Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, June 30, 2018

Pak (dan Bu) Tua, Sudahlah….

SEJAK mula Pilwako KK 2018 adalah kompetisi antar generasi. Antara guru dan murid. Dalam artian sesungguhnya.

Tak banyak yang mungkin awas. Tapi coba perhatikan, Walikota petahana yang terpilih kembali di Pilwako Rabu, 27 Juni 2018, Tatong Bara, dan pesaingnya, Jainuddin Damopolii, persis adalah murid dan guru. Ketika Tatong masih menempuh pendidikan SMA, seingat saya Jainuddin sudah sukses sebagai Bapak Guru. Di saat Tatong baru berkenalan dengan parpol dan politik praktis, Jainuddin telah melambung sebagai ketua parpol dan politikus lokal (skala Bomong) yang diperhitungkan.

Calon Wawali pasangan Tatong, Nayodo Kurniawan, adalah generasi yang lebih muda lagi. Dibanding Suharjo Makalalag yang jadi tandem Jainuddin, dia persis adalah anak murid. Seingat saya, di awal kepulangannya dari luar negeri (tanpa menyelesaikan studi doktornya) dan berkarir di Pemkab Bolmong (induk), adik-adik di generasi Nayodo masih menyebut Suharjo sebagai ‘’Pak Guru Ajo’’. 

Peririsan kesamaan antara Nayodo dan Suharjo adalah, keduanya cukup berminat terhadap ‘’politik’’. Nayodo bermain di tingkat ‘’politik praktis tinggi’’ dengan jadi aktivis LSM, lalu penyelenggara ‘’pertandingan politik’’ sebagai komisioner KPU; Seharjo lewat tendensi jabatan eksekutif politik dengan meniupkan keinginan jadi calon bupati/cabup, yang kesampaian tatkala digandeng sebagai calon Wawali KK 2018-2023 oleh Jainuddin.

Di belakang dua pasang kandidat itu, tokoh-tokoh utama yang jadi ‘’dalang’’ dan penggerak mesin dukungan, bahkan lebih kontras lagi. Tim pemenangan TB-NK dipimpin oleh Ketua Nasdem KK, Sarif Mokodongan, yang suka atau tidak lebih tepat disebut ‘’cucu politik’’ dibanding Syachrial Damopolii sebagai komandan tim di belakang Jadi-Jo. 

Saya masih menyaksikan bagaimana Sarif dan adik-adik seangkatannya belajar memahami apa itu politik di awal masuk PT, sembari terkagum-kagum pada Ketua DPRD Sulut, Syachrial Damopolii, yang di waktu itu dianggap (bersama Djelantik Mokodompit) sebagai politikus kelas kakap. Di era itu, mengagumi Syachrial yang berpolitik dengan liat—juga nakal dan sesekali konyol, yang akhirnya membawa dia masuk bui akibat kasus MBH—, adalah keniscayaan. 

Diakui atau tidak, di zaman kejayaannya, Syachrial pernah memercikkan rasa bangga buat orang Mongondow, setiap kali membicarakan peta politik Sulut. Mendapat basa-basi ‘’ini kader saya’’ dari Syachrial, misalnya, sudah membuat anak bawang politik asal Mongondow merasa tak beda dengan cintanya disambut oleh artis sinetron favorit yang setengah mampus digila-gilai.

Hanya kurang dari 15 tahun setelah masa gemilang Syachrial dan generasinya, di Pilwako KK (dan sesungguhnya juga Pilkada Bolmong 2017 lalu) anak murid dan cucu politik para tetua yang tampaknya belum puas bersilat siasat itu, mengingatkan para pendahulunya terhadap kebajikan lama: setiap era punya tokohnya sendiri, setiap tokoh punya eranya sendiri. Politik Mongondow, khususnya KK, telah berubah radikal. Pengalaman, ilmu, dan praktek politik tua yang dahulu ampuh mengatraksi konstituen, kian tak laku di era digital ini—yang bahkan mesti terseok-seok dikejar sekalipun oleh mereka yang sangat melek ilmu pengetahuan dan teknologi.

Politik, buat generasi Syachrial dan Jainuddin—yang tentu saya kenal sangat baik—, lebih dimaknai dan dipraktekkan sebagai seni. Ilmunya diramu dari temuan dan pengalaman, entah di PG, PAN, Puskud, atau Muhammadiyah. Di lain pihak, generasi politikus Mongondow yang lebih baru, sekalipun politik tetap sebagai seni, dilakukan lebih terstruktur dan ‘’scientific’’. Sarif Mokodongan misalnya, belajar berorganisasi dari KPMIBM, naik ke Institut Bakid in Totabuan, lalu parpol. Atau Ismail Dahab yang menjadi tandem Sarif di tim TB-NK, adalah aktivis PMII sejak duduk di bangku PT dan bahkan tercatat sebagai salah satu biang eksponen 98 dari Sulut.

Generasi Sarif dan Ismail adalah juga orang-orang muda yang masak mendiskusikan (dan mempraktekkan) politik dengan rujukan yang lebih text book

Saya tidak bermaksud menyatakan politikus dari zaman Syachrial dan Jainuddin tidak mengakrabi literatur. Tapi faktanya, jika mendadak berada di tengah salah satu pertemuan politik dari dua generasi ini, mudah membedakan kita berada di era yang mana: yang berpolitik praktis dengan konvensional; atau yang lebih segar dan advantage.

Politik praktis dari era lama yang mudah diduga dan—maaf saja—telah dengan saksama dipelajari oleh generasi yang lebih baru, membuat langkah-langkah para politikus akidan ba’ai itu mudah diduga. Lihat saja bagaimana pencalonan Jadi-Jo diwarnai janji-janji tidak masuk akal, manipulasi KTP (sebagai calon independen mereka memang harus mengumpulkan dukungan disertai KTP), tekanan massa, kampanye brutal, pawai, dan bahkan intimidasi terang-terangan. Semuanya adalah gaya lama yang kian kehilangan pelanggan di pasar politik yang lebih terbuka dan cerdas.

Contohnya, siapa lagi yang mau membeli model serang-menyerang di media sosial yang dipraktekkan tim dan pendukung Jadi-Jo, kecuali sekelompok orang kurang kerjaan yang sehari-hari hanya menongkrongi gadget? Terlebih materi yang disemburkan ke publik--maaf saja--sungguh kampungan, cenderung hoax, kekanak-kanakan, dan terang menunjukkan kreatornya berotak udang. Contoh model dukungan terhadap Jadi-Jo yang bikin publik muak dan kepingin muntah adalah yang biasa disiar dan disebarkan oleh Denny Mokodompit (sayangnya, walau menyebalkan, dia adalah karib dan saudara yang tetap saya hormati di luar urusan politik praktis ala anak TK-nya).

Siapa pula yang bakal bersimpati bila hasil perhitungan, baik quick countmaupun real count,menunjukkan TB-NK unggul hampir 10% dari Jadi-Jo; lalu pendukung Jadi-Jo masih pawai keliling kota berilusi mereka adalah pemenang? Kalau ada derajat celaan yang lebih tinggi dari dungu, saya benar-benar ini menggunakan kata itu untuk situasi yang terjadi sekitar pukul 23.00 Wita, Rabu, 27 Juni 2018, hingga pukul 02.00 Wita, Kamis, 28 Juni 2018, di KK.

Hanya politikus yang tutup-mata-telingga mendekap masa lalu dan dungu yang tidak membuka pikiran, bahwa politik praktis modern harus benar-benar direncanakan, dikelola, dan akhirnya diukur dengan indikator-indikator yang rigit. Tidakkah Syachrial dan Jainuddin yang sudah makan asam garam politik menyadari, bahwa pilihan terhadap Syarif Mokodongan sebagai ketua tim TB-NK bukanlah kebetulan atau dicomot begitu saja dari pagar Balai Kota. Atau perjudian bodoh sekadar coba-coba siapa tahu beruntung.

Menempatkan Sarif dan timnya (yang 100% anak muda, berusia muda) melawan Syachrial dan timnya (konon tak lain para pendekar politik tak hanya KK tapi BMR), sesungguhnya membawa pesan amat penting: Melawan anak murid dan cucu politik saja kalian yang tua-tua sudah kewalahan, apalagi dengan generasi yang sedikit di atas mereka.

Itu sebabnya, saya tersinggung ketika ada yang menelepon dan mengirim WA mengucapkan selamat ke saya atas terpilihnya TB-NK. Ada apa ini? Apakah itu artinya menuduh saya sebagai master mind  di balik sukses TB-NK dan timnya? Atau niat terang-terangan mengecilkan kerja keras Sarif Mokodongan, Ismail Dahab, dan sangat banyak nama lain yang beberapa bulan terakhir menggerakkan orang banyak agar bersedia mempercayai TB-NK memimpin KK lima tahun mendatang?

Sekadar saya duduk diskusi sembari melahap tude bakar bersama Sarif, Ismail, dan timnya, lalu dianggap sebagai pengarahan ide, strategi, dan petunjuk teknis memenangkan TB-NK, pasti keluar dari kepala konspiratif yang dicemari cacingan. 

Jikapun ada yang lebih dari pantas mendapat ucapan di luar TB-NK dan timnya, saya pastikan apresiasi itu mesti dilimpahkan pada Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo-Mokoagow. Dialah yang sehari-hari, di luar TB-NK, yang sungguh-sungguh mendukung dan menyemangati tim yang dipimpin Sarif. Dan, dengan keyakinan penuh saya bisa menyatakan, Yasti melakukan itu dengan kesadaran: politik adalah transformasi sehat dari generasi ke generasi yang disiapkan dengan cara yang sepenuhnya saling asah-asih-asuh.

Kalau generasi tua politik Mongondow silap lupa terhadap asah-asih-asuh ini, tak usah heran bila hari ini dan di masa datang mereka tak bakal ‘’greeng’’ berkompetisi melawan kaum politikus muda dari generasi yang lebih baru. Dan karena tak greeng lagi, sudahlah. Pak (dan Bu) Tua, istirahat saja. Berkebun, main dengan cucu, atau i’tikaf di mesjid adalah aktivitas yang lebih maslahat ketimbang menguncang publik dengan ilusi dan dusta memalukan. 

Memangnya tidak memalukan meng-encourage massa beriaan (dengan pawai dan konvoi pula) seolah-olah jadi pemenang, padahal nyatanya kekalahan baru saja menggodam kepala?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BMR:Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:Bolaang Mongondow; Cabup:Calon Bupati; Cawabup:Calon Wakil Bupati;DPRD:Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Jadi-Jo:Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag; KK:Kota Kotamobagu; KPMIBM:Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow; KPU:Komisi Pemilihan Umum; KTP:Kartu Tanda Penduduk; LSM:Lembaga Swadaya Masyarakat; MBH:Manado Beach Hotel; Nasdem:Nasional Demokrat; PAN:Partai Amanat Nasional; Parpol:Partai Politik; Pemkab:Pemerintah Kabupaten; PG:Partai Golkar; Pilwako:Pemilihan Walikota (dan Wawali); PMII:Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia; Puskud:Pusat Koperasi Unit Desa; PT:Perguruan Tinggi; SMA:Sekolah Menengah Atas; Sulut:Sulawesi Utara; TB-NK:Tatong Bara-Nayodo Kurniawan; TK:Taman Kanak-kanak; Wawali:Wakil Walikota; dan Wita:Waktu Indonesia Tengah.