Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, April 5, 2011

Marabahaya di PG Bolmong?

Pohon beringin yang kerap
diidentikkan dengan Partai Golkar.
Foto: Internet
SEPOKOK beringin raksasa yang tegak di pelataran belakang Kantor Bupati Bolmong di Kotamobagu, Sabtu (2 April 2011), tumbang dihantam badai yang mendera hampir sebagian besar wilayah Sulut dan Filipina. Kejadian ini adalah peristiwa alam biasa. Jangankan beringin, tonggak papan reklame yang dibenamkan dengan tiang pancang bermeter-meter ke lapisan keras tanah di bawahnya pun cukup banyak yang berguguran.

Tidak ada hubungan antara beringin tua dan rimbun, yang kebetulan tumbuh di halaman Kantor Bupati, dengan peristiwa mutakhir di Mongondow, seperti Pilkada Bolmong yang baru saja usai. Tak ada pula relevansinya pohon itu dengan Partai Golkar (PG) yang berlambang beringin, yang kandidat usungannya, Didi Moha-Norma Makalalag, kalah di Pilkada lalu. Tumbangnya penaung mobil dan sepeda motor milik pegawai Pamkab yang biasanya di parkir di bawah rindangannya, juga tak punya tautan dengan masa depan PG di seluruh wilayah Mongondow.

Namun begitulah, sebuah peristiwa yang semestinya wajar saja, mendadak menjadi multi tafsir. Ada yang berkomentar peristiwa itu adalah petanda berakhirnya dinasti politik beringin (artinya PG) di Mongondow, yang bakal sulit bangkit lagi dalam waktu yang panjang. Alasannya, dari satu kota dan empat kabupaten di Mongondow, hanya Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) yang dimenangkan kandidat usungan PG. Empat lainnya, dimulai dari Kota Kotamobagu, kemudian Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) dan Bolaang Mongondow Timur (Boltim), serta Bolmong Induk, seluruh kandidat yang diusung PG kalah. Padahal di atas kertas (dan fakta Pemilu 2009), PG adalah partai peraih suara terbesar di seluruh wilayah Mongondow.

Ada yang mendebat bahwa Walikota Kotamobagu saat ini, Djelantik Mokodompit, adalah juga Ketua PG Kotamobagu. Itu benar, sama dengan mengatakan bahwa Bupati Bolsel, Herson Mayulu, sebelumnya adalah kader PG (bahkan terpilih sebagai anggota DPR Bolmong –dan tidak pernah dilantik—dari PG di Pemilu 2009); serta Salihi Mokodongan (Bupati Bolmong 2011-2016 terpilih) masih tercatat sebagai Wakil Ketua PG Bolmong.

Tapi harap dicamkan, Djelantik Mokodompit terpilih sebagai Walikota atas dukungan Partai Amanat Nasional (PAN); Herson Mayulu karena diusung PDI Perjuangan; dan Salihi Mokodongan oleh PAN, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Politikus dengan adab yang baik tentu mampu mengapresiasi hubungannya dengan pihak-pihak yang menjadi penyokong. Kita tahu Herson Mayulu menunjukkan komitmennya dengan menjadi Ketua PDI Perjuangan Bolsel dan Salihi Mokodongan tinggal menunggu waktu mungkin akan memimpin PAN Bolmong (yang sudah ditinggal Wahida Mokoagow.

Akan halnya Djelantik Mokodompit, saya tidak mengatakan seberapa tinggi dia memahami adab, etika, dan moralitas politik yang benar. Yang saya lihat bukan saja dia segera kembali ke pangkuan PG setelah memenangkan kursi Walikota; tetapi hubungnnya dengan partai pengusung, khususnya PAN, langsung memburuk. Ibarat pernikahan, belum lagi bulan madu berakhir, piring dan gelas sudah berhamburan; pasangan mempelai masing-masing telah kembali ke rumah orangtuanya.

Bagaimana dengan Bolmut dan Boltim? Walau pun Hamdan Datungsolang diusung oleh PG, tetapi dia bukanlah Ketua PG. Apalagi sudah jadi pengetahuan umum Ketua PG Bolmut yang juga Ketua DPR bertekad akan maju memperebutkan kursi bupati di Pilkada yang akan datang. Sedang Boltim, saya cenderung menduga Sehan Lanjar tidak bakal beralih ke PG; melainkan mencari alternatif ke Partai Demokrat atau partai ‘’tengah’’ seperti PAN dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Tanpa menghubung-hubungkan dengan tumbangnya beringin di halaman Kantor Bupati Bolmong, dengan memahami seluruh peta politik Mongondow saat ini, kita dapat menyimpulkan PG memang menghadapi ‘’jalan terjal politik’’ untuk waktu yang lama. Lagipula kalau setiap peristiwa alam dihubung-hubungkan dengan fenomena politik, bisa jadi gerhana matahari ditafsir sebagai petanda gelapnya masa depan PAN; atau kecelakaan yang melibatkan Marcedes Benz dinujum sebagai sinyal buruk buat Partai Demokrat –yang lambangnya memang mirip Mercy. Lalu di saat Idul Adha kita hanya mengorbankan kambing, sebab kepala sapi dan banteng sepintas tak jauh beda, apalagi sapi unggul yang moncongnya berwarna putih.

Bendera Putih-Merah

Belum lagi reda aneka analisis ‘’politik pohon beringin tumbang’’, Senin (4 April 2011) dari Sekretariat PG Bolmong datang kabar bendera yang dikibarkan dipasang terbalik. Alih-alih merah-putih, yang melambai-lambai dipermainkan angin justru putih-merah.

Sekali lagi, kejadian ini tidak perlu ditafsirkan kemana-mana. Kita menduga saja si pengibar bendera di Sekretariat PG Bolmong melakukan tugasnya saat masih binombulou (yang artinya: setengah mimpi, setengah tidur, dan melindur pula). Atau, yang sedikit ilmiah, oknum dimaksud mungkin buta warna. Sekali pun ada uturan ketat dalam memperlakukan bendera, pihak berwenang dan hukum pasti tak tega menghukum orang yang melakukan kesalahan tak sengaja, katakanlah hanya karena buta warna.

Sebetulnya, begitu mengetahui terbaliknya bendera yang dikibarkan terbalik itu, saya langsung teringat film The Last Castle (2001) yang disutradarai Rod Lurie. Film yang dibintangi sejumlah aktor kawakan seperti Robert Redford, James Gandolfini, Mark Ruffalo, Stave Burton, dan Delroy Lindo, berkisah tentang Letnan Jenderal (Letjen) Eugene Irwin yang dijebloskan ke penjara militer berkeamanan maksimum karena melawan keputusan Presiden AS untuk mengirim tentara ke Burundi, Afrika.

Akibat pembangkangannya, Letjen Irwin yang dikenal sebagai salah satu legenda di kalangan militer, dihukum kerangkeng 10 tahun.

Di dalam penjara, dia kemudian memimpin pemberontakan terhadap kesewenang-wenangan sipir, Kolonel Winter, yang menegakkan aturan dengan tanggan besi, termasuk memerintahkan tembak mati terhadap seorang kopral hanya karena dia memberi hormat resmi militer pada Jenderal Irwin. Di penjara militer pangkat memang tidak berlaku. Semua tahanan sama statusnya: orang hukuman.

Singkat cerita, pemberontakan ini berakhir dengan ditembak matinya Jenderal Irwin oleh Kolonel Winter, yang menduga  sang jenderal akan mengibarkan bendera Amerika secara terbalik, yang tujuan akhirnya untuk mendiskreditkan kepemimpinan. Kolonel Winter mati-matian menghalangi karena pengibaran bendara secara terbalik tak lain adalah sinyal klasik adanya marabahaya.

Mengingat The Last Castle dan makna bendera yang dikibarkan terbalik, moga-moga putih-merah yang berkibar di Sekretariat PG Golkar bukanlah petanda permohonan bantuan sebab ada marabahaya yang sedang melanda partai ini di Bolmong. Dan tak ada hubungannya pula dengan beringin yang roboh dihajar badai di halaman belakang Kantor Bupati.***