Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, April 1, 2011

Jual-Beli Kekalahan


DI TIAP Pilkada ada prosesi yang hampir jadi standar, yaitu ikrar pasangan peserta kompetisi untuk ‘’siap menang dan siap kalah’’. Seperti biasa ikrar ini cuma manis sebelum hasil pecoblosan diketahui. Itu pula yang terjadi di Bolmong seusai kemenangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, setelah blingsatannya dua pasang kandidat tersingkir melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Adalah Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot dan Didi Moha-Norma Makalalag akhirnya maju menyoal hasil Pilkada Bolmong ke MK; serta pasangan Suhardjo Makalalag-Hasna Damopolii-M yang sudah tersingkir di tahapan verifikasi, menuntut proses awal Pilkada diulang dan mereka diloloskan. Saya tidak akan berkomentar terhadap upaya hukum yang dilakukan pasangan terakhir ini, kecuali semangat ‘’pantang mundur’’ mereka benar-benar mencengangkan.

Mari kita cermati saja gugatan dari pasangan peraih suara nomor dua serta nomor tiga; dan saya akan menggunakan sumber publik sebagai rujukan. Pasangan kandidat pertama, Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot, menurut Harian Radar Totabuan (Jumat, 1 April 2011), menggugat dengan dasar adanya politik uang (money politic) massif  yang dilakukan pasangan pemenang. Sedangkan Didi Moha-Norma Makalalag, mununtut dengan dasar yang sama ditambah dugaan manipulasi pendaftaran oleh KPU Bolmong.

Parade Para Munafik

Politik uang adalah salah satu tuduhan yang paling sulit dibuktikan di MK. Para penggugat harus mampu meyakinkan bahwa ada pemberian (uang) yang membuat konstituen mengubah pilihannya. Lebih repot lagi, kalau perubahan itu diklaim terjadi pada 20 ribu pemilih, maka selayaknya sejumlah itu pula yang harus dihadirkan sebagai saksi di MK.

Sidang gugatan sengketa Pilkada di MK bukanlah sidang perdata atau pidana yang bisa dilakukan berbulan-bulan. Sidang sengketa Pilkada di MK dibatasi oleh waktu yang ketat. Kalau Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot serta Didi Moha-Norma Makalalag yang jumlah suaranya jauh di bawah Salihi Mokodongan-Tuuk mau menghadirkan saksi, maka paling tidak mereka harus membawa tak kurang dari 25 ribu orang.

Di luar argumen rasional itu, politik uang dalam prosess Pilkada Bolmong, menurut amatan saya lebih banyak ‘’konon’’ dan ‘’katanya’’. Bukti-bukti dan klaim yang selama ini beredar sungguh sumir. Kalau istri Salihi Mokodongan dituding melakukan politik uang karena membagikan amplop di pasar saat belanja, bagaimana dengan pasangan Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot yang membagikan kupon bibit tanaman dan pupuk? Atau tim pemenangan Didi Moha-Norma Makalalag (celakanya adalah aparat birokrasi) yang tertangkap tangan membagikan raskin?

Sudah tepat salah satu komentar di Harian Radar Totabuan, yang dengan pedas mengecam bahwa bersoal tentang politik uang, terutama untuk tiga kandidat peraih suara mayoritas, tak lebih dari ‘’katang bicara udang. Kalu mo bakar sama-sama merah’’.

Bagaimana dengan manipulasi pendaftaran oleh KPU? Kalau itu dikaitkan dengan ijazah Salihi Mokodongan, jawabannya cuma satu: Kandidat kalah yang bersoal mendapat penasihat keliru. Garbage in garbage out. Nasihat sampah yang masuk, hasilnya adalah sampah pula.

Mereka yang menggugat, menurut saya, kalau bukan kalap, tidak iklas, dan ‘’tidak siap kalah’’; tentu tak lebih dari para munafik yang terobsesi pada jabatan. Kalau ada olok-olok orang Mongondow enggan dipimpin lulusan Paket C seperti Salihi Mokodongan, buat saya lebih baik dipimpin lulusan Paket C ketimbang para elit yang menghalalkan segala cara, termasuk dengan menipu orang banyak seolah-olah mereka adalah orang-orang suci.

Cuma Soal ‘’Hepeng’’

Saya tidak takut mengatakan bahwa di balik gugatan ke MK kisah sesungguhnya sebenarnya telah jatuh ke taraf yang lebih rendah dari perebutan jabatan, sebab cuma soal uang belaka. Kamis (31 Maret 2011) sebelum saya mendapat kabar didaftarkannya gugatan Pilkada Bolmong, dari Kotamobagu sudah berkesiuran bisik-bisik ada negosiasi dan kompromi yang akan diambil di Jakarta antara kandidat terpilih dengan yang kalah, agar tidak ada gugatan terhadap hasil Pilkada.

Bisik-bisik itu benar adanya. Dan benar pula bahwa ada kandidat yang ternyata berhutang miliaran dan tidak akan menggugat bila dia ‘’dibantu’’ dengan sejumlah dana penyelamatan nama baik (dan mungkin rongrongan debt collector). Pembaca, Anda pasti akan terbelalak kalau saya ungkapkan bahwa permintaan kompensasi agar tidak menggugat itu nilainya miliaran rupiah.

Apa yang sedang terjadi dengan para elit peserta Pilkada Bolmong dan orang-orang di belakang mereka? Miliaran rupiah jelas duit yang tak sedikit; tetapi buat saya terlalu murah untuk harga diri dan juga dukungan orang banyak yang mereka dapatkan (walau pun belum mengantar mereka menjadi kandidat terpilih). Bagaimana mereka bertanggungjawab di hadapan para pendukungnya bila kisah upaya ‘’jual-beli’’ dibuka seterang-terangnya?

Yang paling tidak masuk akal sehat saya adalah, betapa tidak tahu dirinya orang-orang itu. Semestinya pemenanglah yang harus diberi kompensasi agar tidak ada ‘’balas dendam politik’’ dan ‘’tumpas alas’’, terutama yang ditujukan pada kandidat kalah yang menggunakan mesin birokrasi sebagai salah satu alat.

Siapa-siapa birokrat yang berpihak dan bahkan bekerja bersama para kandidat selama Pilkada berlangsung, sudah jadi pengetahuan umum. Apalagi ada kandidat yang tanpa sungkan di mana-mana menyuarakan ‘’ancaman’’ bahwa birokrat yang tidak berpihak pada dia dan pasangannya, akan ‘’dihabisi’’ setelah mereka duduk jadi Bupati-Wabub. 

Saya senang ketika tahu bahwa upaya pemerasan oleh kelompok yang kalah terhadap pemenang itu akhirnya gagal. Pun saya bahagia karena mereka membawa keberatannya ke MK. Dengan begitu kita semua di Mongondow akan tahu elit politik mana yang jenis emas, dan mana loyang belaka.***