Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, September 29, 2015

Serakah? Selamat! Anda Tertipu


MUNDUR ke 2009. Sumber informasi saya mengisahkan, saat itu Zakaria Sukaria Pota (setidaknya ini nama ‘’waras’’ yang diakuinya) bermukim di Poyowa Kecil. Sebagaimana warga Mongondow kebanyakan, kesehariannya dia menekuni pertanian sebagai pekerjaan utama.

Namun, yang istimewa, menurut klaim yang dia sampaikan dengan sangat menyakinkan—setidaknya untuk para penggemar dongeng mistis--, Zakaria mengetahui dan mampu membuka empat brankas berisi harta bernilai tinggi yang tersimpan di Bolmong. Tak jelas benar di mana brankas itu berada. Yang pasti, gudang harta ini dijaga aneka mahluk gaib yang hanya dia seorang yang mampu menangani.

Demi kepentingan membuka brankas hebatnya, Zakaria berkehendak bertemu dengan Bupati (saat itu) Marlina Moha-Siahaan. Entah apa pula kaitan antara brankas maha penting itu dengan Bupati. Memangnya dengan bertemu Bupati, lalu Satpol PP dikerahkan, lalu ‘’alakazam’’, brankas keluar, aneka mahluk penjaganya diringkus,dan harta melimpah tersaji di depan mata?

Sejauh yang diketahui empunya informasi, Bupati Marliha Moha-Siahaan tidak pernah bertemu dengan Zakaria. Entah karena Bupati tidak percaya dengan dongeng pengantar tidur untuk anak TK itu, atau sebab lain, yang jelas dia lolos dari kemungkinan masuk daftar korban mimpi dan halusinasi milioner mendadak tanpa meneteskan keringat.

Dari 2009 kita bergeser ke 2011. Harta karun yang diketahui Zakaria sudah berkembang dan konon tertanam di wilayah Inuay. Maka berpindahlah latar kisah perburuan kekayaan ini ke Inuay, lengkap dengan segala ritual dan upacara, serta—tentu saja—penggalian. Saksi mata, seorang wartawan yang ketika itu turun meliput menuturkan, kerja menggaruk lobang menguak harta karun yang dipimpin Zakaria bahkan dijaga aparat berwenang.

Hasilnya, setelah seminggu memacul dan menyekop, harta karun yang berhasil diangkat adalah gunungan tanah, batu, dan gerombolan cacing yang terkan sial karena ‘’rumah’’ mereka diobrak-abrik. Zakaria beralasan, harta yang seharusnya didapat tak dituai karena pewarisnya belum mengizinkan.

Pepesan yang ternyata kosong itu terdiam cukup lama dan keluar lagi pada 2013. Di periode ini kalangan media dan wartawan tampaknya meluputkan peristiwanya. Hanya ada cerita yang samar-samar yang saya dapatkan. Yang pasti, hasilnya seperti pada 2011: tumpukan tanah, batu, dan—sekali lagi—segerombolan cacing yang kehidupan damainya terusik. Serta, tentu saja, daftar yang kian panjang dari para ‘’investor’’ yang mimpi kaya mendadak.

Sekali lagi, kisah Zakaria dan harta karunnya menyurut, lalu mendadak terdengar kembali menjelang penghujung 2015 ini dengan bumbu yang kian sedap. Ada harta warisan Soekarno (katanya tongkat komando emas, batangan emas, obligasi, serta tusuk konde emas Ibu Fatmawati), peninggalan Jepang, dan yang terbaru—yang pagi ini infonya tiba di kuping saya—juga harta karun Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Ternyata pula—setidaknya demikian yang diinformasikan, yang tidak repot-repot saya verifikasi—gegar harta karun Zakaria versi 2015 ini juga sedang diwarnai proses penggalian di Inuay. Mengutip seorang saksi mata, yang jadi sumber info menuturkan, wakil pemerintah desa bahkan memberikan sambutan sebelum penggalian dilakukan.

Di usia menjelang setengah abad, sepanjang pengetahuan saya, kegilaan (di luar histeria) sama tidaklah menular. Tapi Mongondow memang suka punya kasus-kasus aneh dan istimewa, terbukti dari wabah ‘’gila harta karun’’ Zakaria yang ternyata menular ke banyak orang, mulai dari masyarakat biasa, wartawan, pengusaha lokal, hingga sejumlah pejabat setingkat Kadis. Tanpa dicari-cari, daftar mereka yang diduga dan terduga sebagai ‘’investor’’ perburuan harta karun yang diklaim dan diakui Zakaria, tiba begitu saja di BBM dan komputer saya.

Sekali lagi saya tercengang-cengang. Jika benar orang-orang pintar, bersekolah tinggi, bahkan punya jabatan dan pengaruh publik itu turut terbius omong kosong harta karun ala Zakaria, sungguh menyedihkan tingkat kewarasan mereka. Kalau itu harta karun warisan Soekarno, jawaban sudah jelas: semua pihak, termasuk keluarga besar Soekarno, sudah memastikan itu klaim dan pengakuan ngawur tingkat dewa. Jika harta karun Jepang, sama halusinatifnya dengan mengatakan ditemukan gajah asli di hutan Mongondow. Dan apabila yang diklaim harta Jenderal Soedirman, tak beda dengan dengan mempercayai bahwa dulu ada jembatan yang menghubungkan Jateng dan Inobonto.

Setelah membaca ‘’Drama’’ Zakarian dan harta Karun Soekarno (Minggu, 27 September 2015), seorang rekan jurnalis mengontak saya dan mengatakan, ‘’Jangan-jangan mereka yang percaya dan yakin itu karena terkena hipnotis?’’ Dugaan ini ada benarnya sekaligus membuat saya tersedak. Hipnotis apa? Satu-satunya yang menghipnotis mereka hingga mengabaikan akal sehatnya adalah keserakahan.

Keserakahan, kata para ahli (termasuk ahli agama), sudah menjadi salah satu sifat dasar dan naluri manusia. Demikian pula dengan kemalasan. Tatkala keserakahan bertemu dengan kemalasan, ditambah jampi-jampi mimpi dan janji kaya mendadak, mudah meruntuhkan kepala yang kurang pikir dan berlangit pendek, sekalipun pemiliknya berpendidikan tinggi, tokoh yang punya pengaruh, bahkan pada dasarnya telah berharta cukup.

Saya berkeyakinan, sifat dasar dan naluri itulah yang dimanfaatkan oleh Zakaria—yang belum tentu punya pendidikan formal memadai—menarik minat dan menjerumuskan orang-orang yang disebut ‘’investor pencarian harta karun’’ itu. Yang memprihatinkan, walau berkali-kali hanya memanen angin dan janji, sejumlah orang—termasuk seorang pengusaha yang kini termehek-mehek membebek Zakaria—tak kapok juga. Seperti pemakan sambel yang berulang kali sakit perut dan disergap maag, tetapi tetap kembali memamah cabe karena sensasi pedasnya.

Kisah Zakaria ini, sejatinya tak beda dengan kasus-kasus dukun cabul. Ribuan kisah bagaimana dukun cabul memperdaya wanita yang ingin cantik, dapat jodoh, disayang pacar (atau simpanannya), dijawab dengan metode dan alasan klasik: ada dedemit brengsek yang bersarang di tubuh si wanita, dan karena harus dikeluarkan. Pembaca, ujung kisah dukun cabul selalu mirip: yang keluar bukanlah hantu atau setan jahanam dari tubuh pasien wanita, tetapi tuyul dari balik sarung atau celana dalam sang dukun.

Toh, selalu ada yang tertipu. Sebagaimana masih ada saja yang terkecoh SMS ‘’Mama minta pulsa’’ dan ‘’Anda terpilih menerima hadiah’’. Korban dua jenis penipuan ini, sekadar Rp 100-200 ribu hingga Rp 20 jutaan (dengan kilah biaya administrasi dan pajak), masih bisa menghibur diri dengan mengusap dada. Bagaimana dengan korban dukun cabul dan tuyul dari balik sarung atau celana dalamnya? Pula iming-iming harta karun hingga menelantarkan usahanya atau bahkan merogoh uang kantor demi investasi memburu kekayaan fiktif yang dijanjikan itu?

Dan sebagaimana biasa, polisi pasti akan sangat lambat bertindak. Di kasus Zakaria Sukaria Pota, aparat berwenang konon pura-pura tidak tahu (atau barangkali beralasan belum menerima laporan masyarakat), karena beberapa petingginya di Bolmong juga pernah terlibat ‘’berinvestasi’’. Bukankah cukup menampar wajah ketika Zakaria di BAP dan dia menyanyikan siapa-siapa saja yang sudah berhasil dibius halusinasi ‘’harta karun’’ karangannya?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BAP: Berita Acara Pemeriksaan; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kadis: Kepala Dinas Jateng: Jawa Tengah; PP: Pamong Praja; Satpol: Satuan Polisi; dan SMS: Short Message.