Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, April 22, 2011

Sarjana ‘’Instant’’, Ayo ke Polisi Saja

POSTING Kamis (21 April 2011), UDK: Universitas Dega’ Ka’in tampaknya berhasil memprovokasi sejumlah orang. Berulang kali, di tengah kesibukan kerja –termasuk rapat internal kantor— saya dikilik pesan pendek dan telepon yang menanyakan akurasi informasi yang dituliskan itu. Ada juga yang langsung mengatakan yang saya maksud pasti si A yang putranya pejabat B; dan si C yang putera politisi D.

Saya ingin menegaskan lagi, agar tak salah kaprah: Blog ini sejak awal tidak diniatkan menjadi sumber berita dan isu; melainkan wahana mencatat, mempercakapkan, dan syukur-syukur menganalisis (yang sifatnya adalah pandangan personal yang belum tentu sejalan dengan pendapat orang banyak) fenomena yang terjadi di Mongondow.

Percakapan adanya sarjana instant yang diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Bolmong bukanlah dimulai saat saya menuliskan di sini; tapi sudah jadi perbincangan umum sejak beberapa waktu terakhir. Isunya kian kencang setelah sejumlah aktivis politik dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) secara terbuka mempertanyakan (dan mengolok-olok) ijazah SD, Paket B dan C Salihi  Mokodongan yang dianggap abal-abal serta diperoleh tak sesuai prosedur dan standar pendidikan di Indonesia.

Masyarakat, seawam apa pun mereka, seharusnya tidak dianggap sebagai sekumpulan pohon pisang dan kelapa oleh elit politik, birokrasi, dan gerombolan ‘’yang katanya’’ aktivis LSM di Mongondow; yang menganggap cuma merekalah yang paling berhak bicara dan bersoal terhadap segala macam hal. Terutama kalau masalah yang diangkat terkait kepentingan kelompoknya. Bahwa yang dimaknai sebagai keadilan sepenuhnya semata yang membawa keuntungan buat mereka saja.

Kalau ijazah Salihi Mokodongan patut dipertanyakan (saya mendukung siapa saja yang melakukan sepanjang landasannya adalah kepentingan orang banyak), maka ijazah yang diduga instant yang diperoleh si A (anak pejabat B) dan si C (putera polikus D), layak diperlakukan sama. Dipertanyakan keabsahannya, terutama dari sisi prosedur dan standar pendidikan di Indonesia.

Mengapa Instant?

Agar tidak menjadi spekulasi berkepanjangan, lewat tulisan ini saya ingin mengurai informasi yang sudah diricek berulang kali berkaitan dengan dugaan sarjana instant itu. Untuk itu saya akan menggunakan informasi yang sudah resmi dirilis (resmi karena sudah dimuat di media massa umum) dan mempertanyakan logikanya, sesuai prosedur dan standar yang berlaku umum di Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia.

Tersebutlah anak salah satu elit Bolmong mendaftar sebagai mahasiswa di salah satu universitas di Kota Kotamobagu pada 2007. Semester ganjil di universitas ini selalu dimulai pada Oktober tahun berjalan. Dengan kata lain, sejak Oktober 2007 mahasiswa bersangkutan memulai pendidikan S1-nya.

Bertolak dari fakta itu, kita semua bisa menghitung bahwa semester 1 dan 2 tahun pertamanya dimulai Oktober 2007 dan berakhir September 2008; kemudian semester 3 dan 4 dimulai Oktober 2008 dan berakhir September 2009; lalu semester 5 dan 6 dimulai Oktober 2009 dan berakhir September 2010; dan akhirnya semester 7 dan 8 dimulai Oktober 2011 dan beraakhir September 2011. Normalnya, dengan 143 SKS (ini  rata-rata jumlah SKS di PT), seorang mahasiswa dapat selesai tepat waktu dengan mengontrak rata-rata 17 SKS setiap semester. Mereka yang menamatkan S1-nya hanya dalam waktu 3,5 tahun, rata-rata menyelesaikan sekitar 20 SKS per semester.

Sekarang, apakah mungkin seorang mahasiswa pintar dan sangat rajin menyelesaikan S1 dalam waktu hanya enam semester, yang artinya rata-rata 23 SKS per semester; sebagaimana anak politisi yang masuk universitas oktober 2007 dan resmi menyandang gelar sarjana Oktober 2010? Ayolah, bukan sedikit anak Mongondow yang sudah makan sekolahan, tidak hanya di universitas terdekat seperti Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado atau Universitas Negeri Manado (Unima) di Tontano; tapi juga hingga ke PT di pelosok Amerika, Eropa, dan Australia.

Hampir mustahil dengan standar dan prosedur penyelesaian S1 di Indonesia dapat ditempuh hanya dalam waktu enam semester? Bagaimana dengan kewajiban Kuliah Kerja Nyata (KKN) –yang harus diselesaikan sebelum menulis skripsi--, yang waktu pelaksanaannya tiga bulan? KKN bisa dilaksanakan setelah seseorang memenuhi jumlah SKS tertentu. Biasanya di fakultas dengan rata-rata 140-an SKS, jumlah SKS minimal sebagai syarat KKN berkisar 120 SKS atau lima semester.

Artinya, di semester keenam seorang mahasiswa yang pintar dan rajin, dengan rata-rata perolehan 24 SKS tiap semester (koreksi saya bila ini keliru, tapi sepengetahuan saya setiap semester perolehan maksimal SKS hanya sebesar itu), sudah bisa melaksanakan KKN. Tapi setelah KKN dia masih punya kewajiban menyelesaikan sisa 24 SKS (termasuk skripsi). Seorang mahasiswa boleh mulai menulis bila sudah menyelesaikan seluruh kewajiban mata kuliahnya; atau –di beberapa universitas tertentu— tinggal satu atau dua mata kuliah yang masih harus diselesaikan.

Pertanyaan saya, sistem dengan standar dan prosedur seperti apa yang diterapkan oleh universitas yang meluluskan mahasiswanya hanya dalam tiga tahun itu? Kalau ada alasan bahwa si mahasiswa berhasil menyelesaikan S1 hanya dalam 6 semester karena rajin ikut summer (istilah ini merujuk pada kuliah antar semester, yang sesungguhnya di Indonesia diterapkan untuk perbaikan nilai dari mata kuliah yang sudah dikontrak sebelumnya; bukan kontrak terhadap mata kuliah baru); tetap saja alasan ini omong kosong belaka.

Sama omong kosongnya dengan diterimanya si penyandang gelar sarjana instant itu sebagai PNS di Bolmong di formasi S1. Kapankah rekrutmen CPNS mulai dilakukan di Bolmong pada 2010? Apakah saat rekrutmen dilaksanakan si sarjana bersangkutan sudah mengantongi ijazah S1 (yang instant itu)?

Menggunakan gelar yang belum resmi di tangan, sepengetahuan saya punya konsekwensi hukum tak ringan. Bertahun-tahun lalu seingat saya ada seorang sarjana dari salah satu universitas di Sulut yang gelarnya dicopot, hanya karena dia diketahui sudah mencantumkan title beberapa bulan sebelum resmi dinyatakan lulus.

Jadi, seluruh proses yang melibatkan si C (yang anak politisi D) itu memang patut di pertanyakan sebagai serangkaian tindakan kriminal terencana dan berkelompok, yang melibatkan universitas hingga panitia penerimaan CPNS di Bolmong. Dugaan ini, supaya tidak jadi fitnah, harus dibuktikan lewat penyelidikan dan penyidikan pihak kepolisian.

Sudah waktunya kita meluruskan yang bengkok-bengkok di Mongondow; bukan karena dendam, sakit hati, atau dorongan sentimen irasional. Melainkan, sebab yang benar adalah benar; dan yang bengkok tetaplah bengkok.***