Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, April 15, 2011

Sengketa Pilkada Bolmong: Media Amatir, Wartawan Asal-Asalan


HARIAN Tribun Manado, Kamis (14 April 2011) menurunkan berita Penggugat Hadirkan 8 Saksi, dengan dua anak judul, Pojokkan Salihi dan KPUD Bolmong serta Sidang Gugatan Pemilukada di MK. Untuk isu yang sama Manado Post menulis Saksi ADM Norma: Ijasah Salihi Asli. Sedangkan Komentar memajang tajuk ADM-NM Ajukan Bukti Ijazah Palsu: Saksi Akui Keasliannya.

Di blog ini, sebelum tiga harian rujukan pembaca di Sulut itu terbit, Rabu malam (13 April 2011) saya mengunggah tulisan Kesaksian yang Memalukan: Fakta, Lamunan dan Fantasi, yang menyoroti bagaimana saksi utama Didi Moha-Norma Makalalag yang menggugat KPU dan pasangan pemenang Pilkada Bolmong, Salihi Mokodongan Yani Tuuk di MK; justru mementahkan gugatan mereka sendiri. Yang khusus saya soroti adalah kesaksian Kepala Dinas Pendidikan (Kadiknas) Bolmong, Ulfa Paputungan, dan Ketua Forum Pemuda Peduli Bolaang Mongondow (FP2BM), Roni Mokogonta. Musababnya karena dua orang inilah yang tampaknya punya ‘’dendam membara’’ terhadap Salihi Mokodongan, dengan alasan yang hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

Amatir dan Asal-Asalan

Menulis artikel blog tentu bukanlah kerja jurnalistik. Bagi pembaca yang mampir melogok isinya, juga mungkin sekadar lucu-lucuan, apalagi yang saya tulis bukanlah berita atau analisis rumit, melainkan essay ringan atau artikel biasa saja. Walau demikian, saya tidak akan menggunakan sumber info yang sumir dan samar-samar sebagai dasar menulis; apalagi cuma kotek ayam atau lenguhan burung hantu.

Itu sebabnya saya sangat terkejut saat menyimak berita yang diturunkan Tribun Manado, yang nyaris sepenuhnya hanya mengutip Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sulut, Anton Miharjo. Sumber lain,  anggota KPU Bolmong, Uyun Pangalima, disitir hanya untuk mengkonfirmasikan kehadiran saksi lain di sidang MK yang akan dilanjutkan Senin depan (18 April 2011).

Sepengetahuan saya Tribun Manado adalah media yang berada di bawah payung Kelompok Kompas. Menyebut Kompas, awam pun akan sepakat bahwa dalam praktek jurnalistiknya media ini terkenal sangat hati-hati dan profesional, apalagi kalau sudah menyangkut etika jurnalistik dan aspek-aspek paling dasar jurnalisme. Kehati-hatian Kompas bahkan membuat tagline-nya, Amanat Hati Nurani Rakyat kerap dipelesetkan jadi Amat Hati-Hati.

Seluruh kesan positif terhadap Kelompok Kompas itu runtuh setelah saya berulang kali membaca berita Penggugat Hadirkan 8 Saksi. Berita ini bukan hanya mengutip sumber yang tak jelas kompetensinya, tetapi juga ditulis serampangan dan jauh dari panduan dasar yang mestinya ditaati jurnalis yang bahkan baru belajar menjadi profesional, dan tentu saja standar sebuah media  kredibel. Dibandingkan dengan dua harian lain yang menurunkan isu yang sama, kita bisa pula menyimpulkan berita tersebut bukan hanya sumir tetapi juga ditulis dengan ‘itikad yang patut dipertanyakan’’.

Dengan menggunakan standar generik, Kode Etik Jurnalistik Indonesia (versi 2006 yang ditanda-tangani 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers), berita yang diturunkan Tribun Manado itu cacat secara etika. Media ini –dan wartawannya—setidaknya melanggar Pasal 1 hingga 3 Kode Etik Jurnalistik Indonesia.

Tiga pasal yang saya maksudkan itu itu menyebutkan, pasal 1:  Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Dan pasal 3:Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Sumber yang dikutip Tribun Manado sangat patut dipertanyakan independensi dan kredibilitasnya. Dia memang mengaku sebagai Ketua KIPP, tapi di seluruh tubuh berita pernyataannya jelas memihak pasangan  Didi Moha-Norma Makalalag. Tidak ada satu pun penjelasannya yang mengungkap bahwa secara substantif saksi-saksi yang diajukan Didi Moha-Norma Makalalag justru membenarkan bahwa ijazah Paket B dan C Salihi Mokodongan sah adanya. Media dan wartawan mestinya sadar bahwa gugatan terhadap ijazah Salihi Mokodongan adalah soal sah atau tidaknya; bukan berkaitan dengan proses mendapatkannya.

Dalam catatan saya Anton Miharja sendiri bukan lagi pengamat yang independen terhadap proses politik di Sulut. Di Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur (Wagub) Sulut lalu, dia jelas berdiri bersama-sama pasangan SH Sarundajang-Djouhari Kansil. Demikian pula di Pilkada Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Manado dia menjadi bagian dari tim Hanny J Pajouw-Anwar Panawar. Di Pilkada Bolmong, hanya dengan membaca pernyataan-pernyataannya, kita bisa menyimpulkan dia jelas mendukung Didi Moha-Norma Makalalag.

Media –juga para wartawan—boleh tidak menyukai Salihi Mokodongan dan pasangannya, Yani Tuuk. Tapi dalam menulis dan menyiarkan berita, mereka harusnya tidak ‘’mengencingi’’ kode etik yang merupakan aspek paling dasar seseorang layak disebut ‘’wartawan’’ atau sekadar tukang ketik belaka. Dengan kata lain, saya tegas mengatakan dalam konteks berita Penggugat Hadirkan 8 Saksi, Tribun Manado menulis berita dengan mengutip sumber yang tidak independen, tidak akurat dan berimbang, dan karenanya juga patut diduga beritikad buruk. Cara mendapatkan berita tersebut juga dilakukan jauh dari standar profesional, terutama karena tidak diuji , jauh dari berimbang, serta mencampurkan antara fakta dan opini.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (Three Rivers Pers, New York, 2001), menulis Sembilan elemen penting yang harus dijadikan pegangan oleh para jurnalis. Mereka menyatakan, 1) Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; 2) Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga; 3) Intisari jurnalisme adalah sebuah disiplin verifikasi; 4) Wartawan harus tetap independen dari pihak yang mereka liput; 5) Memantau Kekuasaan dan Menyambung Lidah Mereka yang Tertindas; 6) Jurnalisme sebagai Forum Publik; 7) Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik, dan relevan; 8) Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional; dan 9) Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Khusus tentang intisari jurnalisme, yaitu disiplin verifikasi, Kovach dan Rosenstiel memberikan penegasan lewat lima konsep, yaitu jurnalis diharamkan menambah atau mengarang apa pun; menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar; jurnalis harus pula bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasinya dalam melakukan reportase;  jurnalis harus bersandar terutama pada reportasenya sendiri; serta bersikaplah rendah hati.

Mari kita menilai berita Penggugat Hadirkan 8 Saksi menggunakan Sembilan elemen jurnalistik-nya Kovech dan Rosenstiel. Pembaca, Anda yang punya pengetahuan pas-pasan berkenaan dengan media, wartawan, dan cara kerja mereka pun pasti sepakat, bahwa Tribun Manado terperosok menjadi sekadar media amatir dengan wartawan yang bekerja asal-asalan. Yang memiriskan, berita itu dipampang pula di halaman utama.***