PEREMPUAN itu berinisial
WG. Begitu nama yang disemat situs Totabuan.Co,
Kamis, 24 Oktober 2013, Pelaku Foto Syur
Melapor ke Polres (http://totabuan.co/2013/10/24/pelaku-foto-syur-melapor-ke-polres/),
menyebut wanita yang pose-pose tanpa busananya dipajang di halaman depan Harian
Radar Bolmong edisi Selasa, 22
Oktober 2013.
Dikawani orangtuanya, dua sosok yang fotonya (kemudian
diganti dengan ilustrasi) berulang kali saya cermati di berita unggahan Lintasbmr.Com, Penyebar Foto Syur Dilapor (http://lintasbmr.com/penyebar-foto-syur-dipolisikan/),
perempuan berusia 31 tahun itu menyambangi Mapolres Bolmong. Melihat gambar
mereka yang duduk pasrah dan pariah, dada saya bagai ditindih berbalok-balok
es. Dingin, kebas, dan nyeri. Orang kecil dan papah selalu mudah jadi korban,
bahkan oleh jurnalis yang semestinya menjadikan hati nuraninya kompas; dan
media yang selayaknya memihak yang lemah dan korban.
Saya memang patah hati terhadap praktek jurnalistik koran
yang mengklaim ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’ itu. Dan patah hati itu paripurna jadi
remuk menyimak Totabuanews.Com, Adegan Foto Syur di Kotamobagu Ditangani
Polres Bolmong (http://totabuanews.com/2013/10/25/adegan-foto-syur-di-kotamobagu-ditangani-polres-bolmong/),
tentang bagaimana derita WG setelah peristiwa di ruang pribadi dan tertutupnya
dipampang jadi lahapan orang banyak.
Perempuan itu, ibu rumah tangga biasa, dan kedua
orangtuanya, saya yakini telah mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa
sebelum menyeret kaki, badan, dan pikiran berkabut malu ke Mapolres
Bolmong. Aib yang sebelumnya bertebaran kemudian dikumpul, dirajut, dan dipakukan Radar Bolmong, bahkan bagi seorang
serdadu paling berani pun, sungguh menciutkan nyali. Tak ada lagi yang mampu
menghapus foto seronoknya dari ingatan para penyaksinya. Tidak juga permintaan
maaf dari koran yang jadi bagian dari raksasa penerbitan negeri ini, yang
memang tak bakal dengan rela dinyatakan.
Sungguh mengerikan kesombongan pewarta dan media yang tak
lagi memandu prakteknya dengan aturan, standar, norma, dan etika jurnalistik.
Mereka mampu dan berhak seolah-olah berada di atas semua yang semestinya di
hormati. Tak ada yang keliru, sebab merekalah yang mengatur apa yang jadi
pikiran dan persepsi orang banyak. Dan bahwa yang terdampak, pelaku atau
sekadar korban, dianggap risiko individu masyarakat modern yang mudah berjaya
dan jatuh hanya oleh 60 detik gambar atau berita di televisi dan radio; atau
sekolom-dua rangkaian kalimat di majalah, koran, situs berita, dan media
sosial.
Ya, Radar Bolmong adalah
media yang seperti itu. Yang telah memalu dan menyempurnakan kehancuran perempuan
berinisial WG, orangtua, anak-anak, dan keluarganya.
Bagaimanakah kita merekonstruksi badai yang menggelora di
jantung dan pikiran anak-beranak itu di hadapan penyidik Polres Bolmong tatkala
mereka menutur laranya? Seperti apakah luka hati orangtua yang disayat
kenyataan putrinya dikembalikan sang suami karena meloloskan busana di hadapan
lelaki lain; yang dimamah-biak pula oleh para pembaca koran? Cucu dan anak
mereka tak lagi punya muka dan nyali menginjakkan kaki di sekolah sebab wajah
terujung ibunya sudah jadi konsumsi cibir dan bisik-bisik.
Di tiap perbenturan peradaban, perang, dan peristiwa, korban
pertama yang jatuh selalu perempuan dan anak-anak. Televisi, radio, surat kabar,
dan situs berita merajam kita dengan duka mereka. Gambar-gambar perempuan dan
anak-anak sekurus lidi yang merenggang nyawa disapu kelaparan di ceruk sebuah negara
di Afrika. Perempuan dan anak-anak yang dianiaya dan dirajam di tengah konflik
perang Afganistan atau Palestina. Pula perempuan dan anak-anak yang
terlunta-lunta dari kampung yang dihantam bencana, ghetto kumuh, hingga jalanan gemerlap neon metropolis.
Perempuan berinisial WG, yang foto-foto syur-nya disiarkan vulgar di halaman depan sebuah koran yang merasa
lebih terhormat dan pantas angkuh, adalah korban. Anak-anak dan keluarganya
adalah korban ikutan sebab media tak lagi memilihan mana yang publik dan private. Yang mana demi pengetahuan dan
pembelajaran umum dan sekadar syahwat sensasional.
Ketika satu bangunan keluarga runtuh dengan alasan apapun
--cinta terlampau cepat berganti benci atau sebab ‘’rumput tetangga lebih hijau
dari halaman sendiri’’, siar media, ada masa depan lain yang dipertaruhkan.
Orang-orang pintar, pakar, dan para bijak angkat suara. Bicara tentang akar-soal,
musabab, resep menangkal, atau menyembuhkan yang memar, bengkok, luka, retak,
dan patah. Kata mereka: Masa depan itu, anak-anak yang diimaji dan doanya tak
terpinta berkayuh di biduk retak, jangan pernah dibiarkan tenggelam. Sebab peradaban
sesungguhnya dibangun di atas reruntuhan demi reruntuhan oleh mereka yang
bernurani setelah yang barbar tersungkur dan dikubur.
Di manakah peradaban itu di Mongondow ketika anak-anak yang
semestinya ceria menyongsong pagi, bunggah berlarian ke sekolah, menyerukkan wajah
dan tubuh ke sudut tergelap dan sepi? Di sesemakan yang sempurna menolak hingga
hanya selarik cahaya, di mana telinga tak lagi menangkap sesuara pun
kata-kata, ‘’Ibumukah perempuan yang dibakar nafsu di halaman depan koran yang
aku lihat?’’
Suara itu adalah iblis yang menghantui seumur hidup, bahkan
sekali pun dia tumbuh dewasa dan mengasingkan diri ke belantara terjauh tanpa
jejak dan bau makluk berjalan. Waktu memang menyembuhkan borok yang membusuk di
otak dan hatinya. Tapi ada parut membekas, yang tak sesiapa pun (tidak juga LSM
perempuan dan anak, Komnas, atau orang-orang ber-uniform penuh tanda dan
lambang) kuasa menghapus.
Perempuan itu, yang diinisiali WG dan orangtuanya adalah
sampan retak yang mendampar di Mapolres Bolmong. Mereka tak datang demi
menegakkan harga diri. Dari lalu-lalang kabar yang saya baca, ketiganya hadir
karena kesah dan putus asa. Pada siapa lagi remah-remah modal sosial yang
tersisa diminta perlindungan, kecuali otoritas yang wajib menjaga harkat setiap
warga negara, sekali pun itu puing-puing aib dan malu?
Hari-hari ini saya kerap merenungi dan merindukan Mongondow
yang bertahun-tahun lampau saya kenal dan mesrai. Mongondow dengan masyarakat
yang mototompia’an. Tempat di mana ‘’memanusiakan
manusia lain’’ mengaliri nadi dan jantung orang-orangnya, tanpa pamflet dan
poster kampanye. Mongondow yang menutup rapat aib di ruang pribadi sembari menghardik
mereka yang masyuk menggunjingkan sensasi. Mongondow yang adatnya tanpa pandang
bulu adil menimbang siapa korban dan pelaku yang mencoreng-coreng nilai-nilai
luhurnya.
Saya kangen pada Mongondow yang tak membuta-tuli bahwa ada
yang sakit dan kronis di tengah mereka.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
LSM: Lembaga
Swadaya Masyarakat; Komnas: Komisi
Nasional; Bolmong: Bolaang Mongondow;
dan Mapolres: Markas Kepolisian
Resort.