SENIN selepas magrib, 1 Januari 2018, saya menemani anak-anak yang ingin
menonton The Greatest Showman di
Premier XXI Mantos. Di bioskop, karena cukup lama menunggu pertunjukan dimulai,
kami sekeluarga akhirnya reriungan di lounge.
Meja yang kami tempati berada di tengah, di
apit dua meja depan-belakang di sisi jendela dengan pemandangan Teluk Manado
dan julangan Manado Tua di kejauhan. Makan dan minuman dipesan dan segera
anak-anak tenggelam dengan gadget
mereka. Kids zaman now memang bukang
gampang, kendati di sekitar suara percakapan berdentang-dentang, terutama
dari meja yang tepat berbelakangan dengan anak bungsu saya.
Samar-samar (lagipula untuk apa menguping)
saya mendengar enam orang yang menyesaki satu meja itu mempercakapkan sesuatu
dengan menyebut-nyebut ‘’Bupati Bolmong’’, ‘’Walikota KK’’, dan ‘’Bupati
Boltim’’, lengkap dengan nama depan mereka (Yasti, Tatong, dan Sehan—tanpa
didahului ‘’Ibu’’ atau ‘’Bapak’’). Kendati cukup kenal dengan ketiga tokoh
publik di BMR itu, saya tak ambil pusing dengan apapun yang terdengar di area
publik. Menguping pembicaraan orang, buat saya, tak beda dengan mencopet dompet
di angkutan umum.
Tapi, rupanya anak bungsu saya, yang
kelihatannya asyik memainkan telepon selularnya, mendengar jelas apa yang
dipercakapkan (apalagi dia hanya dipisahkan oleh sandaran kursi dengan majelis
yang tengah bercakap). Sebab, setelah beberapa jenak, sambil cengegesan dia
mengatakan (dengan menggunakan bahasa Inggris), ‘’Mereka mempercakapkan proyek
yang katanya sudah dibicarakan dengan Tante Yasti dan Tante Tatong disaksikan
oleh Om Sehan.’’
Apa yang disampaikan anak bungsu saya itu,
membuat saya melotot dan mengingatkan dia, bahwa menguping percakapan orang
bukan hanya tidak sopan, tetapi sesuatu yang tercela. Tapi dia kemudian
mendebat, bahwa orang yang menyampaikan pernyataan itu bicara dengan volume
tinggi. ‘’Sekalipun saya tidak ingin menguping, tetap saja terdengar jelas.’’
Anak bungsu saya, yang masih duduk di
bangku SMA, barangkali hanya bocah umumnya yang tak ambil pusing dengan
politik, kekuasaan, apalagi proyek-proyekan. Namun, mendengarkan (dengan tanpa
sengaja) percakapan enam orang yang riuh-reda itu, tak urung dia terkekeh dan
menyimpulkan, ‘’Orang yang menyatakan sudah bicara dengan Bupati Bolmong,
Walikota KK, dan Bupati Boltim soal proyek itu, pasti cuma membual.’’
Menurut dia, yang memang kerap saya ajak
sejak masih duduk di bangku SD bertemu tokoh-tokoh seperti Bupati Yasti,
Walikota Tatong, atau Bupati Sehan Lanjar, omongan yang didengar itu tak lebih
dari jual kecap ala calo pada bohir
yang gampang diakali. ‘’Memangnya Tante Yasti, Tante Tatong, dan Om Eyang
segampang itu dijual-jual? ’’ Begitu simpulannya.
Saya, setelah mencermati sosok dan wajah
orang-orang itu, juga berakhir pada simpulan yang sama. Saya tak berani
mengklaim sangat dekat dengan tiga elit BMR itu. Tapi saya kira tidak
mengada-ada bila saya mengaku cukup tahu ketiganya dan lingkaran pergaulannya.
Dalam hubungan intensif dengan Bupati Boltim, setidaknya dalam enam-tujuh tahun
terakhir; serta Bupati Yasti dan Walikota Tatong yang telah berwindu-windu;
sejujurnya saya belum pernah melihat enam orang itu di sekitar mereka.
Maka yang paling masuk akal: orang yang tervokal
hari itu tak lain hanya pembual; calo kebablasan; atau sekadar orang yang kenal
Bupati Yasti, Walikota Tatong, dan Bupati Sehan, lalu coba-coba memanfaatkan
nama mereka untuk sesuatu keuntungan. Orang-orang sejenis ini, di isu dan kasus
berbeda, mudah ditemui di sekitar elit politik yang memegang kekuasaan (politik
dan eksekutif).
Di lain pihak, kalaupun benar orang
tersebut sudah melakukan pertemuan
dengan Bupati Yasti dan Walikota Tatong, disaksikan oleh Bupati Sehan, untuk
urusan ‘’membereskan proyek’’, mempercakapkan di tempat umum dengan suara keras
adalah sikap haram jadah. Dia terang-terangan mengumumkan betapa gampang tiga
elit BMR itu diatur-atur, tak lebih dari boneka yang mudah ditertawai di
belakang punggung mereka. Bualan, fiksi atau fakta, sungguh virus berbahaya.
Selain urusan proyek yang didanai APBD,
yang memang berada di bawah kewenangan Bupati/Walikota, para ‘’pembual
pengaku-ngaku’’ itu biasanya sangat aktif beroperasi ketika ada rencana
perubahan dan mutasi jabatan. Saya pribadi punya pengalaman beberapa waktu
terakhir tatkala isu mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Bolmong menjadi wacana
hangat. Tiba-tiba telepon saya rajin dihubungi oleh mereka yang bahkan bukan
ASN, menyampaikan basa-basi penuh puja-puji, mengangkat-angkat bahwa saya dekat
dengan Bupati Yasti, lalu menitipkan nama yang pantas menjabat di posisi-posisi
penting.
Waduh! Ini saatnya bagi saya
mengklarifikasi banyak duga-duga, bisik-bisik, dan bualan. Pertama, saya pribadi (dan keluarga) diterima baik di lingkungan
Bupati Yasti dan keluarga besarnya. Namun sebatas itu. Tidak lebih dan tidak
kurang, terlebih dalam soal politik, wewenang, tanggung jawab, dan kebijakannya
sebagai Bupati. Tidaklah mungkin saya, yang bukan staf khusus dan sejenisnya;
aktivis partai; apalagi penasihat, melanggar kepatutan dengan mencampuri ketatalaksanaan
birokrasi yang ingin dia (dan jajarannya) tegakkan di Bolmong.
Kedua, hubungan pribadi dengan Bupati Yasti—demikian juga dengan elit
lainnya--yang sudah terjalin bertahun-tahun adalah pertemanan yang saling
respek dan menghargai. Kami tahu persis ‘’mana urusan di laut, mana urusan di
darat’’, yang keduanya tak boleh dicampur aduk. Dalam hubungan pribadi yang
‘’tahu diri’’ dan ‘’tahu tempat’’ ini, jika ada diskusi, percakapan, atau tukar
pikiran di antara kami, sebatas hal-hal yang bersifat normatif.
Dan ketiga,
saya sangat menghormati para elit dan pemimpin di BMR. Rasa hormat itu saya
ekspresikan dengan sedapat mungkin mendudukkan mereka di posisi sebagaimana
mestinya. Dugaan, bisik-bisikan, dan bualan bahwa orang biasa seperti saya
mampu mempengaruhi Bupati Yasti, Walikota Tatong, Bupati Sehan, Bupati Herson
Mayulu (Bolsel), apalagi Bupati Depri Pontoh (Bolmut), jelas menghina kewarasan
mereka dan akal sehat saya. Memangnya mereka sebegitu bodoh dan naïfnya hingga
kebijakan dan putusannya gampang saja dipengaruhi?
Jadi, wahai orang-orang yang berakal sehat,
berhentilah percaya pada para pembual yang ujung-ujungnya cuma mempraktekkan
modus penipuan. Lihatlah mutasi yang dilaksanakan oleh Bupati Yasti, Jumat, 5
Januari 2018, lalu, dan nilai sendiri: adakah di antara perubahan—promosi dan
degradasi—yang dia lakukan dapat diindikasi terpengaruh oleh pihak di luar
mereka yang memang berwenang dan bertanggung jawab? Menurut hemat saya, sejauh
ini (terlebih karena perubahan kabinet Yasti Soepredjo Mokoagow-Yanny Tuuk
ditransparansi jauh-jauh hari) yang tampak dan dipraktekkan adalah pendekatan
meritokrasi yang mengedepankan profesionalisme birokrasi dan kompetensi ASN.
Bahkan, bila dicermati lebih jauh, Bupati
Yasti dan jajarannya melakukan terobosan dibanding daerah lain di BMR. Sebelum
mutasi dilaksanakan, Bupati menginstruksi agar kendis ditarik dari seluruh ASN.
Hasilnya, setelah mutasi tidak ada isu kendis yang susah payah—hingga
bertahun-tahun—dialihkan karena ditahan dan enggan dikembalikan oleh birokrat
yang sebenarnya tak berhak lagi karena pindah jabatan (struktural).
Pengalaman mutasi jabatan di Pemkab Bolmong
itu dan ‘’kupingan tanpa sengaja’’ bualan di lounge Premiere XXI Mantos mengkongklusi: suka atau tidak, di
sekitar kita memang banyak pembual yang doyan menjual-jual kedekatan dengan
para elit politik dan pemerintahan. Percayalah, motif mereka hanya satu:
penipuan demi keuntungan pribadi.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang
Mongondow Utara; Boltim: Bolaang
Mongondow Timur; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Kendis: Kendaraan Dinas; KK:
Kota Kotamobagu; dan SMA: Sekolah
Menengah Atas.