Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, April 17, 2011

Jangan Sampai ‘’Lebay’’, Pak Bupati

BANYAK kabar baik yang saya dengar tentang Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) di bawah kepemimpinan Bupati-Wakil Bupati (Wabup), Hamdan Datunsolang-Depri Pontoh. Soal disiplin para birokrat, misalnya, ditegakkan dengan serius dan konsisten (memang diperlukan tangan besi untuk mengubah mentalitas pegawai negeri sipil –PNS—yang galib dipersepsikan lebih banyak baca koran ketimbang kerja).

Model penerapan disiplin yang  prakteknya dimotori langsung oleh Bupati, tidaklah baru. Dia hanya menggiatkan absensi, apel pagi dan apel sore. Kalau pun ada inovasi, yang saya dengar setiap Senin pekan berjalan (atau sekali sebulan?) dalam apel dibacakan Kepala SKPD dan pegawai siapa saja yang tidak ada di tempat, baik karena tugas di luar daerah atau memang mangkir dari kewajibannya.

Selain disiplin, Bupati Hamdan Datunsolang juga mengembangkan inspeksi mendadak (Sidak), termasuk datang ke daerah-daerah dan berkantor selama beberapa waktu agar dia tahu persis problem yang dihadapi aparat di bawah dan masyarakat di tempat itu. Kebiasan Bupati Bolmut ini membuat aparat tidak boleh lagi bermalas-malasan. Apalagi saya dengar yang suka berlaku curang, menyelinap diam-diam ke Kota Kotamobagu atau Manado, lalu ketangkap basah, langsung mendapat tindakan setimpal.

Benar atau tidak, ada cerita bagaimana satu saat Bupati melakukan Sidak ke para petugas pertanian lapangan (PPL) dan menemukan ada yang ternyata gemar bolos. Setelah temuan itu, yang ditindaklanjuti dengan tegas, para PPL di Bomut kini mudah ditemukan berada di tengah sawah atau kebun bersama para petani yang didampinginya.

Cerita lain yang juga berulang kali saya dengar dari sumber berbeda, adalah kebiasaan Bupati Bolmut yang kerap bekerja hingga malam di kantornya. Berbeda dengan kebanyakan pemimpinan daerah di Mongondow, konon Hamdan Datunsolang tidak hanya membaca disposisi dari para bawahan, tapi juga menyimak laporan dan berkas-berkas yang disampaikan hingga detil. Bila ditemukan ada laporan yang tak masuk akal, dia melakukan pengecekan dan menjewer Kepala SKPD atau oknum yang bekerja asal-asalan itu.

Berhadapan dengan Bupati jenis ini, para ‘’asal bapak senang’’ pasti mati kutu. Tidak ada kesempatan dan tempat untuk menjilat. Itu sebabnya, sudah menjadi rahasia umum bila ada birokrat teras yang tersingkir (atau disingkirkan dari Bolmut), maka kinerjanya pasti jauh di bawah standar professional yang diinginkan oleh Bupati.

Itu cerita yang saya dengar. Yang saya saksikan sendiri adalah bagaimana para birokrat Bolmut melakukan perjalanan dinas tanpa berbondong-bondong (apalagi didahului dengan mobil ‘’nguing-nguing’’,yang kian lama kian menjengkelkan di Sulut umumnya). Bukan sekali-dua kita bisa melihat Wabup Bolmut makan siang hanya ditemani ajudan dan sopirnya di salah satu restoran Padang di Jalan Sarapung, Manado. Satu saat, seorang sepupu yang bertemu dengan Wabup Bolmut di tempat itu menyapa dan terlibat percakapan pendek. Intinya: Wabup sedang ada urusan dinas di Manado, hanya ditemani sopir dan ajudan, dan sedang mengasoh makan siang.

Politisi yang sedang berkuasa atau birokrat yang tidak mentang-mentang sungguh gurih dilihat. Dan Hamdan Datunsolang, yang garasi rumah dinasnya belum berubah jadi layaknya show room penjualan mobil, tergolong pejabat yang tidak ‘’kalap pamer’’. Jauh berbeda dengan sejumlah politisi Bolmut –tidak perlu saya umbar namanya di sini— yang baru menjabat satu-dua tahun tapi mendadak sudah pintar mengoleksi mobil.

Kalau pun ada gosip yang membawa-bawa nama Bupati Bolmut yang mampir ke telinga saya, atau yang sempat terbaca di media massa dan internet, lebih berkaitan dengan kasus yang melibatkan putranya, anggota DPR Sulut dari Partai Amanat Nasional (PAN), Akbar Datunsolang. Bisik-bisik yang santer menyebutkan, Akbar yang terlibat pengeroyokan (harus disebut pengeroyokan, karena perkelahian yang terjadi antara satu lawan lebih dari dua orang) beberapa waktu lalu di tempat karaoke di Kawasan Mega Mas, terakhir hanya berstatus saksi karena sudah di-‘’86’’. Alasan status Akbar bisa di-‘’86’’-an karena turun tangannya sang ayah, Bupati Bolmut Hamdan Datunsolang.

Mudah-mudahan apa yang saya dengar dan baca itu cuma spekulasi dan dugaan dari ‘’oknum-oknum’’ tak bertanggungjawab. 

Kontrak Kerja

Kembali pada soal Bupati Hamdan Datunsolang, dari apa yang di dengar dan baca di media massa, saya tak segan mengacungkan dua jempol. Top! Sebab kekaguman itu maka saya terperanjat membaca Harian Manado Post, Sabtu 16 April 2011 (Tandatangan Kontrak Kerja dengan Bupati: Tiga Bulan Sekali Kinerja Kepala SKPD Dievaluasi). Dalam berita diungkapkan, demi meningkatkan kinerjanya, para Kepala SKPD di Bolmut, Jumat (15 April 2011) menandatangani kontrak dengan Bupati.


Ada apa dengan Bupati Bolmut? Apakah kontrak kerja dengan para bawahan (yang 100 persen birokrat, bukan politisi) hanya kreativitas yang berlebihan; atau sekadar latah karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menandatangani kontrak dengan para menterinya serta dengan partai-partai koalisi yang menyokong pemerintahannya?

Saya heran, Hamdan Datunsolang yang mantan birokrat, yang sudah ‘’kapalan’’ dan ‘’ngelotok’’ urusan profesionalisme dan kinerja birokrasi, mendadak bagai lupa bahwa para birokrat sudah punya kontrak yang lebih tinggi dibanding dengan Bupati, yaitu antara mereka dengan negara. Begitu seseorang dinyatakan diterima sebagai PNS, dia otomatis diikat berbagai macam aturan dan tututan yang harus dipenuhi. Penilaian terhadap kinerja seorang pun PNS bukan hanya pada tugas pokok dan fungsinya, tetapi juga menyangkut loyalitas, etika, dan lain sebagainya.

Artinya, tanpa kontrak dengan Bupati sekali pun (atau bahkan yang terburuk disaat ada kekosongan pemimpin daerah) seorang birokrat harus tetap melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya dengan maksimal. Kalau kontrak kerja yang ditandatangi Bupati dan Kepala SKPD di Bolmut substansinya hanya agar pemerintahan yang baik dan transparan dapat dimaksimalkan; dan dilakukan evaluasi setiap tiga bulan sekali, bukankah itu memang kewajiban dari perangkat pemerintahan sesuai undang-undang dan peraturan?

Khusus evaluasi setiap tiga bulan, yang implisit dinyatakan oleh Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah (BKDD) Bolmut, Jusuf Lakoro, bukankah pula memang menjadi kewajiban Bupati-Wabup, BKKD, dan instansi pengawas seperti inspektorat untuk melakukannya? Dan seharusnya bukan setiap tiga bulan, tetapi setiap hari.

Bupati Bolmut yang terhormat, bila Anda dan Wabup menanda-tangani kontrak kerja dengan partai pengusung; atau dengan rakyat sebagai wujud kesungguhan dan niat baik membangun daerah, masih bisa saya pahami dari sisi praktek politik yang etis dan bermoral. Walau, sebenarnya juga kontrak kerja semacam itu tak lebih dari pencitraan karena Bupati-Wabup sudah pula diikat dengan macam-macam aturan dan tanggungjawab (juga hak) yang menyertai jabatan yang disandangnya.

Melakukan terobosan agar pemerintahan bisa maksimal dijalankan demi kepentingan Bolmut dan rakyatnya, adalah ikhtiar yang mesti diapresiai. Tapi kalau terobosan itu akhirnya hanya sekadar ‘’pemanis politik’’ untuk pencitraan (buat apa sesuatu yang sudah jelas, bahkan ada di undang-undang dan peraturan rinci yang berlapis-lapis, dituangkan lagi menjadi sekadar kontrak kerja?), bisa-bisa Bupati Bolmut dicibir ‘’lebay’’ seperti yang suka diucapkan para remaja terhadap sesuatu yang melebihi takaran.

Dan Bupati ‘’lebay’’ tentu tak ‘’cool’’ lagi.***