Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, July 8, 2012

Ampun Bupati Bolmong!

BEBERAPA hari sebelum rolling eselon III dan IV Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow (Pemkab Bolmong) dilaksanakan, saya menerima banyak pesan pendek (SMS), BlackBerry Messenger (BBM) dan telepon. Ada pegawai negeri sipil (PNS) yang  kuatir dengan nasibnya, ada politikus yang konsern atau sekadar ingin bergosip, ada pula aktivis dan pengamat yang ‘’mengaku’’ sudah mencium aroma ikan busuk dari penggantian jabatan yang akan dilaksanakan.

Menanggapi aneka isu itu, dengan hati-hati saya menyampaikan. Pertama, saya tidak punya otoritas apa-apa dengan Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan. Jangankan mempengaruhi, bicara dengan yang bersangkutan saja, selama 2012 ini sudah tak pernah lagi. Kedua, saya memang pernah terlibat menyiapkan, mendukung, bahkan membela habis-habisan Salihi Mokodongan sejak dia mencalonkan diri sebagai kandidat hingga terpilih sebagai Bupati Bolmong. Tapi setelah itu, dia sudah punya orang-orang terbaik yang tampaknya lebih bisa ‘’menunjukkan mana yang benar, bagus, dan baik untuk kepentingannya sebagai Bupati’’, ketimbang orang seperti saya.

Ketiga, mohon izinkan saya tidak menambah daftar kesalahan terhadap orang Mongondow. Saya sudah melakukan kekeliruan sangat fatal saat mendukung Salihi Mokodongan dengan percaya bahwa dia punya niat baik dan tulus terhadap Bolmong. Percaya bahwa orang yang terlihat bijaksana, mampu bersikap tegas, dan berkecupan secara ekonomi seperti dia, pantas menjadi pemimpin. Percaya bahwa di atas kecerdasan sekolah ada harga diri dan keinginan mengabdi yang mampu menjadi benteng terhadap godaan kekuasaan.

Kepercayaan saya ternyata salah. Untuk itu saya memohon maaf sebesar-besarnya pada warga Mongondow, khususnya yang saat ini berada di wilayah Kabupaten Bolmong. Permintaan maaf yang sama (bahkan dengan dua tangan di dada) saya haturkan pada Wakil Bupati (Wabup) Bolmong, Yani Tuuk. Sayalah yang dengan penuh percaya diri menyampaikan pada Wabup bahwa sebagai pasangan, dia dan Salihi Mokodongan adalah yang terbaik bagi Bolmong hingga lima tahun ke depan. Pak Wabup, maafkan saya sudah menyulitkan Anda.

Dan keempat, khusus pada para PNS, aktivis dan pengamat yang konsern dengan langkah-langkah penggantian dan pengisian jabatan eselon III dan IV di Pemkab Bolmong, saya mengatakan bahkan nasib adik kandung saya sendiri (yang PNS di Pemkab Bolmong) tak saya ketahui. Jadi, mari kita serahkan pada kearifan para pemimpin Kabupaten Bolmong saat ini: Bupati, Wabup, Sekretaris Daerah (Sekda) dan Kepala Badan Kepegawaian Daerah.

***

Orang banyak, tak hanya PNS, pantas terkaget-kaget ketika Bupati Salihi Mokodongan melantik 342 eselon III dan IV, Rabu (4 Juli 2012). Saya mengikuti keriuhan rolling ini sembari mengeleng-ngelengkan kepala ke dinding kaca ruang kerja yang membentangkan pemandangan Sudirman Central Business District (SCBD). Lalu lintas SCBD yang biasanya padat merayap terlihat lebih tertata dibanding kebijakan Bupati Bolmong.

Tak ada yang mampu saya komentari ketika diinformasikan bahwa pembacaan daftar pejabat yang di-rolling kacau-balau, jauh dari tata tertib birokrasi yang kita kenal. Isinya pun Masya Allah, sungguh tak masuk akal dipercayai sebagai hasil kerja Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang diketuai Sekda. Menempatkan seorang Sangadi ke posisi Kepala Bagian, misalnya, dianalisis dan dipertimbangkan berdasarkan standar apa?

Tapi itulah yang terjadi di-rolling Pemkab Bolmong tengah pekan ini. Yang disimpulkan oleh sebagian besar komentator yang menghubungi saya sebagai: tujuh nae-nae enam.

Apa yang terjadi? Kisah di balik peristiwa, yang biasanya seru dan penuh intrik, tak akan kita temukan di media massa. Dia menjadi perbincangan dan pengetahuan umum yang dibungkus sebagai ‘’rahasia bersama’’ dan tahu sama tahu saja.

Sebagai pihak yang tidak punya urusan apapun dengan Bupati dan Pemkab Bolmong, saya bebas menukil kembali cerita-cerita itu. Menurut para informan, daftar pejabat eselon III dan IV yang akan dilantik sebenarnya sudah final. Tetapi beberapa jam sebelum pelantikan, berbagai insiden terjadi yang melibatkan Bupati dan istrinya. Kata si pencerita (seorang sumber dari lingkaran dalam), pertengkaran hebat antara Bupati dan istri meletus karena Nyonya Bupati menitahkan beberapa nama (yang tak kompeten) harus dilantik di jabatan tertentu.

Hasil dari amukan Nyonya Bupati adalah perubahan besar-besaran terhadap daftar yang sebelumnya sudah disepakati oleh Bupati, Wapub, Baperjakat serta sejumlah pihak yang berkomitmen dengan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Hebatnya, perubahan yang dilakukan ini seperti ulah setan belang. Tak jelas kepala dan ekornya.

Bukti campur tangan setan belang itu terlihat dari reaksi Wabup yang menunjukkan kemarahan di tengah pembacaan daftar pejabat yang akan dilantik. Belakangan, informasi sahih lain mengkonfirmasi: Sekda mengeluh tak bisa mempertanggungjawabkan rolling eselon III dan IV itu, karena dia baru memaraf daftarnya setelah dibacakan saat pelantikan dilakukan.

Pemerintahan macam apa sebenarnya yang sedang dijalankan leh Bupati Salihi Mokodongan dan jajarannya? Sejumlah orang yang saya sodori pertanyaan itu, termasuk politisi dari partai pendukung, tak mampu memberi jawaban. Bahkan ada yang spontan menyemburkan keketusan, ‘’Tau’ lei, cuma dia dengan Tuhan yang tahu!’’ Tambahannya, ‘’Abang harus ikut bertanggungjawab. Kan Abang yang bilang dia mo jadi pemimpin yang bae for Bolmong.’’

***

Saya tak hendak membantah fakta-fakta itu. Bahkan saya meng-aminkan pernyataan anggota DPR Bolmong, Yusuf Mooduto, yang menilai pemerintahan Bupati Salihi Mokodongan abal-abal (http://kontraonline.com/, Kamis, 5 Juli 2012).

Tak terhitung kritikan pedas yang saya tulis selama 10 tahun Kabupaten Bolmong di bawah pemerintahan Marlina Moha-Siahaan, termasuk sebutan ‘’Kabupaten Ongol-Ongol’’. Namun seingat saya, sebagai Bupati dia cukup kompeten memilih dan menempatkan birokrat untuk mendukung kinerja Pemkab. Kalau pun ada yang berbau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kadarnya masih bisa dikelola atau dikontrol sepenuhnya.

Ringkasnya: Kalau pun bermain-main dengan kekuasaan, Marlina Moha-Siahaan mempraktekkan cara yang cerdas dan elegan. Akan halnya Salihi Mokodongan, saya mesti mengakui angkat tangan dan (sekali lagi) hanya bisa mengutip Einstein: ‘’Two things are infinite: the universe and human stupidity; and I'm not sure about the the universe.’’***