MANADO-KOTAMOBAGU biasanya saya tempuh sekitar 3,5 jam. Itu perjalanan yang sepenuhnya santai. Sudah pula dengan memperhitungkan ‘’sepanjang jalan berlobang’’ yang mulai terasa begitu memasuki wilayah Bolmong.
Saya, yang biasanya mengambil waktu tidur dalam perjalanan, bahkan tanpa membuka mata bisa menduga berapa menit lagi tiba di Jalan Amal, Mogolaing (rumah ayah-ibu), hanya dari hentakan mobil yang menerjang lobang. Semakin banyak hentakan, artinya mobil sudah melewati Inobonto. Tampaknya setelah sekian tahun saya kritik habis-habisan, Bolmong memang masih ‘’Kabupaten Ongol-Ongol’’.
Nah, kali ini dalam perjalanan ke Kotamobagu –yang akan dilanjutkan ke Bolmong Selatan Kamis (14 April 2011)— saya harus berjibaku dengan signal telepon, yang mengabarkan proses sidang gugatan Pilkada Bolmong di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pasangan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit dan Didi Moha-Norma Makalalag. Sidang hari ini, yang dimulai pukul 17.00 WIB, adalah mendengarkan kesaksian saksi dari dua pasangan penggugat itu.
Didi Moha-Norma Makalalag yang ‘’menuduh’’ KPU Bolmong berkonspirasi dengan Salihi Mokodongan untuk meloloskan yang bersangkutan sebagai calon Bupati Bolmong 2011-2016 (padahal ijazah Paket B dan Paket C yang dikantongi Om Salihi) menghadirkan sejumlah saksi yang selama ini memang dikenal ngotot. Mereka adalah Kepala Dinas Pendidikan (Diknas) Bolmong, Ulfa Paputungan, Raula Sugeha, Lukman Lobud, Roni Mokoginta, Oli Mokodongan, Yaman Mokoagow dan Dewi Miftah. Sedangkan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit menghadirkan Aljufri Kobandaha dan Ketua DPC PPDI Bolmong.
Kali ini saya tidak akan membahas saksi yang diajukan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit. Kecuali agak kurang paham apa relevansi dihadirkannya Aljufri Kobandaha, yang bukan ketua partai politik (Parpol). Yang harus dibuktikan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit adalah bahwa benar dukungan Parpol agar dia layak diloloskan oleh KPU Bolmong mencapai angka minimal (15 persen). Kalau Aljufri hanya dihadirkan sebagai Ketua Tim Pemenangan untuk menceritakan proses verifikasi, menurut saya cuma menjadi alasan yang tepat buat dia untuk jalan-jalan ke Jakarta sebagai ‘’wisatawan politik’’.
Ulfa dan Roni Memang Perkasa
Di satu pertemuan dengan beberapa elit Mongondow pekan lalu, ada cerita tentang Kadiknas Bolmong, Ulfa Paputungan, yang membuat saya terbahak-bahak. Menurut empu-nya cerita, beberapa waktu lewat Ulfa menelepon Ketua DPW PAN Sulut yang juga Wawali Kota Kotamobagu, Tatong Bara, dan meminta ampun dan memohon-mohon dengan alasan dia tampak mencari-cari masalah dengan ijazah Salihi Mokodongan karena berada di bawah tekanan.
Entah siapa yang menekan Ulfa Paputungan; entah apa pula bentuk tekanan itu. Yang jelas, si pencerita dengan sangat meyakinkan mengutip pernyataan Ulfa via telepon, bahwa, ‘’Ibu mo suruh apa lei kita mo bekeng skarang ini. Ampun jo kasiang.’’ Tak urung saya terbahak-bahak mendengar cerita itu.
Sewaktu berjumpa Wawali Kotamobagu, saya iseng bertanya apakah benar Ulfa Paputungan menelepon dia dan meminta ampun berkaitan dengan segala ulah dan manuver-nya pasca Pilkada Bolmong, 22 Maret 2011 lalu. Tatong Bara tidak menjawab pertanyaan saya, tapi malah terbahak-bahak. Saya tidak bisa menafsirkan apa maksud tawa itu. Dan tidak pula mengejar jawaban dari pertanyaan yang saya lontarkan. Ulfa kok repot diurusin. Buat saya, dia memang menjengkelkan dan cukup diejek-ejek saja.
Terbahak-bahak itu pula yang menjadi respons saya ketika mendengarkan laporan langsung dari sidang MK hari ini (Rabu, 13 April 2011), saat Ulfa dihadirkan sebagai saksi. Kesaksiannya bukan hanya lucu tapi juga menunjukkan Ulfa memang cuma kelas teri yang menjadi Kepala Dinas entah dengan pertimbangan apa. Saat ditanya oleh pembela pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, berkaitan dengan ijazah Om Salihi, dalam sekejap kegarangan Ulfa yang digambarkan di media massa seolah-olah sudah mengantongi bukti segudang, langsung melempem.
Pembaca, Ulfa membenarkan bahwa ijazah Paket B dan Paket C milik Salihi Mokodongan adalah sah adanya. Kalau dugaan ijazah bermasalah yang dijadikan dasar gugatan Didi moha-Norma Makalalag ternyata sah, lalu lelucon apa sebenarnya yang sedang mereka pentaskan?
Tidak kurang konyol adalah Ketua Forum Pemuda Peduli Bolmong (FP2BM), Roni Mokoginta, yang dihadirkan karena punya riwayat gigih menyoal keabsahan ijazah Salihi Mokodongan. Dia pulalah yang melaporkan dugaan Om Salihi menggunakan ijazah bermasalah ke KPU Bolmong dan bahkan terakhir ke Markas Besar (Mabes Polri). Di hadapan Majelis Hakim MK, ketika ditanya dari mana dia mendapatkan bukti bahwa ijazah Salihi Mokodongan bermasalah (palsu kek, bodong kek, atau apa kek), jawabannya patut diacungi jempol: ''Dari internet!''
Luar biasa Ketua FP2BM ini, yang memetik informasi entah dari situs, blog, atau facebook mana, lalu menjadikan dasar menyerang kredibilitas seseorang yang mungkin tidak dia kenal (untunglah Roni tidak menjawab bahwa kecurigaan terhadap ijazah Om Salihi dia petik dari pohon beringin di halaman Kantor Bupati Bolmong yang tumbang beberapa waktu lalu). Berapa besar Roni Mokoginta dibayar untuk memberikan kesaksian yang justru melecehkan isi kepalanya sendiri?
Jangan-jangan Roni ini sama sekali tidak makan sekolahan. Curiga boleh, toh. Bagaimana saya tidak punya syak wasangka terhadap pendidikan (dan kualitasnya) dari orang macam Roni –juga Ulfa Paputungan—yang berani-beraninya menjadi saksi di mahkamah terhormat seperti MK, hanya dengan modal campuran antara reka-reka, lamunan, dan fantasi mereka (dan gerombolannya) sendiri. Jangan salahkan bila orang seperti saya (yang memang gagal makan sekolahan dan berulang kali ‘’patah pensil’’) meremehkan mereka dengan semena-mena.
Lagipula sejak tahu akan ada gugatan terhadap kemenangan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk di Pilkada Bolmong, saya memang mengumumkan akan berdiri bersama mereka. Kalau sejumlah orang boleh berduyun-duyun mendukung Didi Moha-Norma Makalalag, mengapa saya tidak boleh menyokong Salihi Mokodongan-Yani Tuuk?
Bagaimana dengan saksi-saksi lain dari pasangan penggugat Didi Moha-Norma Makalalag? Setali tiga uang dengan Ulfa Paputungan dan Roni Mokoginta, mereka tidak lebih baik. Secara subjektif saya berpendapat kesaksian mereka justru menguntungkan posisi Salihi Mokodongan.
Tanpa bermaksud menakut-nakuti, Ulfa Paputungan dan Roni Mokoginta perlu menghentikan lamunan serta fantasi mereka; dan segera melihat fakta-fakta yang ada di hadapan. Bila ijazah Salihi Mokodongan terbukti absah tanpa cacat-cela di MK, dua orang ini harus siap-siap menghadapi gugatan yang saya yakin bakal menyakitkan. Apa yang mereka lakukan dalam isu ijazah itu, lebih dari sekadar mencemarkan nama baik.***