkan dengan serius.***