SORE masih terlalu belia, Selasa (22 Maret 2011) tatkala saya berpelukan dengan Om Salihi di ruang tamu rumahnya. Ketika itu perhitungan cepat Pilkada Bolmong sudah berakhir. Dia, yang baru selesai sholat, tak kuasa menahan air mata saat dibisiki angka kemenangannya mencapai 41 persen.
Setelah haru-biru di antara kalangan terdekatnya (sekitar 12 orang) yang berada di ruangan itu, kalimat pertama yang terucap dari bibir Om Salihi adalah, ‘’Jangang kase tinggal pa kita. Brat yang musti kita karja (Jangan tinggalkan saya. Berat yang harus saya kerjakan).’’
Seingat saya Ismail Dahab yang terus-menerus bersama Om Salihi sejak berbulan-bulan lalu, bahkan tak kuasa menahan air mata. Padahal biasanya Ismail yang saya kenal sejak dia menginjak kursi Perguruan Tinggi cukup ‘’berdarah dingin’’ dan tak peduli dengan perasaan untuk urusan kompetisi politik.
Di antara pikuk orang-orang yang mulai berdatangan sore itu, saya justru larut dalam pikiran-pikiran tentang para kandidat lain dan bagaimana Om Salihi akan memaknai kemenangannya. Satu hal yang saya yakini, dia bukanlah semacam orang yang mencerabutkan diri dari akar, apalagi untuk jabatan Bupati yang hanya lima tahun ke depan.
Para kompetitor yang kalah, menurut saya, adalah orang-orang yang telah ‘’bertarung’’ habis-habisan sejak ditetapkan sebagai kandidat hingga hari H Pilkada. Mereka harus diberi penghormatan setinggi-tingginya. Kemenangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk cuma tanjakan dan setelah itu ada jalan panjang yang mesti dieksplorasi di masa datang.
Saya membayangkan Didi Moha akan kembali ke DPR RI, meneruskan pengabdian sembari menata rencana dan langkah-langkah politiknya ke depan. Mengalami kekalahan pertama –setelah serangkaian panjang sukses di usia sangat muda—akan mematangkan dia sebagai politikus. Empat-lima tahun ke depan Didi masih salah satu politikus muda Bolmong yang bakal meneruskan pengabdiannya di DPR RI; atau kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah semisal di Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) atau Kota Kotamobagu, di mana dia lebih memiliki basis sosial kokoh.
Limi Mokodompit, dari berbagai percakapan yang saya dengar, berencana kembali ke Papua, kembali menekuni birokrasi sebagai profesi. Kalau pun dia mengubah rencana, katakanlah menjadi pengusaha atau politikus, Pilkada Bolmong sudah memberi perspektif lengkap sebagai modal besarnya.
Demikian pula Samsurijal Mokoagow yang pasti segera disibukkan lagi dengan tugas-tugasnya di Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri). Khusus Ka’ Sam, dalam pandangan saya, dia adalah salah satu tokoh Mongondow yang memiliki peluang sangat besar sebagai calon Walikota atau Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu dua tahun mendatang.
Ada beberapa pertimbangan, kendati masih terlalu dini: Pertama, Kota Kotamobagu membutuhkan pemimpin yang bukan hanya memahami politik dan menejemen perkotaan, tetapi juga tegas dan konsisten. Dua, terbatasnya ketersediaan kader di Kota Kotamobagu saat ini. Selain Walikota Djelantik Mokodompit, hanya Wawali, Ir Tatong Bara, yang paling mungkin dicalonkan jadi Walikota. Ada tokoh seperti Sekretaris Provinsi, Rahmat Mokodongan. Tetapi terlampau sayang kalau dia buru-buru diminta kembali ke Kota Kotamobagu, di saat karirnya sedang berada di puncak.
Ketiga, 5 persen suara pemilih di Pilkada Bolmong yang diperoleh Ka’ Sam bukanlah indikator dia gagal sebagai kandidat. Sejumlah aspek teknis dan non teknis yang mengiringi pencalonannya sejak awal, praktis membuat Samsurijal Mokoagow-Nurdin Mokoginta tak punya waktu dan keleluasaan memperkenalkan diri pada para konstituen. Keempat, Di tangan tim yang lebih tertata dengan persiapan panjang dan hati-hati, untuk skala Kota Kotamobagu, dia adalah kandidat ideal, minimal sesuai buku panduan politik pemenangan kandidat Kepala Daerah.
Tanpa bermaksud takabur dan mendahului sejarah, Walikota Djelantik Mokodompit yang tentu masih berkeinginan meneruskan jabatannya harus mewaspadai Ir Tatong Bara dan Samsurijal Mokoagow sebagai pesaing berat. Terlebih bila dua tokoh ini disandingkan sebagai kandidat Walikota-Wawali.
Bagaimana dengan MS Binol? Saya bisa memastikan dia sedang menikmati masa pensiun dengan kegembiraan bermain bersama cucu dan –seperti orang Mongondow umumnya— meneruskan tradisi turun-temurun: berkebun.
***
Pekerjaan berat itu justru ada di pundak Salihi Mokodongan dan Yani Tuuk.
Sebagai Bupati dan Wabup terpilih, andai boleh menyumbang saran, yang pertama saya ingin sampaikan adalah: mari kita antar Bupati Marlina Moha-Siahaan dengan penuh kehormatan mengakhiri masa jabatannya. 10 tahun memimpin Bolmong, dengan kelemahan dan kelebihannya, dia adalah pemimpin yang dipilih rakyat. Adalah harga diri bukan hanya bagi Salihi Mokodongan dan Yani Tuuk, tapi seluruh warga Bolmong, untuk menjaga kehormatan setiap mantan pemimpinnya.
Saya juga ingin mengingatkan Bupati dan Wabup terpilih untuk tidak mempraktekkan ‘’politik bumi hangus’’ terhadap sistem dan perangkatnya yang kini menjalankan mesin birokrasi di Bolmong. Kita semua tahu ada sejumlah orang yang dengan sistematis sebenarnya secara sadar dan terencana menjadi duri dalam daging di sekitar Bupati Marlina Moha-Siahaan. Birokrat jenis ini, yang sudah lama menjadi musuh orang banyak, sebaiknya dievaluasi dengan fair dan bila ditemukan melakukan pelanggaran berat (dan saya yakin akan ditemukan), tidak hanya dicopot tapi diseret ke pengadilan dengan segera.
Program 100 hari Salihi Mokodongan-Yani Tuuk semestinya adalah evaluasi menyeluruh dan mendudukkan lagi seluruh struktur dan fungsi birokrasi di tempatnya. Mereka yang selama ini dikenal loyal pada Bupati Marlina Moha-Siahaan karena menjalankan tugas profesionalnya, pantas diberi kehormatan sama.
Lewat tulisan ini saya ingin menegaskan lagi kebencian saya terhadap para birokrat Bolmong yang selama 10 tahun terakhir menyanjung-nyanjung Bupati Marlina Moha-Siahaan hanya demi jabatan dan uang, tanpa kompetensi apalagi etika dan moral profesional. Yang tanpa malu-malu segera berpaling ketika tokoh yang jadi patron dipastikan kehilangan kekuasaan; termasuk dengan terang-terangan mangkir menghadiri upacara Peringatan HUT Bolmong, Rabu (23 Maret 2011) karena Bupati toh sudah pasti berganti.
Bila birokrasi Bolmong saat ini dipenuhi ulat gatal, maka bunuh ulat gatalnya, bukan pohonnya. Biarkan ulat yang bakal jadi kupu-kupu keluar dari kepompong seperti harapan yang selama ini diperam.
Saya, yang tidak punya pengaruh apa-apa dan bukan siapa-siapa di hadapan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, menaruh harapan pasangan ini mampu memimpin dengan bijaksana, tegas, dan tak tercerabut dari akar Mongondow. Kalau tidak, dengan kecewa sejak awal saya menyatakan: mereka boleh jadi Bupati dan Wakil Bupati, biar kami yang ke laut. Sebab seperti yang selalu dikatakan oleh Salihi Mokodongan, ‘’Laut masih luas.’’***