Bupati Boltim, Sehan Lanjar. Foto: Internet |
Mulanya saya melewatkan berita itu, dengan pikiran, ''Ah, wartawannya cuma pura-pura mengkritik seperti yang selalu terjadi.'' Pikiran ini wajar mengingat sudah jadi pengetahuan umum bahwa halaman Bolmong Timur --yang dilengkapi foto Bupati-Wabup, Sehan Lanjar dan Medi Lensun-- diterbitkan atas kerjasama Pemkab dan MP.
Tapi setelah menyimak isinya, saya 100 persen setuju dengan wartawan yang menulis berita itu. Jelasnya, dalam berita disebutkan pada Minggu, 27 Maret 2011, di Pulau Nanas dilaksanakan pencanangan bulan Pariwisata Boltim yang diisi pula dengan syukuran hari ulang tahun (HUT) pernikahan Bupati. Perangkaian itu tidak dibantah Plt Sekab, M Assagaf, yang malah ''meluruskan'' bahwa acara yang melibatkan hampir 2.000 masyarakat itu adalah kunjungan kerja (Kunker) sekaligus dirangkaikan dengan ulang tahun perkawinan Bupati. Klop.
Publik dan Private
Apa boleh buat, memang ada isu penting yang berkaitan dengan paket Kunker dan HUT pernikahan Bupati, yaitu soal etika pejabat publik dan birokrasi, yang saya amati kerap amat longgar dipraktekkan di Bolmong. Padahal, soal etika adalah masalah fundamental. Para politisi dan birokrat Indonesia mungkin bisa mengamati bagaimana etika menjadi konsern serius di kalangan dunia usaha (utamanya yang dimenej dengan sangat profesional) dan organisasi profesi.
Pelanggaran etika di dunia usaha atau organisasi profesi, berakibat mulai dari sanksi administratif hingga yang berbentuk pidana. Seorang Direktur, misalnya, yang memberikan kontrak kerja ke kerabatnya (anak atau istri), apalagi dengan pertimbangan subjektif, sudah melakukan tindakan tidak etis yang dapat berakibat dia ditegur oleh atasan atau bahkan komisaris. Bila kontrak tersebut bermasalah atau menimbulkan kerugian bagi perusahaan, sang Direktur bisa dipidanakan.
Di kalangan profesi, katakanlah kedokteran, seorang dokter yang tidak menangani pasien dengan semestinya, dapat dituntut melanggar etika profesinya. Bila penanganan tidak semestinya itu mengakibatkan kerugian pada pasien, sudah jelas dokter yang bersangkutan akan diajukan ke depan mahkamah (mulai dari sidang profesi hingga pengadilan pidana).
Kembali ke soal bagaimana etika diterapkan oleh para pejabat publik dan birokrasi di Bolmong, saya berkali-kali mendengar cerita memiriskan. Salah satu, yang hingga saat ini saya anggap cuma ''omongan orang kurang kerjaan'' dan ''bisik-bisik spekulasi'', adalah bagaimana satu ketika seorang Bupati yang menikahkan anaknya mewajibkan para camat menyediakan sapi serta Kepala-Kepala SKPD mengurus peralatan dan pelaksanaan resepsinya. Bila ada camat atau Kepala SKPD yang tidak melaksanakan ''permintaan'' itu, ancamannya tidak main-main: dicopot dari jabatan.
Sebab saya tak pernah mendengar ada protes atau keberatan terbuka terhadap ''bisik-bisik'' itu, artinya memang cuma spekulasi saja. Lagipula, bukan rahasia bahwa para politisi atau birokrat di Mongondow memang gemar men-service atasannya hingga ke perilaku yang tidak masuk akal.
Mengingatkan Eyang
Kembali pada Kunker yang dirangkaikan dengan HUT pernikahan Bupati Boltim, sulit dibantah bahwa ada pencampur-adukan adalah wilayah tanggungjawab Sehan Lanjar sebagai Bupati dan sebagai suami. Terlebih bila syukuran itu bukan sekadar by the way tapi sudah direncanakan sebagai satu paket utuh bersama Kunker. Siapa pun yang mendisain pemaketan itu, menurut pendapat saya, dengan sengaja dan terencana mendorong Bupati --yang mungkin juga tidak menyadari-- melanggar etika; yang patut diwaspadai bakal menjadi kebiasaan yang nanti-nanti dianggap biasa, bahkan perlu.
Lewat artikel ini, saya yang mengenal dekat Sehan Lanjar, menyayangkan ketidak-pekaannya. Eyang --demikian dia disapa kalangan dekatnya-- sepengetahuan saya sangat cerdas dan kritis. Karena itu sejak dia dan Medi Lensun terpilih sebagai Bupati-Wabup Boltim, saya optimis mereka bakal memerintah bukan hanya lima tahun, tetapi 10 tahun, dan membawa kabupaten ini menjadi salah satu yang paling maju di Sulut.
Apalagi dalam pertemuan-pertemuan dengan Eyang (juga Medi), saya menangkap adanya semangat membawa model pemerintahan yang berbeda dan lebih merakyat dari keduanya. Eyang yang meledak-ledak selalu mengatakan bahwa dia adalah Bupati yang mendapatkan jabatan dengan ''berdarah-darah''; atas dukungan orang-orang kecil. Dia dengan serius, lalu dibumbuhi humor, mengisahkan bagaimana menemui para konstituen yang memilih dia ''mulai dari bawah pohon kelapa'' hingga rumah-rumah ibadah.
Jabatan yang diraih dengan berdarah-darah itu, janjinya dalam banyak kesempatan, akan didedikasikan pada orang banyak. Masyarakat Boltim. Bila perlu dengan menggorbankan kepentingan pribadinya. Saya berharap Eyang belum lupa dengan semangat dan janji-janjinya (saya kuatir kursi Bupati dan privilege-nya bisa membuat orang mudah jadi pelupa).
Lepas dari posisi saya sebagai orang Mongondow, dalam konteks kawan dan pribadi, saya membayangkan Eyang --juga Medi Lensun-- tidak terperosok menjadi seperti kebanyakan Bupati-Wabup yang mudah berubah menjadi tidak lagi bisa membedakan mana yang publik dan mana yang private. Yang terjerumus menjadikan urusan orang banyak dan urusan pribadi sebagai perangkat egonya. Dan untuk itu, semestinya dimulai dari hal-hal kecil dan sepele, seperti memisahkan antara Kunker dan syukuran HUT pernikahan.
Sebagai Bupati, Eyang bisa menggelar syukuran HUT pernikahannya secara terpisah, dengan menggunakan budget yang menjadi haknya. Bila itu yang dilakukan, dia bukan hanya bisa bersyukur atas rahmat pernikahannya sembari menggembirakan banyak orang; tetapi juga bebas dari spekulasi, sorotan, dan kritik karena memanfaatkan jabatan secara tidak etis.
Kalau ada yang menyodorkan artikel ini pada Eyang, saya percaya dia akan menerima sebagai kritikan dari orang yang menginginkan rekam jejaknya sebagai Bupati Bolmong jauh dari cela. Sebab itu pula, saya akan terus mengkritik dan mengingatkan Eyang dan Medi.***