Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, April 8, 2011

Pasar Ta Kasana Ta Kamari

PASAR Serasi dan 23 Maret Kota Kotamobagu direlokasi ke Kelurahan Genggulang (Kotamobagu Utara) dan Kelurahan Poyowa Kecil (Kotamobagu Selatan). Saya membaca pemindahan ini di edisi online Harian Komentar, Rabu (6 April 2011). Beritanya sendiri ditajuki Semula bilang akhir Maret, hingga April belum action: Relokasi Pedagang Hanya Janji Kosong Disperindagkop-PM.

Ingatan saya segara kembali ke 2008, tepatnya 26 April 2008, sewaktu mempublikasikan tulisan Sayur Paku di Timur, Kelapa Biji di Selatan (blog http://orangmongondow.blogspot.com/). Ide memindahkan Pasar Serasi dan 23 Maret ke dua tempat terpisah di wilayah pinggiran Kota Kotamobagu ketika itu marak bersamaan dengan kampanye pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) kotamobagu. Yang mencetuskan adalah calon Walikota (yang gagal terpilih) Syarial Damopolii –sekarang Yal atau dikenal juga dengan Papa Dona, yang sibuk mengurus ‘’revolusi’’ PSSI, mungkin malah sudah melupakan ide ini.

Tapi sebelum mengurusi pasar, saya mau memberi catatan kecil terhadap Harian Komentar. Saya mencermati koran terbitan Manado ini adalah media yang kerap ‘’kacau’’ dalam penulisan berita, terutama logika dan penggunaan bahasa. Saya terganggu betul setiap kali membaca dan menemukan ada kata bahasa Inggris yang diselipkan, semata karena wartawannya ingin gagah-gagahan. Apa maksudnya kata ‘’action’’ di anak judul berita? Apakah tidak ada kata dalam bahasa Indonesia yang bisa mengganti kata ini?

Salah satu penulis terbaik Indonesia, Hamid Basyaib, suatu ketika (yang belum lama berlalu) mengeluhkan kebanyakan wartawan Indonesia generasi baru payah dalam penguasan bahasa, pemilihan angle tulisan, malas melakukan riset dan membaca buku. Alhasil yang ditulis biasanya dangkal, compang-camping, bahkan untuk sekadar memenuhi 5W+1H pun berantakan.

Keluhan Hamid Basyaib sesungguhnya berlaku umum. Ganti saja kata wartawan dengan politisi, Bupati, Walikota, Gubernur, atau Menteri, Anda akan melihat fenomena yang sama.

Lihatlah bagaimana miskinnya kreativitas pejabat publik kita dalam soal memperbaiki ekonomi orang kebanyakan, para entrepreneur menengah bawah yang mempertaruhkan modal mereka yang pas-pasan (atau malah sering kurang) di pasar rakyat seperti Serasi dan 23 Maret. Sejak mula saya cenderung tidak setuju dan mengolok ide relokasi dua pasar itu, kalau yang dilakukan hanya memindahkan kekumuhan dari satu tempat ke dua tempat berbeda. Terlebih, dalam berita yang dilansir Harian Komentar, Serasi dan 23 Maret akan diubah jadi mall atau hypermarket kerjasama antara Lippo dan Pemerintah Kota (Pemkot).

Subtansi pembangunan adalah demi kesejahteraan orang banyak, terutama menaikkan derajat mereka yang berada di lapisan bawa ke tingkat lebih tinggi. Merelokasi para pedagang kecil ke wilayah pinggiran Kotamobagu, di satu sisi didukung argumentasi demi menyebarkan pusat-pusat ekonomi dan keramaian. Tapi dengan diserahkannya lahan Pasar Serasi dan 23 Maret dan kemudian diubah menjadi kawasan belanja modern, tak beda dengan menginjak kepala para pedagang kecil.

Dengan kata lain, Walikota Kotamobagu sukses mengusir para pedagang kecil dengan alasan yang seolah-olah elegan; lalu menggantikan dengan pemilik modal raksasa yang saya yakin bakal jadi magnet sangat kuat bagi masyarakat Kotamobagu dan sekitarnya. Bukankah lebih enak belanja di mall atau hypermarket ketimbang bersusah payah berlumpur-lumpur di pasar tradisional? Apalagi kalau selisih harga barang yang ditawarkan tidak signifikan. Belanja di pusat perbelanjaan modern bisa pula dihitung sebagai wisata, yang tentu tak bisa dinikmati di pasar tradisional.

Saya tidak menentang pembangunan pusat belanja modern di Kota Kotamobagu. Sebagaimana kebanyakan orang yang tumbuh bersama modernisasi Indonesia, saya juga menginginkan kota di mana saya dilahirkan dan dibesarkan berkembang seperti kota-kota lain di Indonesia. Yang saya sayangkan adalah kecenderungan pengembangannya yang sama sekali tidak belajar dari pengalaman di tempat lain, di mana modernisasi tidaklah meminggirkan orang kecil, tetapi menyandingkan dengan modal kuat hingga mereka bisa tumbuh bersama dan bersinergi.

Apakah masih ada tempat untuk inde-inde, ama’-ama’, dan saudara-saudara kita yang hanya punya satu-dua potong jualan di pusat belanja modern yang akan dibangun di lahan besar Padar Serasi dan 23 Maret? Mengingat kerjasama Lippo dan Pemkot Manado baru saja terdengar beberapa waktu terakhir ini, saya kira jawaban atas pertanyaan itu belum terpikirkan oleh Walikota Kotamobagu; atau bahkan tidak terlintas di kepalanya. Sepengetahuan saya, kesibukan terbesar Walikota saat ini, selain ‘’jaga imej’’, ya, saling intip dan berseteru dengan wakilnya.

Yang saya lontarkan mungkin terlalu sinis; apalagi karena saya belum melihat wujud pasar di Genggulang dan Poyowa Kecil. Tapi yang saya bayangkan tidak jauh dari bentuk pasar tradisional umumnya, yang biasanya dibangun dengan standar yang dipas-paskan, dengan infrastruktur minim, akses dan parkir yang miskin, yang membuat orang datang memang karena kebutuhan dan bukan mencari pengalaman eksotis seperti kita belanja di pasar tradisional di tempat-tempat di mana peradaban manusianya telah didorong dan mencapai taraf mengapresiasi setiap warga negara dengan baik.

Walikota Kotamobagu mungkin asing dengan nama seperti ekonom Hernando de Soto dari Peru atau Muhammad Yunus (sang social entrepreneur asal Bangladesh) yang berhasil membuktikan bahwa kemiskinan bukanlah akibat kapitalisme; melainkan karena orang miskin tidak diberi akses pada kapital. Memberikan akses kapital itu bisa berupa modal dan tempat usaha, yang mampu meng-antraksi orang untuk datang. Memindahkan pedagang kecil dan tradisional ke pasar tradisional yang dibangun tanpa konsep memihak mereka, bukan menolong tapi menghukum orang kecil untuk tetap kecil.

Membangun sebuah kota bukanlah sulapan, jangan pula dijadikan eksperimen. Tanpa perencanaan matang, apa yang dilakukan Walikota (yang diembani tanggungjawab oleh seluruh warganya) cuma menjadi lelucon menjengkelkan. Salah satu bukti adalah warung tenda kuliner yang contohnya tiba-tiba ditegakkan di Lapangan Sepakbola Mongolaing.

Di malam hari kawasan di mana tenda-tenda itu dibangun berubah menjadi ‘’pasar’’ tanpa fasilitas minimal seperti WC dan saluran pembuangan. Hasilnya adalah kejorokan dan jangka panjang bisa menjadi masalah baru bagi warga sekitar.

Pertama kali melihat bentuk tenda itu, yang dipancang di atas rumput , darah saya sudah mendidih. Lapangan Sepakbola Mogolaing adalah milik seluruh warga Mogolaing, yang harus digunakan sebagai ruang publik. Lapangan itu memang belum melahirkan pesepakbola kualitas nasional (apalagi internasional), tapi dia tetaplah tempat siapa saja boleh melakukan aktivitas publik, paling tidak bermain bola.

Atas izin siapakah lapangan itu mulai diubah peruntukkannya? Apakah orang yang punya ide dan kuasa membuat tenda-tenda di Lapangan Mogolaing sudah mendapat persetujuan seluruh warga sebagai pemilik hak?

Sebagai warga Mogolaing saya akan memberi dukungan bila ada ide mengalokasikan satu kawasan sebagai pusat makan atau jajan. Tapi jangan di lapangan sepakbola. Dan sediakan pula seluruh fasilitas pendukung, hingga bukan hanya mereka yang ingin memulai atau yang punya usaha di sektor kuliner yang diuntungkan; tapi juga warga yang bisa menikmati dengan kenyamanan terjaga.***