Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, April 13, 2011

Apa Salah Salihi Mokodongan?

POLITIK selalu diasosiasikan dengan praktek ‘’kotor’’. Diplomat dan politikus Italia era Renaissance, Niccolo Machiavelli (1469-1527), hingga kini dianggap sebagai peletak teori bahwa dalam politik segala cara halal dan dibolehkan demi mempertahankan kekuasaan. Buku yang dia tulis, Il Principe (Sang Pangeran), jadi manuskrip yang diimani di seluruh penjuru bumi.

Begitu klasiknya karya Machiavelli sehingga siapa saja yang mempraktekkan politik sebagaimana yang dia gambarkan, dianggap sebagai pengikutnya. Mereka dilekati sebutan Machiavellian (atau Machiavellis).

Ada banyak perdebatan tentang pemikiran Machiavelli. Namun setidaknya, menurut situs www.wikipedia.org, ada tiga aliran besar yang jadi arus utama. Pertama, Machiavelli adalah pengajar kejahatan atau paling tidak mengajarkan immortalisme dan amoralisme yang dikemukakan Leo Strauss (1957). Kedua, Machiavelli sekadar seorang  realis atau pragmatis yang melihat tidak digunakannya etika dalam politik dengan pelopor Benedetto Croce (1925). Dan ketiga, pendapat Ernst Cassirer (1946) yang menyakini pandangan Machiavelli adalah sesuatu yang ilmiah karena cara berpikirnya sebagai ilmuawan dalam membedakan fakta politik dan nilai moral.

Kekuasaan adalah candu. Penggemar sejarah bisa membaca dan menelusuri bagaimana di setiap era korban berjatuhan karena perebutan kekuasaan antar manusia. Kita jarang mendengar (apalagi di Indonesia setelah era reformasi) ada orang yang berani menolak berkuasa; atau menyadari bahwa kekuasaan kerap bukanlah rahmat tapi bisa jadi kutukan.

Di negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini, kita umumnya mungkin tak kenal Umar bin Abdul Aziz, salah satu Khalifah setelah era empat Khalifah sahabat Nabi, yang memperlakukan kekuasaan sebagai cobaan. Umar bin Abdul Aziz adalah cicit Umar bin Khatab (Khalifah kedua era Khulafaur Rasyidin) yang bukan hanya menolak diangkat jadi Khalifah, tapi ketika berkuasa hidup sangat bersahaja. Padahal, di bawah pemerintahannya negara kesulitan mendistribusikan dana Baitul Mal karena tak ada lagi orang miskin yang berhak mendapatkan santunan.

Umar bin Abdul Aziz mempraktekkan politik yang berbeda 180 derajat dengan teori Machiavelli. Peradaban manusia menunjukkan dia juga tak sendirian, tapi memang pemimpin (atau politikus) yang memimpin dengan panduan etika dan moral seperti itu kian langka kita temukan.

Machiavellian di Bolmong

Kecanduan terhadap kekuasaan itu yang saya amati mewabah bagai sampar dalam beberapa bulan terakhir di Bolmong. Begitu banyak orang yang ingin jadi Bupati-Wakil Bupati (Wabup). Dan begitu banyak orang pula yang ingin bersama-sama ikut kecipratan (atau terciprat) kekuasaan. Wabah kekuasaan ini barangkali lebih bengis dari flu burung, yang mulanya hanya membunuh unggas; karena dia bahkan dengan darah dingin bisa melenyapkan mahkota tertinggi manusia: akal sehat.

Lihatlah mereka yang berbondong-bondong mendaftar sebagai calon Bupati-Wabup. Ada Salihi Mokodongan (pengusaha yang kerap dicemooh sebagai ‘’sekadar tukang jual tude’’); Limi Mokodompit dan Suharjo Makalalag (dua birokrat yang terjun ke politik, yang salah satunya bahkan belum selesai juga dengan studi S3 –betapa sayang sumber daya baik yang mestinya bisa berperan maksimal di bidangnya, menjadi sia-sia karena asik dengan politik praktis), ada anggota DPR RI, Didi Moha; ada Samsurijal Mokoagow yang perwira aktif Polri; atau MS Binol yang pensiunan. Daftar ini kian panjang bila seluruh nama yang pernah disebutkan atau tersebutkan dicantum di sini.

Segala cara sudah digunakan agar mereka bisa lolos menjadi kandidat Bupati-Wabup; dari yang lembut hingga kasar dan kejam. Tidak lolosnya Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit sebagai calon Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 tentu bagian dari ‘’permainan’’ menghalalkan segala yang mungkin dilakukan setiap pasangan pesaingan. Wajar bila mereka dengan segala upaya kini menggugat ketersingkiran itu. Tapi kalau bersamaan dengan disidangnya gugatan mereka di Mahkamah Konstitusi (MK) sejak Selasa (12 April 2011) mulai terdengar gosip pasangan ini tersingkir karena konspirasi KPU Bolmong dan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, saya kira ini menjadi salah satu bukti  akal sehat di kalangan politisi Bolmong memang sekarat.

Ada kepentingan apa Salihi Mokodongan-Yani Tuuk menggagalkan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit? Mereka sudah didukung empat partai dengan modal kursi di DPR yang sangat sifnifikan (PAN, PKS, PDI Perjuangan, dan PDS), sedangkan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit diusung partai-partai kecil dan non parlemen. Di satu sisi, dari seluruh hasil survei permulaan terhadap potensi semua kandidat, Suharjo Makalalag sebagai calon Bupati bukanlah sosok yang cukup menonjol. Sedangkan pasangannya, Hasna Mokodompit, malah sama sekali tidak masuk daftar kandidat calon Wabup.

Pertanyaan yang sama juga kita ditujukan pada gugatan pasangan Didi Moha-Norma Makalalag yang sekarang mempersoalkan masalah administrasi, lebih khusus lagi ijazah Paket B dan Paket C yang digunakan Salihi Mokodongan memenuhi persyaratan formal kandidat Bupati-Wabup. Malah gugatan pasangan ini jelas-jelas ''menuduh'' KPU Blmong ''ada main'' dengan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, hingga mereka lolos sebagai kandidat. Mengapa setelah terbukti kalah di Pilkada, Selasa (22 Maret 2011) lalu, di urutan ketiga pula, mereka baru ribut menyoal masalah administrasi? 

Namun begitulah politik, yang fenomenanya sudah dibaca dan dituliskan oleh Niccolo Machiavelli pada 1513 (tapi baru diterbitkan sebagai buku pada 1532).

Kesalahan Salihi Mokodongan

Maka saya tidak ambil pusing terhadap berbagai spekulasi yang mengiringi kemenangan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk di Pilkada Bolmong, termasuk gugatan dari Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit serta Didi Moha-Norma Makalalag. Wabah politik dengan komplikasi kepercayaan diri berlebihan dari para kandidat dan pendukungnya, meyakinkan saya bahwa kalau pun pemenang Pilkada Bolmong bukan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, tetap saja ada gugatan yang akan dilayangkan ke MK.

Saya juga mempersetankan bila akhirnya Pilkada Bolmong harus diulang sebagaimana yang hangat diperbincangkan, dengan asumsi MK memenangkan gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit. Paling-paling yang dirugikan adalah uang dan keringat rakyat sendiri –yang artinya uang dan keringat kita semua.

Begitu juga, kalau yang terburuk gugatan Didi Moha-Norma Makalalag akhirnya menyingkirkan Salihi Mokodongan, tentu Yani Tuuk yang bakal dilantik sebagai Bupati sebab KPU sudah mengetuk kemenangan mereka sebagai Bupati-Wabup terpilih. Bila yang terburuk dari yang buruk yang terjadi, yaitu Pilkada ulang tanpa Salihi Mokodongan; maka siapa pun kandidat yang diusung menggantikan dia sebagai calon Bupati, hampir pasti akan terpilih sebab orang Bolmong pasti sudah muak dengan penghalalan segala cara yang sekarang bersiliweran di depan mata mareka.

Untuk Om Salihi, apa pun hasil dari gugat-menggugat di MK, dengan penuh simpati dan empati saya ingin menyampaikan: Anda sudah membuktikan bahwa orang biasa, ‘’tukang jual tude’’ dari Motabang, pantas dipilih sebagai Bupati Bolmong. Kalau pun ada cacat-cela yang Anda sandang, itu karena Anda terlampau baik dan bukan politisi yang tidak tahu batas mana yang masih pantas dan tidak; mana yang etis dan bermoral dan mana yang tidak.***