Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, September 29, 2015

Serakah? Selamat! Anda Tertipu


MUNDUR ke 2009. Sumber informasi saya mengisahkan, saat itu Zakaria Sukaria Pota (setidaknya ini nama ‘’waras’’ yang diakuinya) bermukim di Poyowa Kecil. Sebagaimana warga Mongondow kebanyakan, kesehariannya dia menekuni pertanian sebagai pekerjaan utama.

Namun, yang istimewa, menurut klaim yang dia sampaikan dengan sangat menyakinkan—setidaknya untuk para penggemar dongeng mistis--, Zakaria mengetahui dan mampu membuka empat brankas berisi harta bernilai tinggi yang tersimpan di Bolmong. Tak jelas benar di mana brankas itu berada. Yang pasti, gudang harta ini dijaga aneka mahluk gaib yang hanya dia seorang yang mampu menangani.

Demi kepentingan membuka brankas hebatnya, Zakaria berkehendak bertemu dengan Bupati (saat itu) Marlina Moha-Siahaan. Entah apa pula kaitan antara brankas maha penting itu dengan Bupati. Memangnya dengan bertemu Bupati, lalu Satpol PP dikerahkan, lalu ‘’alakazam’’, brankas keluar, aneka mahluk penjaganya diringkus,dan harta melimpah tersaji di depan mata?

Sejauh yang diketahui empunya informasi, Bupati Marliha Moha-Siahaan tidak pernah bertemu dengan Zakaria. Entah karena Bupati tidak percaya dengan dongeng pengantar tidur untuk anak TK itu, atau sebab lain, yang jelas dia lolos dari kemungkinan masuk daftar korban mimpi dan halusinasi milioner mendadak tanpa meneteskan keringat.

Dari 2009 kita bergeser ke 2011. Harta karun yang diketahui Zakaria sudah berkembang dan konon tertanam di wilayah Inuay. Maka berpindahlah latar kisah perburuan kekayaan ini ke Inuay, lengkap dengan segala ritual dan upacara, serta—tentu saja—penggalian. Saksi mata, seorang wartawan yang ketika itu turun meliput menuturkan, kerja menggaruk lobang menguak harta karun yang dipimpin Zakaria bahkan dijaga aparat berwenang.

Hasilnya, setelah seminggu memacul dan menyekop, harta karun yang berhasil diangkat adalah gunungan tanah, batu, dan gerombolan cacing yang terkan sial karena ‘’rumah’’ mereka diobrak-abrik. Zakaria beralasan, harta yang seharusnya didapat tak dituai karena pewarisnya belum mengizinkan.

Pepesan yang ternyata kosong itu terdiam cukup lama dan keluar lagi pada 2013. Di periode ini kalangan media dan wartawan tampaknya meluputkan peristiwanya. Hanya ada cerita yang samar-samar yang saya dapatkan. Yang pasti, hasilnya seperti pada 2011: tumpukan tanah, batu, dan—sekali lagi—segerombolan cacing yang kehidupan damainya terusik. Serta, tentu saja, daftar yang kian panjang dari para ‘’investor’’ yang mimpi kaya mendadak.

Sekali lagi, kisah Zakaria dan harta karunnya menyurut, lalu mendadak terdengar kembali menjelang penghujung 2015 ini dengan bumbu yang kian sedap. Ada harta warisan Soekarno (katanya tongkat komando emas, batangan emas, obligasi, serta tusuk konde emas Ibu Fatmawati), peninggalan Jepang, dan yang terbaru—yang pagi ini infonya tiba di kuping saya—juga harta karun Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Ternyata pula—setidaknya demikian yang diinformasikan, yang tidak repot-repot saya verifikasi—gegar harta karun Zakaria versi 2015 ini juga sedang diwarnai proses penggalian di Inuay. Mengutip seorang saksi mata, yang jadi sumber info menuturkan, wakil pemerintah desa bahkan memberikan sambutan sebelum penggalian dilakukan.

Di usia menjelang setengah abad, sepanjang pengetahuan saya, kegilaan (di luar histeria) sama tidaklah menular. Tapi Mongondow memang suka punya kasus-kasus aneh dan istimewa, terbukti dari wabah ‘’gila harta karun’’ Zakaria yang ternyata menular ke banyak orang, mulai dari masyarakat biasa, wartawan, pengusaha lokal, hingga sejumlah pejabat setingkat Kadis. Tanpa dicari-cari, daftar mereka yang diduga dan terduga sebagai ‘’investor’’ perburuan harta karun yang diklaim dan diakui Zakaria, tiba begitu saja di BBM dan komputer saya.

Sekali lagi saya tercengang-cengang. Jika benar orang-orang pintar, bersekolah tinggi, bahkan punya jabatan dan pengaruh publik itu turut terbius omong kosong harta karun ala Zakaria, sungguh menyedihkan tingkat kewarasan mereka. Kalau itu harta karun warisan Soekarno, jawaban sudah jelas: semua pihak, termasuk keluarga besar Soekarno, sudah memastikan itu klaim dan pengakuan ngawur tingkat dewa. Jika harta karun Jepang, sama halusinatifnya dengan mengatakan ditemukan gajah asli di hutan Mongondow. Dan apabila yang diklaim harta Jenderal Soedirman, tak beda dengan dengan mempercayai bahwa dulu ada jembatan yang menghubungkan Jateng dan Inobonto.

Setelah membaca ‘’Drama’’ Zakarian dan harta Karun Soekarno (Minggu, 27 September 2015), seorang rekan jurnalis mengontak saya dan mengatakan, ‘’Jangan-jangan mereka yang percaya dan yakin itu karena terkena hipnotis?’’ Dugaan ini ada benarnya sekaligus membuat saya tersedak. Hipnotis apa? Satu-satunya yang menghipnotis mereka hingga mengabaikan akal sehatnya adalah keserakahan.

Keserakahan, kata para ahli (termasuk ahli agama), sudah menjadi salah satu sifat dasar dan naluri manusia. Demikian pula dengan kemalasan. Tatkala keserakahan bertemu dengan kemalasan, ditambah jampi-jampi mimpi dan janji kaya mendadak, mudah meruntuhkan kepala yang kurang pikir dan berlangit pendek, sekalipun pemiliknya berpendidikan tinggi, tokoh yang punya pengaruh, bahkan pada dasarnya telah berharta cukup.

Saya berkeyakinan, sifat dasar dan naluri itulah yang dimanfaatkan oleh Zakaria—yang belum tentu punya pendidikan formal memadai—menarik minat dan menjerumuskan orang-orang yang disebut ‘’investor pencarian harta karun’’ itu. Yang memprihatinkan, walau berkali-kali hanya memanen angin dan janji, sejumlah orang—termasuk seorang pengusaha yang kini termehek-mehek membebek Zakaria—tak kapok juga. Seperti pemakan sambel yang berulang kali sakit perut dan disergap maag, tetapi tetap kembali memamah cabe karena sensasi pedasnya.

Kisah Zakaria ini, sejatinya tak beda dengan kasus-kasus dukun cabul. Ribuan kisah bagaimana dukun cabul memperdaya wanita yang ingin cantik, dapat jodoh, disayang pacar (atau simpanannya), dijawab dengan metode dan alasan klasik: ada dedemit brengsek yang bersarang di tubuh si wanita, dan karena harus dikeluarkan. Pembaca, ujung kisah dukun cabul selalu mirip: yang keluar bukanlah hantu atau setan jahanam dari tubuh pasien wanita, tetapi tuyul dari balik sarung atau celana dalam sang dukun.

Toh, selalu ada yang tertipu. Sebagaimana masih ada saja yang terkecoh SMS ‘’Mama minta pulsa’’ dan ‘’Anda terpilih menerima hadiah’’. Korban dua jenis penipuan ini, sekadar Rp 100-200 ribu hingga Rp 20 jutaan (dengan kilah biaya administrasi dan pajak), masih bisa menghibur diri dengan mengusap dada. Bagaimana dengan korban dukun cabul dan tuyul dari balik sarung atau celana dalamnya? Pula iming-iming harta karun hingga menelantarkan usahanya atau bahkan merogoh uang kantor demi investasi memburu kekayaan fiktif yang dijanjikan itu?

Dan sebagaimana biasa, polisi pasti akan sangat lambat bertindak. Di kasus Zakaria Sukaria Pota, aparat berwenang konon pura-pura tidak tahu (atau barangkali beralasan belum menerima laporan masyarakat), karena beberapa petingginya di Bolmong juga pernah terlibat ‘’berinvestasi’’. Bukankah cukup menampar wajah ketika Zakaria di BAP dan dia menyanyikan siapa-siapa saja yang sudah berhasil dibius halusinasi ‘’harta karun’’ karangannya?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BAP: Berita Acara Pemeriksaan; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kadis: Kepala Dinas Jateng: Jawa Tengah; PP: Pamong Praja; Satpol: Satuan Polisi; dan SMS: Short Message.

Sunday, September 27, 2015

‘’Drama’’ Zakaria dan Harta Karun Soekarno

BERKACAMATA hitam, peci merah dipadu safari dengan pin entah apa di dada kanan, orang tua bernama Kakek Zakaria itu berpose di lingkari sejumlah orang yang tak kalah ‘’seramnya’’. Mereka juga mengenakan safari dengan emblem Merah-Putih di dada kanan dan peci hitam ala Soekarno. Agar lebih menggetarkan, magis, dan menegaskan kesan sakral, potret Kakek Zakaria ‘’and the gank’’ ini dilatari bentangan bendera Merah-Putih.  

Situs berita totabuan.co, Minggu, 27 September 2015, menulis, kakek yang bermukim di Desa Inuay, Kecamatan Passi, Bolmong, ini mengaku diamanahi  harta bernilai triliunan rupiah oleh Presiden Pertama RI, Soekarno (http://totabuan.co/2015/09/kakek-70-tahun-mengaku-diamanahkan-harta-oleh-soekarno/). Harta melimpah ini, menurut dia, berbentuk emas batangan, mata uang asing, dan sertifikat obligasi yang disimpan di salah satu bank di Swiss, yang siap dicairkan untuk kemaslahatan bangsa dan negara.

Luar biasa! Andai tidak menggunakan akal sehat, saya segera melompat menuju bandara dan terbang ke Manado lalu bersigegas ke Desa Inuay. Apalagi yang lebih hebat daripada mengetahui, melihat langsung, bahkan—syukur-syukur—dapat bersalaman dengan penjaga harta Soekarno, yang sungguh dibutuhkan di saat Indonesia tengah menghadapi gejala krisis ekonomi seperti saat ini?

Tapi, tunggu dulu, samar-samar saya mengingat pemberitaan beberapa media nasional pada 2012 lalu berkenaan dengan demam ‘’harta karun warisan Soekarno’’. Benar saja, salah satunya adalah situs berita vivanews.co.id yang pada Kamis, 27 Desember 2012, mengunggah Benarkah Ada Harta Soekarno di Bank Swiss? (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/377706-benarkah-ada-harta-soekarno-di-bank-swiss-).

Empat alinea terakhir dari pemberitaan vivanews.co.id itu khusus membahas tentang klaim Zakaria Sukaria Pota yang disebut berasal dari Bolmong, Sulut, yang mengaku diberi kepercayaan menjaga harta warisan Soekarno. Bahkan, disebutkan bahwa dia juga mengaku memiliki hubungan darah dengan Soekarno. Pemberitaan ini juga yang dikutip totabuan.co, yang selang beberapa saat menurunkan berita follow up bertajuk Ternyata Modus Kakek Zakaria Sudah Sejak 2011?

Namun, jauh sebelum vivanews.co.id, MetroTV sudah menayangkan berita tentang Kakek Zakaria, lengkap dengan kepemilikannya terhadap tongkat komando emas Soekarno dan tusuk konde (juga emas) Ibu Fatmawati. Arsip tayangan berita ini kemudian diunggah di youtube.com pada Minggu, 29 Juli 2012, dan masih dapat ditonton kembali di https://www.youtube.com/watch?v=dt4s_zK-0BI.

Di luar dua sumber kredibel itu, pada 2011 kisah dan klaim Zakaria Sukaria Pota sudah bersiliweran, terutama di blog-blog yang doyan mengupas misteri, alam gaib, mistitisme, dan sebangsanya—termasuk UFO. Yang saya perhatikan, hal paling mencolok dari kisah tentang Kakek Zakaria ini bukanlah tentang aneka benda bernilai tinggi yang disebut-sebut sebagai ‘’harta karun warisan Soekarno’’, melainkan usianya. Vivanews.co.id menuliskan usia Kakek Zakaria sudah mencapai 126 tahun (dengan demikian dia semestinya masuk rekor dunia), sedang totabuan.co (yang lebih saya percayai) mencantumkan bahwa yang bersangkutan berusia 70 tahun.

Mengapa saya repot-repot menelisik usia Kakek Zakaria? Pembaca, kebohongan dan tipu-tipu memerlukan kecermatan terhadap detail. Agar tak tertipu, terlebih melibatkan harta yang nilainya melelehkan air liur, sebaiknya kita mulai menguji klaim dan pengakuan dari detail paling sederhana. Dan itu yang akan saya lakukan terhadap pengakuan dan klaim Kakek Zakaria.

Kalau saat ini dia berusia 70 tahun, maka Kakek Zakaria pasti dilahirkan pada 1945, tahun saat negeri ini merdeka. Di manakah dia dilahirkan? Bagaimana ceritanya hingga bersentuhan dengan Soekarno? Seberapa jauh persentuhan mereka hingga Soekarno mempercayai dia melebihi putra-putri kandungnya? Siapakah yang dapat bersaksi dan mengkonfirmasi bahwa kakek Zakaria pernah berada di sekitar Presiden Soekarno, di Istana Negara pula—sebagaimana klaimnya?

Mengingat kekuasaan Soekarno berakhir pada 1966 setelah dia menandatangani Supersemar, tatkala Kakek Zakaria baru berusia 21 tahun, kita mulai melihat ada petanda dusta dari cerita-cerita yang dia sampaikan. Lebih penting lagi, apakah Guntur Soekarno Putra yang kini berusia 71 tahun, yang sepanjang masa kanak hingga remajanya berada terus-menerus berada di sekitar ayahnya, mengenal Kakek Zakaria? Bukankah usia mereka hanya terpaut setahun? Paling tidak, kalau Kakek Zakaria pernah berada di lingkungan Istana Merdeka, maka dia pasti mengenal dan dikenal oleh Guntur.

Pengetahuan dan ingatan Guntur terhadap ayahnya, peristiwa, dan orang-orang yang terlibat di sekitar Soekarno, harus tidak disepelekan. Buku Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku (1977) menjadi bukti bagaimana Guntur mampu merekam banyak hal tentang Soekarno yang jauh dari pengetahuan publik. Tentu kalau Soakarno memiliki tongkat komando emas dan Ibu Fatmawati punya tusuk konde emas yang raib entah kemana, pasti dapat dikonfirmasi oleh putra tertua pasangan ini: Guntur Soekarno Putra.

Hanya dengan sepintas menelusuri kisah Kakek Zakaria, saya berkeyakinan dia sedang beromong-kosong dengan ‘’drama harta karun warisan Soekarno’’. Apalagi, setidaknya dari seluruh informasi yang dapat diverifikasi, klaim benda-benda emas itu tidak pernah dikonfirmasi oleh ahli atau mereka yang memahami logam mulia ini. Siapakah yang pernah melakukan tes—misalnya—terhadap tongkat, tusuk konde, dan batangan yang diklaim sebagai emas murni ‘’warisan Soekarno’’ oleh Kakek Zakaria?

Yang lebih penting lagi, selain keluarga besar sudah berulang kali membantah adanya ‘’harta karun warisan’’ Soekarno, di masa itu hampir mustahil ada tokoh di Indonesia (Presiden sekalipun) yang perekonomiannya tengah megap-megap, mampu mengakumulasi kekayaan luar biasanya banyaknya. Jikapun Soekarno memang berniat menimbun harta yang kelak diwariskan pada negara dan bangsanya, atau bahkan untuk anak-cucunya, dari mana sumbernya?

Dengan memahami sejarah Indonesia, khususnya tentang Soekarno dan perekonomian Indonesia di bawah rezimnya, kewarasan kita semestinya menyimpulkan, pengakuan dan klaim seperti yang disampaikan Kakek Zakaria sebaiknya hanya dimaknai sebagai: cara menipu yang sudah tak cerdas lagi (karena telah digunakan oleh banyak orang dengan modus yang sama) atau tingkah orang gila untuk menarik perhatian sesama pengidap kelainan jiwa.

Lagipula, kalau segala macam benda (emas murni, mata uang asing, dan sertifikat obligasi)  yang diklaim sebagai ‘’harta karun warisan Soekarno’’ itu benar-benar ada di tangan Kakek Zakaria dan negara tidak memperdulikan, sebagai pemegang amanah semestinya dia segera mencairkan dan menggunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Dia akan jadi pahlawan, Bupati Bolmong, mungkin Gubernur Sulut, atau bahkan Menteri, dan siapa tahu malah kandidat Presiden atau Wapres.

Itu sebabnya, agar tak menjadi spekulasi dan berujung penyebab instabilitas, Polres Bolmong harusnya segera turun tangan memeriksa kebenaran pengakuan dan klaim Kakek Zakaria; termasuk menguji otentitas tetek-bengek yang diakui emas murni, mata uang asing, atau sertifikat obligasi yang ada di tangannya. Kalau ternyata pengakuan dan klaimnya benar, polisi akan ikut jadi pahlawan. Sebaliknya, jika cuma tipu-tipu dan kegilaan, Kapolres Bolmoang dan jajarannya sudah melaksanakan tugas menyelamatkan banyak pihak dari potensi tindakan kriminal atau malah berbuat baik mengurusi satu lagi makluk meheng yang memerlukan perawatan di RS Ratumbuysang.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Kapolres: Kepala Resor Kepolisian; Polres: Kepolisian Resor; RI: Republik Indonesia; RS: Rumah Sakit; Sulut: Sulawesi Utara; Supersemar: Surat Perintah 11 Maret; UFO: Unidentified Flying Object; dan Wapres: Wakil Presiden.

‘’Downfall’’, ‘’Komkomci’’, dan Sebagainya

SUBTITLE film Downfall, tulis The Telegraph dalam artikel  Hitler Downfall parodies: 25 worth watching (http://www.telegraph.co.uk/technology/news/6262709/Hitler-Downfall-parodies-25-worth-watching.html), Selasa, 6 Oktober 2009, ‘’… telah menjadi meme paling abadi (jaringan) digital.’’ Meme (biasa dibaca ‘’mim’’) ini pula, dalam versi Pilkada Boltim, yang saya terima Sabtu petang (26 September 2015) dan sungguh (tetap) mengocok perut.

Berasal dari bahasa Yunani, ‘’mimeme’’ (yang berarti ‘’sesuatu yang menyerupai, menirukan’’), kata meme pertama kali diperkenalkan oleh Richard Dawkins melalui bukunya, The Selfish Gene (1976). Di era digital ini, ketika internet nyaris menjadi kebutuhan pokok setengah populasi dunia, kreativitas menemukan tambang ide dan ekspresi baru sekaligus memperluas pengertian meme menjadi ‘’parodi’’.

Seingat saya, di Indonesia khususnya, subtitle Downfall mulai diparodikan ketika mantan Gubernur DKI, Fauzi Bowo, kalah dari pasangan penantangnya, Jokowi-Ahok, pada Pilgub 2012 lalu. Parodinya masih dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=aEjw2nSqXs0.

Pertama kali menonton parodi itu, saya ngakak abis sembari membayangkan wajah petahana Gubernur DKI. Konotasi ini kian kuat karena Fauzi Bowo juga populer dengan kumisnya—sama dengan Hitler yang bahkan menjadi ciri khas dan merk-nya sendiri. Saya membayangkan, andai Fauzi Bowo pernah menonton parodi itu, pasti tohokannya terasa hingga ulu hati.

Potongan adegan yang sama kemudian diparodikan lagi di Pilpres 2014 ketika pasangan Capres Prabowo Subianto-Cawapres Hatta Rajasa berhadapan dengan Jokowi-JK. Jika parodi Pilpres ini ditonton kembali di https://www.youtube.com/watch?v=JxmQ1gHUMl0, kita tahu pasti Capres siapa yang diserupakan dengan Hitler.

Namun, sesungguhnya Downfall (judul aslinya adalah Der Untergang) yang disutradarai Oliver Hirschbiegel adalah film sangat serius. Menceritakan tentang 10 hari terakhir Hitler dengan rezim NAZI-nya pada 1945, film ini melibatkan sejarawan Joachim Fest dan bukunya Inside Hitler’s Bunker: The Last Days of the Third Reich (edisi Inggris, 2004) dan buku Until the Final Hour (edisi Inggris, 2003) yang ditulis salah satu mantan Sekretaris Hitler, Traudl Junge, bersama Melissa Muller.

Tatkala diedarkan, Downfall langsung memicu kontroversi, sekaligus menuai banyak pujian dari para kritikus. Salah satu yang paling disoroti adalah akting Bruno Ganz yang berperan sebagai Hitler. Akting aktor Swiss penerima sederet penghargaan (terutama di Eropa) ini bahkan disebut-sebut sebagai pemeran sempurna Hitler dalam sejarah perfilman.

Untuk saya pribadi, Downfall dan Bruno Ganz cukup membekas di ingatan karena pernah secara khusus didiskusikan bersama beberapa kawan yang kebetulan alumni Jerman. Sebagai penggemar film (tidak hanya Hollywood), tanpa latah mengikuti puja-puji dan sanjungan para kritikus, saya harus bilang film ini, dan khususnya pemeran utamanya, memang layak mendapat penilaian lima jempol.

Walau demikian, sebagai salah satu nominator Best Foreign Language Film di Academi Award 2004, Downfall gagal meraih Oscar. Penghargaan pretisius ini justru diterima The Sea Inside (Mar adentro), film Spanyol yang disutradarai Alejandro Amenabar.

Cukup dengan hal-ihwal Downfall yang memang mengasyikan dibahas dari ujung ke ujungnya. Kita kembali ke parodi subtitle-nya yang mengusung isu Pilkada Boltim. Calon yang dikonotasikan dengan Hitler tak pelak lagi adalah petahana, Bupati Sehan Landjar, yang secara umum digambarkan ‘’sangat terganggu’’ dengan pesaingnya, Sam Sachrul Mamonto. Tak beda dengan Fauzi Bowo dan Prabowo yang diparodikan gerah dengan Jokowi di Pilgub dan Pilpres.

Mereka yang sudah menonton parodi Fauzi Bowo dan Prabowo, setelah menonton versi Eyang, dapat menyimpulkan: ide dasar Downfall Pilkada Boltim diambil dari parodi film ini di Pilpres 2014. Sebagian subtitle yang ditampilkan bahkan terang-terangan hanya melokalkan konteksnya dan menyulih dari bahasa Indonesia ke Melayu Manado.

Tapi penyulihan ke konteks sangat lokal itulah yang justru menjadi kekuatan parodi Downfall ala Boltim. ‘’Semua wartawan bayaran, LSM, Sangadi, deng tim yang diam-diam dukung Smile, kaluar….’’  terasa kontekstual, faktual, dan (pasti) Boltim banget! Saya bahkan bersyak, jangan-jangan kalimat ini tidak sekadar parodi, melainkan sudah menjadi fakta.

Saya memang sempat kehilangan pengertian ketika tiba pada bagian yang menyebutkan ‘’komkomci’’. Apa hubungannya ‘’komkomci’’, kata-kata yang biasanya disertai gerakan tangan di Mongondow untuk merangsang motorik balita, dengan Pilkada Boltim? Setelah mengirim beberapa BBM dan menelepon satu-dua orang, tahulah saya juntrungan ‘’komkomci’’ ini. Sesuatu yang tidak akan saya bahas, namun apa boleh buat, telah menjadi fakta lain yang memperiuh dan mengairahkan Pilkada Boltim 2015.

Dari informasi yang saya terima, ‘’komkomci’’ sudah menjadi isu gawat yang tampaknya harus menjadi perhatian Eyang dan tim yang mendukung sukses keinginannya meneruskan jabatan Bupati di periode kedua. Untuk para pembaca, khususnya warga Boltim yang bahkan sudah punya nyanyian (lengkap dengan gerakan) dan yel-yel ‘’komkomci’’, pelajaran penting dari isu ini adalah: yang cocok untuk balita memang belum tentu tepat untuk yang berusia di atas 50 tahun.

Kelucuan lain yang cukup otentik adalah’’keluhan’’ di antara amarah Hitler tentang SK dukungan dari PAN, yang, ‘’Mahal skali ada bayar itu …!’’ Ini pernyataan jenis dugaan atau fakta? Tetapi karena frasa itu, syak yang lain yang melintas di kepala saya adalah: jangan-jangan parodi Downfall yang men-downgrade Eyang ini adalah produksi oknum di internal tim suksesnya sendiri yang diam-diam ‘’so balipa pa Smile’’. Saya tidak bermaksud memperkeruh situasi, tetapi perkembangan terakhir dinamika Pilkada Boltim kelihatannya jauh dari menguntungkan Eyang.

Kampanye resmi memang belum dimulai. Namun, dengan beredarnya berbagai isu dan produk kreatif, baik yang mendukung atau mengecilkan salah satu dari tiga pasang kandidat yang akan bertarung, kecenderungan para pemilih tampaknya kian kuat mengarah ke Sam Sachrul Mamonto-Medi Lensun. Yang memprihatinkan, Eyang yang didukung barisan partai, ‘’konon’’ pula calon boneka, serta sejumlah ‘’katanya’’ wartawan, LSM, dan aktivis, seperti kehilangan ekspresi dan pendekatan kreatif.

Eyang terlihat hanya mengandalkan modal lama, yang pernah sukses membawa dia ke kursi Bupati: pidato. Padahal, di zaman manusia sebentar lagi siap mengeksplorasi Mars ini, lapangan politik terbuka lebar terhadap aneka kemungkinan ekspresi dan implementasinya. Atau, syak terakhir yang memercik di kepala saya, jangan-jangan seluruh subtitle parodi Downfall versi Boltim benar-benar gambaran nyata yang kini dihadapi Eyang dan timnya?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Ahok: Basuki Tjahaya Purnama; Balita: Bawah Lima Tahun; BBM: BlackBerry Messenger; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Capres: Calon Presiden; Cawapres: Calon Wakil Presiden; DKI: Daerah Khusus Ibukota; JK: Jusuf Kalla; Jokowi: Joko Widodo; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; PAN: Partai Amanat Nasional; Pilgub: Pemilihan Gubernur (dan Wakil Gubernur); Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilpres: Pemilihan Presiden (dan Wakil Presiden); dan SK: Surat Keputusan.

Monday, September 21, 2015

Belajar dari yang Salah, Mencontoh dari yang Keliru

TAUTAN berita LSM dan Wartawan BMR Support Sehan Lanjar dari totabuanews.com (http://totabuanews.com/2015/09/lsm-dan-wartawan-bmr-support-sehan-landjar/) yang saya terima Sabtu, 12 September 2015, sungguh menggelitik saraf tawa. Mohon jangan buru-buru menyimpulkan saya terbahak sebab warta ini isinya melulu puja-puji terhadap Bupati Boltim, Sehan Landjar.

Selama memimpin Boltim, yang masa jabatannya akan berakhir dalam hitungan hari, Eyang memang berprestasi. Tentu dengan tafsir dan persepsi ‘’prestasi’’ yang sangat luas. Begitu luasnya hingga imajinasi kita boleh menggembara, meraba-raba, dan mengarang-ngarang melampaui batas normal dan biasanya.

Saya pribadi, lepas dari segala kekurangan dan kelemahannya, memberikan apresiasi tinggi terhadap Eyang. Dia adalah kawan yang belum pernah terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan, kejengkelan, apalagi kemarahan, sekalipun saya kritik hingga ke batas yang—saya yakin—cukup melecut egonya.

Akan halnya Eyang sebagai Bupati, ada takarang-takaran lebih profesional dan kredibel mengukur kinerjanya. Misalnya IPM, produksi dan keragaman komoditas pertanian (mengingat Boltim masih bertumpuh pada sektor agraris), atau efektivitas dan efisiensi penggunaan APBD. Bagaimana hasilnya? BPS Manado punya angka-angka yang bisa mewakili penilaian kinerja Eyang. Anda yang penasaran boleh mengunduh sendiri dari situs BPS.

Tentang LSM dan Wartawan BMR Support Sehan Lanjar, saya jujur saja, kelucuan pertama memang pada segala sanjungan buat Eyang, yang dasarnya entah dicomot dari mana. Klaim komunitas yang mengaku ‘’wartawan dan LSM BMR’’  (di Korot) ini, bahwa Eyang membawa perubahan dan prestasi di Boltim, buat saya adalah lelucon yang agak keterlaluan dan basi. Bagaimana kalau sebutkan tiga saja jenis perubahan dan prestasinya, lalu kita uji dengan indikator-indikator yang sahih agar ketahuan klaim itu bukan sekadar bual-bual yang menyertai seruputan kopi di Korot.

Namun, komedi yang sesungguhnya dari berita yang semestinya tidak penting-penting amat itu berkaitan dengan ‘’wartawan’’ dan LSM’’. Wartawan adalah profesi yang terikat dengan kode etik dan tata aturannya sendiri. Saya tidak tahu apakah ‘’komunitas wartawan BMR’’ (di Korot) sesekali masih membuka-buka kembali kode etik dan panduan dasar jurnalistik atau lebih masyuk bergosip. Yang jelas, pernyataan dukungan terhadap Eyang adalah ekspresi murahan yang membuat orang banyak pantas mempertanyakan integritas dan kredibilitas profesional mereka.

Wartawan memang bukanlah profesi yang sepenuhnya independen dan sebagai individu tidak berhak memihak, seolah-olah mereka tidak punya mata, telinga, dan hati. Barangkali pembaca blog ini akan bosan kalau saya kembali mengingatkan batasan yang diformulasi Tom Resenstiel dan Bill Kovach dalam The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (2001), betapa pentingnya  para jurnalis profesional ‘’independen terhadap sumber beritanya’’.

Mustahaknya independensi itu dipertegas American Press Institute (http://www.americanpressinstitute.org/journalism-essentials/what-is-journalism/elements-journalism/),  bahwa dengan demikian profesi ini memiliki ‘’harga diri, integritas, dan kredibilitas’’. Lagipula, berita dan artikel macam apa yang mampu diproduksi wartawan yang dependen terhadap sumber beritanya, kecuali puja-puji, kepentingan satu orang (atau kelompok), dan yang terburuk hanya demi keuntungan pribadinya sendiri.

Sehan Landjar, baik dalam posisi Bupati petahana maupun Cabup 2016-2021 adalah sumber berita untuk para jurnalis, tak hanya di Boltim tetapi BMR—bahkan Sulut—umumnya. Pernyataan ‘’komunitas wartawan BMR’’ (di Korot) adalah penggadaian independensi profesinya. Dan dalam posisi tergadai, apa boleh buat, profesi yang dianggap sebagai ‘’pilar keempat negara—dan demokrasi—’’ (selain yudikatif, eksekutif, dan legislatif) ini turun derajat tak lebih tinggi dari ‘’SERIUS Fans Club’’ .

Dan LSM yang diklaim turut serta dalam ketoprak dukungan itu, dengan mengutip ‘’tokohnya’’, Sehan Ambaru, benar-benar slapstick rendahan. Apa makna ‘’LSM’’ yang dimaksud oleh para pengklaim ini? Saya kuatir—juga yakin—bahwa mereka yang mengaku-ngaku LSM dalam isu dukung-mendukung ini sejatinya tidak paham ini jenis organisasi apa, sejarah dan milestone-nya, didirikan untuk apa, dengan keanggotaan macam apa?

Saya juga memperhatikan, beberapa tahun belakangan, LSM adalah wadah yang  dimanipulasi seolah-olah profesi. Menyebut seseorang atau sekelompok orang sebagai ‘’LSM’’ bisa menjadi mantra sakti yang menakutkan siapa saja, terutama mereka yang diduga bersalah, punya skandal, atau sedang bermasalah. Hebatnya lagi, hanya dengan dua-tiga orang berkumpul, tanpa dokumen dan pemenuhan legalitas lainnya, mereka yang mengklaim LSM sudah merasa sah beroperasi.

Negeri ini memang sedang pikuk. Begitu pikuknya hingga kita, orang banyak yang susah-payah berusaha menjaga kewarasan, kerap terheran-heran mendengar dan menyaksikan lalu-lalang kesemau-mauan sejumlah pemuja diri sendiri yang doyan mencari-cari panggung. Bahkan sekalipun panggung itu tidak pada tempatnya.

Tatkala membaca kutipan Sehan Ambaru yang mengaku salah satu pimpinan LSM, terbetik keinginan mengontak dia—apalagi selama ini sesekali kami saling berkomunikasi lewat BBM. Namun niat ini kemudian saya urungkan. Apapun alasannya, pernyataan Sehan Ambaru yang ‘’pimpinan LSM’’ sudah berada di area publik. Tidak salah jika koreksi terhadap tabiat ‘’tunjung jagonya’’ juga dilakukan dengan cara yang sama.

Rekam jejak Sehan Ambaru memang menunjukkan dia gemar melibatkan diri dalam politik; atau lebih tepat politicking—yang salah satu pengertiannya adalah ‘activity undertaken for political reasons or ends’’. Saya tidak perlu membeber contoh-contoh politicking Sehan Ambaru. Yang jelas, sebagai ASN (PNS), tabiat yang dia praktekkan jelas jauh dari etis, bahkan melanggar UU No. 5 Tahun 2014. Kalau kemudian berkilah bahwa pernyataan itu mewakili posisinya sebagai pribadi, karena ‘’LSM’’, cuma menambah daftar kepandiran sia-sia dan menunjukkan: dia tak paham apa itu LSM dan asal mangap saja.

Birokrat adalah profesi yang melekat 24 jam, tujuh hari dalam seminggu, dan 365 hari dalam setahun. Anda tidak bisa menjalani profesi ini hanya dari pukul 08.00 hingga 17.00, setelah itu alih profesi menjadi politikus. Apa jadinya jika dokter hanya menjadi dokter di siang hari, guru hanya menjadi guru di sekolah, dan ustadz hanya menjadi ustadz di mesjid?

Atau barangkali Sehan Ambaru tidak mengerti arti kata ‘’support’’—yang dikutip dalam pernyataannya? Bila demikian, sebelum buka mulut, ada baiknya simak kamus atau lebih baik gunakan bahasa Indonesia. Demam ber-Inggris supaya tampak berpendidikan dan modern cuma bikin malu kalau salah tempat, salah maksud, dan salah semua.

Semestinya pernyataan dukungan yang dikutip totabuanews.com itu cukup menjadi alasan Panwaslu dan BKD memeriksa Sehan Ambaru. ASN yang berpolitik praktis sebaiknya tidak boleh berada di lingkungan birokrasi. Lebih terhormat menanggalkan profesinya sebagai birokrat dan masuk Parpol, lalu buktikan bahwa klaim-klaim seolah-olah menjadi wakil publik benar adanya.

Namun, puncak dari seluruh kelucuan berita yang diunggah totabuanews.com adalah: narsisme komunitas yang mengaku wartawan dan LSM BMR (di Korot) itu sudah berada di tahap tidak tahu diri dan sakit jiwa. Memangnya kalau kemudian mereka mendukung Eyang, siapa yang akan mendengar? Lebih penting lagi, siapa-siapa di antara anggota komunitas itu yang punya hak pilih di Boltim?

Mengail di kolam politik boleh-boleh saja. Tapi tidak dengan membawa ikan dari pasar yang dikaitkan ke mata pancing, lalu diceburkan ke kolam, dan bergaya seolah-olah pemancing handal. Tipu-tipu macam ini pada akhirnya cuma sungguh-sungguh merusak profesi (wartawan), institusi (LSM dan birokrasi), dan menciderai esensi politik yang sebenarnya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; ASN: Aparatur Sipil Negara; BBM: BlackBerry Messenger; BKD: Badan Kepegawaian Daerah; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; BMR: Bolaang Mongondow Raya; IPM: Indeks Pembangunan Manusia; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilu; PNS: Pegawai Negeri Sipil; SERIUS: Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit; dan Sulut: Sulawesi Utara.