Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, July 30, 2013

Menimbang Mama Didi, Didi Moha, dan Yasti Mokoagow


PERTANYAAN yang terlontar di sela-sela reriungan usai buka puasa sungguh mengejutkan saya. ‘’Abang rupanya serius mendukung Didi Moha terpilih lagi ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2014 nanti? Begitu seriusnya sampai-sampai sekarang mulai memuji-muji Mama Didi.’’

Saya memerlukan jeda cukup panjang sebelum mentauziahkan ihwal yang jadi sorotan ini. Memuji mantan Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, Marlina Moha-Siahaan atau Mama Didi? ‘’Ya, di tulisan yang baru diunggah di blog, yang judulnya ‘’Tura’!’’, kelihatan betul Abang memuji-muji Mama Didi.’’

Oh, rupanya itu pangkal-soalnya. Padahal, seingat saya, tidak ada kandungan pujian terhadap Mama Didi di tulisan itu. Apa yang saya beberkan adalah fakta yang dilihat dan dialami sebagian besar warga Mongondow yang bermukim –setidaknya—di Kota Kotamobagu (KK) atau Bolmong Induk. Setuju atau tidak terhadap pendapat saya, adalah persoalan yang sama sekali berbeda. Fakta adalah fakta. Sikap adil adalah sikap adil. Lepas dari apakah saya secara pribadi dekat atau jauh, berkerabat atau tidak, dengan siapa pun.

Tapi tunggu dulu, pertanyaan cukup mengganggu itu masih berlanjut. ‘’Abang katanya ( ‘’katanya’’ adalah kata sangat berbahaya karena mengandung spekulasi) mendukung Didi sebab saat ini sudah berseteru dengan Yasti Mokoagow?’’ Waduh, pertanyaan ini benar-benar harus dibereskan sesegera mungkin sebelum menciptakan hubungan tak sedap dengan anggota DPR RI, Yasti Mokoagow, partai asalnya, dan orang-orang yang ada di sekitar dan berdiri di belakang dia.

Mudah-mudahan pertanyaan itu hanya mewakili pandangan satu-dua orang. Sejauh ini saya berusaha bersikap fair dan rasional, terutama saat mengemukakan pandangan dan pendapat lewat tulisan yang diunggah di blog ini. Lagipula, apa manfaatnya menggunakan repetan saya sebagai referensi?

Namun, sebagai pertanyaan, keingintahuan itu harus dijawab. Pertama, adakah fakta yang keliru dari apa yang saya tuliskan tentang Mama Didi? Sebagai politikus, dia memang meninggalkan jabatan Bupati Bolmong setelah berkuasa selama dua periode. Sekali pun demikian, dia tetap Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar (PG) Bolmong yang menguasai DPR Bolmong. Dan selama lebih dua tahun, dia tetap bergiat di politik sekali pun tak banyak dipublikasi media massa.

Saya memaknai aktivitas politik dan sosialnya yang tak pikuk itu sebagai proses hibernasi. Kontemplasi seorang politikus memandang lagi dirinya, posisinya paska berkuasa, dan mungkin mengurusi hal-hal lain di luar sikut-sikutan dan intrik politik. Apa yang salah dari tafsir ini? Di sisi manakah kekeliruan, misalnya, memberi kesempatan kedua pada Mama Didi kembali ke panggung politik sebagai calon legislatif (Caleg) Bolmong di DPR Sulawesi Utara (Sulut), sebagaimana yang sedang dia ikhtiarkan?

Kedua, apakah saya sedang terlibat perseturuan dengan Yasti Mokoagow? Berseturu dengan politikus sekelas Yasti tidak pernah terlintas di pikiran saya. Apa yang kurang dari dia? Dia adalah salah satu politikus Sulut berdarah Mongondow yang tengah berkibar, duduk di posisi elit Partai Amanat Nasional (PAN), dan menjadi sosok di depan dan belakangan suksesnya beberapa tokoh meraih kursi Bupati dan Walikota di Mongondow.

Lebih dari itu, saya cukup mengenal dekat Yasti Mokoagow; baik karena ke-Mokoagow-annya, maupun dalam posisi politiknya. Tetapi tanpa kontribusi signifikan apapun. Sebagai politikus, dia dikelilingi orang-orang hebat yang siap memberikan saran, masukan, pertimbangan, dukungan, dan kerja politik riil. Akan halnya saya, kontribusi terbesar yang saya berikan adalah bertepuk tangan dan turut senang setiap kali mengetahui ada sumbangsih yang diberikan Yasti terhadap Mongondow dan orang-orangnya.

Karena sekadar mengenal dekat, saya tegaskan: Saya bukan siapa-siapa, apalagi dianggap penting atau berpengaruh secara politik terhadap dipilihnya dia sebagai anggota DPR RI. Buktinya, saya tidak pernah diundang di acara apapun di mana Yasti Mokoagow menjadi penggagas atau tokoh utamanya. Apalagi dimintai pendapat atau saran penting yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Tidak percaya? Coba tanyakan pada Yasti, benarkah bahwa dalam tujuh bulan terakhir kami baru sekali berkomunikasi, itu pun per telepon pada Rabu (24 Juli 2013), dimana kebetulan saya mendapat kehormatan dikontak oleh Walikota KK 2013-2018 (terpilih), Tatong Bara.

Percakapan dengan Walikota KK pun bukanlah tentang urusan gawat. Cuma sekadar silaturrahim. Kebetulan kami kenal dekat. Kebetulan kediamannya di Mogolaing tak jauh dari rumah Ayah-Ibu saya. Kebetulan Walikota sedang berada di Jakarta. Itu saja. Saya tidak berani, semisal mengklaim, dari sisi Ayah ada hubungan kekeluargaan dengan Tatong Bara. Nanti apa kata dunia?

Dan ketiga, benarkah saya pernah melontarkan dukungan agar Didi Moha terpilih kembali di DPR RI di pemilihan umum (Pemilu) 2014 mendatang? Benar, di banyak kesempatan informal (saya bukan tokoh politik, tokoh masyarakat, pengamat, apalagi elit partai politik, jadi apa yang saya katakan dapat dianggap sekadar ghirah politik orang awam yang warga Mongondow) saya memang ‘’mengkampanyekan’’  pendapat ini.

Dasarnya? Mari kita lihat peta politik 2014 mendatang dan peluang politikus Mongondow mewakili warganya di DPR RI. Kita mulai dengan menghitung bahwa Sulut punya enam wakil di parlemen pusat Di Pemilu mendatang Partai Demokrat (PD) mencalonkan tokoh-tokoh hebat, misalnya EE Mangindaan dan Lucky Korah, ke DPR RI. Menurut hemat saya, EE Mangindaan yang kini menjabat sebagai Menteri Perhubungan (Menhub) hampir pasti melangkah ke Senayan; demikian pula dengan Lucky Korah yang punya rekam jejak sangat baik (mantan Walikota Manado, Pjs Gubernur Sulut, dan Sekretaris Menteri –Sesmen—Pembangunan Daerah Tertinggal –PDT).

Partai lain, PDI Perjuangan, juga dipenuhi nama-nama yang mampu meraup suara. Setidaknya Bendahara PDI Perjuangan yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Sulut, Olly Dondokambay, dan anggota DPR RI, Vanda Sarundajang, masih akan terpilih kembali. Dengan kata lain, PD dan PDI Perjuangan berpeluang menduduki empat kursi (dari enam kursi) DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Sulut.

Bagaimana dengan dua kursi tersisa? Kita lihat PG sebagai partai yang selalu berhasil mendudukkan wakil di DPR RI. Di urutan pertama daftar calon sementara (DCS) ada Didi Moha, politikus Mongondow berusia muda, yang dibayang-bayangi pendatang baru di urutan ketiga, Jerry Sambuaga, putra politikus kawakan Theo Sambuaga.

Adalah kehormatan besar bagi warga Mongondow dengan diletakkannya Didi Moha di urutan pertama. Sepengetahuan saya, Dewan Pengurus Pusat (DPP) PG punya kebijakan: Incumbent yang diharapkan duduk kembali, dipajang di nomor satu. Artinya, PG yang punya kepentingan tetap bergigi di Sulut, menyakini Didi Moha akan dipilih kembali oleh anggota dan simpatisan partai.

Kursi kedua (sebagaimana Pemilu 2009 lalu dimana PG mendapat dua kursi di Sulut untuk DPR RI), paling mungkin diduduki Jerry Sambuaga. Tetapi tentu saja kita tidak boleh mengabaikan pesaing kuat, misalnya seperti Lucky Korah; mantan Sekretaris Umum (Sekum) Gereja  Masehi Injili Minahasa (GMIM), Nico Gara, yang mencalonkan diri dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem); Mayor Jenderal (Pur) Glenny Kairupan, yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra); serta Yasti Mokoagow, petahana dari PAN.

Yasti Mokoagow dengan kinerja politik dan dukungan dari tokoh-tokoh, pemikir, dan pekerja politik yang ada di sekitarnya saat ini, semestinya tak menemui kesulitan mempertahankan kursinya di DPR RI. Dia berpotensi gagal kecuali bila PAN tidak dapat memenuhi parliamentary threshold (ambang batas parlemen) Pemilu 2014 sebesar 3,5 persen suara total partai di seluruh Indonesia.

Dengan memahami lanskap politik seperti itu, tidakkah sangat rasional orang Mongondow berlega hati memberikan dukungan pada Didi Moha; sembari tidak mengabaikan Yasti Mokoagow? Politik adalah urusan yang sangat rasional; dan bila saya berpendapat Didi Moha perlu dukungan ekstra, alasannya adalah demi kepentingan Mongondow dan seluruh warganya.

Pendapat itu sama sekali tidak berlawanan dengan perlunya dukungan terhadap Yasti Mokoagow, yang sudah dilakukan oleh banyak pihak dan orang.

Maka mari kita abaikan hal-hal sepele dan intrik-intrik tak perlu. Kalau Didi Moha dulu politikus ingusan yang duduk di DPR RI karena pengaruh Ibunya yang Bupati Bolmong, kita beri dia kesempatan membuktikan ingusnya sudah diseka sebersih-bersihnya. Bila dia belum matang dan pintar, semoga dengan berjalannya waktu kematangan dan kepintaran kini sudah menjadi bagian integral batok kepalanya.***

PG KK, Di Manakah Kewarasan Itu?


PIKUK politik kerap membuat kita lupa pada akal sehat. Isu terbaru di Kota Kotamobagu (KK), perihal keinginan Walikota 2008-2013 yang sebentar lagi mengakhiri masa jabatan, Djelantik Mokodompit (DjM), terdaftar sebagai calon legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK, ditanggapi riuh-redah seolah-olah niatan itu punya peluang terwujud.

Saya membaca Radar Totabuan, Senin (29 Juli 2013), Djelantik Belum Menyerah, dengan ketidak-mengertian yang mendentang-dentang kepala. Apa maksud pernyataan optimis Sekretaris Partai Golkar (PG) KK, Saiful Abdul Kadir (dan para spekulan politik lainnya yang berserak di luar media), yang mengisyaratkan keinginan DjM itu bukan pikiran orang ambisius dan gila jabatan yang tengah dirudung putus asa? Dengan sejenak saja menegok hukum dan aturan formal di negeri ini, kita tahu bahwa DjM dan para pendukungnya sedang memaksa-maksakan kemustahilan.

Begini, pembaca, sewaktu DjM mencalonkan diri sebagai Walikota KK 2008-2013 (juga 2013-2018 dimana dia kalah telak), tak ada satu orang pun yang menodongkan meriam atau parang di tengkuknya. Dia yang justru mati-matian mengajukan diri, termasuk meninggalkan PG dan menggunakan Partai Amanat Nasional (PAN) agar lolos sebagai kandidat Walikota.

Siapa yang berani mengatakan diusungnya DjM sebagai kandidat Walikota 2008-2013 karena keinginan para pendukung atau (ketika itu) konstituen PG? Kalau DjM punya pendukung di konstituen dan partainya sendiri, dia tidak perlu menggunakan PAN sebagai kendaraan politik. Sama dengan kalau masyarakat berkehendak, semestinya sebagai petahana mudah bagi dia (juga PG dan PDI Perjuangan) mengantar DjM-Rustam Simbala (RS) sebagai Walikota-Wakil Walikota (Wawali) KK 2013-2018.

Klaim-mengklaim tidak tabu di ranah politik. Tapi setidaknya buktikanlah siapa-siapa para pendukung yang diaku-aku menginginkan DjM terdaftar sebagai Caleg DPR KK di Pemilu 2014 mendatang? Kalau sekadar dukungan satu-dua pembisik, tiga empat pengurus PG KK, tidak beda dengan memelihara delusi mengalomania DjM agar dia tetap merasa sebagai politikus papan atas di Mongondow. Kita tidak tahu hingga batas mana delusi itu tak berubah jadi kegilaan yang mesti ditangapi ahli jiwa, obat penenang, dan –mungkin—kejutan arus listrik.

Faktanya, tidak mudah bagi seorang Walikota yang masih menduduki jabatannya untuk mundur begitu saja, terlebih dengan alasan yang jauh dari masuk akal. Kenyataan lain, batas waktu penggantian Caleg di Daftar Calon Sementara (DCT) sudah sangat kasip. Tinggal menghitung hari yang kurang dari jumlah jari di satu tangan.

Mari kita sisihkan dulu hukum dan aturan formal (saya juga capek mengulak-ngalik undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan KPU). Kita gunakan saja referensi umum dan populis yang bersiliweran di media massa berkaitan dengan pengunduran diri (atau dimundurkannya) seorang pejabat publik setingkat Gubernur, Wakil Gubernur (Wagub), Bupati, Wakil Bupati (Wabup), Walikota, dan Wawali. Bagaimana urut-urutannya?

Gambaran singkat prosesnya kira-kira: Bila seorang Walikota mengundurkan diri, dia harus punya alasan kuat dan absah. Kursi Walikota bukan tempat duduk anak Taman Kanak-kanan (TK) yang ketika bosan atau merajuk boleh dilepeh dan ditinggalkan begitu saja. Sang pejabat menyampaikan pengunduran dirinya secara resmi DPR dan Gubernur. DPR, dalam konteks DjM adalah DPR KK, kemudian membahas dan menggelar pleno, memutuskan apakah keinginan itu disetujui atu tidak. Bila disetujui, DPR mengirimkan rekomendasi pada Gubernur, yang kemudian meneruskan ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Semudah itu? Tidak juga. Gubernur mungkin punya pendapat lain yang berbeda dengan rekomendasi DPR. Demikian pula, Mendagri harus menimbang dengan cermat dan saksama dari segala aspek sebelum memutuskan menyetujui atau tidak pengunduran diri Walikota.

Dengan berbaik sangka, katakanlah DjM mendapat keistimewaan proses yang serba kilat, masing-masing tahapan itu dapat dilangsungkan dalam waktu dua hari atau total membutuhkan enam hari kerja. DPR KK besok sudah menerima surat pengunduran diri DJM, langsung membahas, dan besok menggelar pleno persetujuan. Satu hari kemudian rekomendasi DRP sudah selesai, dan langsung tiba di meja Gubernur. Tanpa membuang waktu Gubernur menelaah dan memutuskan menyetujui rekomendasi DPR, memerintah disiapkan surat ke Mendagri, yang telah pula ditunggu kurir ekspres agar tengat waktu terjaga ketat.

Dokumen-dokumen maha penting dari politikus yang tak kurang luar biasa pentingnya itu ditelaah, dipertimbangkan, dan disetujui. Persetujuan Mendagri langsung diketik, ditanda-tangani, dan dikirimkan ke Gubernur untuk diteruskan ke DPR KK.

Setelah itu sudahkah DjM sah turun dari kursi Walikota KK? Tentu tidak, sebab DPR mesti mengesahkan lagi lewat pleno. Secara paralel ada pula proses yang mengiringi penunjukkan penggantinya. Apakah Wawali yang menggantikan atau Pemerintah Pusat (lewat Mendagri) menunjukkan pelaksana harian (Plh) atau pejabat sementara (Pjs).

Pembaca, Anda sudah punya gambaran sejauh mana keinginan pen-Caleg-an DjM masuk akal orang waras atau tidak. Beralasan syarat minimal pen-Caleg-an DJM dapat dipenuhi cukup dengan keterangan dari lembaga dan pejabat berwenang bahwa pengunduran dirinya dalam proses, menurut saya bukan lagi pembengkokan hukum dan aturan. Kilahan seperti ini adalah upaya mematahkan dan meremukkan hukum dan aturan; menghina logika dan kewarasan orang banyak; dan provokasi agar KK luluh-latak oleh chaos.

Merujuk Pilwako KK, Senin (24 Juni 2013), katakanlah ada seperempat warga yang memiliki hak pilih mendukung DjM tetap eksis di panggung politik kota ini. Namun jangan dilupakan, tiga per empat lainnya bersikap sebaliknya. Meloloskan DjM sebagai Caleg DPR KK 2014, sekali pun dengan cara yang tidak melanggar hukum dan aturan, tetaplah praktek politik yang jauh dari etis, bermoral, dan bermartabat.

Memangnya siapa DjM dan segelintir orang yang kini memaksa-maksakan pen-Caleg-annya di KK? Apa pentingnya mereka bagi kelangsungan hidup warga kota ini, Mongondow, dan Sulut umumnya, hingga merasa berhak dan boleh mendapatkan keistimewaan?

Proses pen-Caleg-an Pemilu 2014 telah berlangsung berbulan dan sudah ditahap satu langkah sebelum final. KPU KK telah cukup kerepotan melaksanakan Pilwako dan disaat bersamaan bertanggungjawab agar Caleg DPR KK di Pemilu 2014 diproses di koridor ketaatan pada hukum dan aturan-aturannya. Penggantian Caleg yang tidak memenuhi syarat memang diizinkan, tetapi dengan tidak memaksakan pelanggaran atas hukum dan aturan, apalagi bertendensi sabotase politik.

Yang juga harus digaris-bawahi, pemaksaan agar DjM terdaftar sebagai Caleg DPR KK di Pemilu 2014 menunjukkan bahwa PG tak menghormati sistem dan mekanisme internalnya. Bahwa manajemen partai ini di Dewan Pengurus Daerah (DPD) KK karut-marut tak karuan. PG yang matang dari sisi usia dan khatam seluk-beluk manajemen politik, termasuk penempatan kader-kadernya di posisi-posisi publik, di KK ternyata diurusi para amatir yang gila jabatan, semena-mena, tidak tahu hukum dan aturan, dan bahkan mungkin telah kehilangan kewarasan.***

Sunday, July 28, 2013

''Tura'!''


LEBIH dua tahun Marlina Moha-Siahaan menanggalkan jabatan Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk. Ketika itu, Kamis (5 Mei 2011), saya megiringi purna tugasnya dengan mengutip penyanyi balada Amerika, Woodrow Wilson ‘’Woody’’ Guthrie (1912-1967), ‘’So Long It's Been Good to Know You.’’

Mama Didi –demikian saya menyapa mantan Bupat dua periode ini—melepas kursi kekuasan tanpa keriuhan. Tapi dia sesungguhnya tidak meninggalkan dunia politik. Tanpa banyak cincong, sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar (PG) Bolmong (pemilik fraksi terbesar di DPR kabupaten ini), Mama Didi tetap bergiat. Dan saya, mungkin pula kita semua, dengan respek menyaksikan seorang politikus elegan yang tahu di saat mana harus tampil dan kapan berhibernasi.

Masa-masa tak banyak tampilnya Mama Didi di panggung politik Mongondow saya ikuti dengan penuh hormat. Tidak ada lagi kritik, apalagi celaaan terhadap dia. Bahkan ketika isu Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) mengemuka dan namanya diseret-seret, saya berpendapat lain.

Apapun yang telah terjadi, semestinya Mama Didi dibebaskan dari segala tanggungjawab. Baik atau buruk, lebih atau kurang, 10 tahun dia sudah melaksanakan tugas memimpin Bolmong. Bila ternyata ada keliru yang berakibat tindak pidana, mengapa para staf dan orang-orang kepercayaan di saat dia masih Berjaya di kursi Bupati, membiarkan atau bahkan ikut mendorong dengan sukarela?

Menghormati dan menjaga kehormatan Mama Didi (serta mantan tokoh-tokoh publik Mongondow lainnya) adalah ekspresi martabat semua orang Mongondow. Dan bila dia kemudian ingin kembali ke kancah politik, dengan saat ini mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), saya yakin putusan itu jauh dari pertimbangan emosional dan jangka pandek seorang politikus ambisius.

Telah lebih dua tahun dia menengok kembali 10 tahun kepemimpinannya di Bolmong Induk. Menelaah, mengevaluasi, dan mengkontemplasi apa yang sukses, gagal, atau masih sekadar mimpi. Saya yakin, waktu diamnya yang cukup panjang telah memberi perspektif dan pencerahan baru. Pada Mama Didi seorang dan kita semua.

Namun apa relevansi kembalinya Mama Didi ke panggung politik Mongondow dengan konteks kekinian? Adalah ambisi terbaru Walikota Kota kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit (DjM), yang gagal meraih suara terbanyak di pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK), Senin lalu(24 Juni 2013), yang menghempaskan saya pada ingatan tentang Mama Didi.

Berita utama Radar Totabuan, Sabtu (27 Juli 2013), memajang tajuk mencolok, Djelantik Harus Segera Mundur. Tindakan mesti bersigegas mundur dari jabatan Walikota yang masih tersisa dua bulan ini, adalah salah satu syarat mutlak agar namanya tercantum sebagai salah satu calon legislatif (Caleg) DPR KK di pemilihan umum (Pemilu) 2014 mendatang. Saya membaca sepak-terjang mutakhir DjM itu dengan pikiran, ‘’Blum sampe di sana, eh, so kamari dia.’’

Tampaknya DjM tak punya kata ‘’cukup’’ di kamusnya. Di sisi lain, kata ini sendiri memiliki definisi yang sangat luas, namun sesungguhnya tak sulit dijelaskan. Contohnya, di tangan seseorang yang memahami dan mempraktekkan manajemen ekonomi rumah tangga dengan baik, uang senilai Rp 2 juta mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan diakhir bulan ada yang berhasil disisihkan sebagai tabungan. Sebaliknya, di tangan pemboros tak tahu diri, Rp 10 juta pun barangkali hanya selewat kedipan mata dan seluruhnya menguap dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Mungkin misal yang lebih tepat untuk kasus DjM adalah, dia seperti orang yang menghadapi sepiring sajian lezat di hadapan. Belum selesai yang ada di depan mata, dia sudah menjulurkan tangan, meraih piring baru dan ingin memenuhi dengan menu lain yang dianggap tak kalah enak. Di Mongondow jenis orang yang tak puas dengan apa yang masih menggunung lalu bersigegas meraup sajian lain yang belum tentu mampu dituntaskan, dicibir dengan sebutan tura’. Orang rakus. Yang tak mengenal kata cukup. Yang tak pernah puas. Yang ingin memamah seekor sapi, kambing, dan satu kandang ayam sendirian. Yang menganggap mulut, leher, dan perutnya mampu menampung seluruh hasil panen sawah dan ladang yang terhampar pandangan di ujung hidung.

Di negeri ini sekali pun, tak banyak politikus seperti DjM. Dua kali dipilih sebagai anggota DPR RI, dua kali gagal menjadi Bupati, satu periode berhasil menduduki kursi Walikota (dan Ketua DPD PG KK), tumbang dengan telak, lalu tanpa malu-malu bersegera memaksakan diri terdaftar Caleg untuk DPR KK. Apalagi yang dia kejar? Pengabdian? Omong kosong! Satu-satunya alasan adalah kekuasaan dan uang. Lainnya, DjM adalah jenis manusia yang patut diduga mengidap post power syndrome permanen, yang ketakutan terbesarnya adalah menjadi bukan siapa-siapa.

Agar tetap menjadi siapa-siapa, segala cara dihalalkan. Termasuk berupaya menerabas dan menyiasati aturan yang sudah menjadi pengetahuan baku umumnya warga masyarakat yang sadar politik. Saya tidak heran bila siasat memasukkan DjM sebagai Caleg Pemilu 2014 ternyata diaromahi bau busuk. Terlebih terlibatnya oknum anggota KPU KK yang dalam dua pekan terakhir sibuk kasak-kusuk, bergerilya mempengaruhi kolega-koleganya, bersikukuh meyakinkan bahwa pen-caleg-an DjM tidak melanggar hukum dan aturan.

Terhadap oknum anggota KPU KK itu, dengan sangat terpaksa saya (yang tidak punya cemaran pikiran suku, agama, ras, dan antar golongan –SARA) mesti mengingatkan: Anda tahu dirilah! Anda bukan orang Mongondow tetapi dengan iklas diterima sebagai bagian dari komunitas Mongondow. Dengan segala tipu-muslihat yang dijalankan saat ini, Anda sedang memprovokasi kami untuk beramai-ramai menendang Anda keluar dari wilayah Mongondow. Kesabaran ini ada batasnya, Bung!

Kalau DjM ingin menjadi Caleg DPR KK, biarkan dia berikhtiar dan berupaya dengan cara yang paling etis, bermartabat, serta sejalan dengan hukum dan aturan formal. Bahwa di sisi lain keinginan ini menunjukkan dia adalah contoh seburuk-buruknya orang rakus di KK, biarkan masyarakat yang menilai dan menjatuhkan pilihan di Pemilu 2014 mendatang.

Sebab itu saya tidak akan membandingkan DjM dengan Mama Didi. Saya hanya teringat pada Mama Didi, yang pada akhirnya, setelah lebih dua tahun melepas kursi Bupati Bolmong, menunjukkan kualitas potikus Mongondow yang 100 kali lebih baik dari DjM.***

Saturday, July 27, 2013

Anggota Dhuafa yang Terhormat di Boltim


MELETUPLAH tawa tatkala saya membaca Kontraonline, Sabtu (27 Juli 2013), PA KPA dan PPTK Serta seluruh Anggota DPRD Boltim Resmi Jadi Tersangka Kasus Korupsi Anggaran Ma-Mi (http://kontraonline.com/13129/pa-kpa-dan-pptk-serta-seluruh-anggota-dprd-boltim-resmi-jadi-tersangka-kasus-korupsi-anggaran-ma-mi/). Dari judul berita, kita semua mahfum, 20 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bolaang Mongondow Timur (Boltim) kini kebat-kebit menyambut datangnya gelar narapidana.

Buru-buru saya menggali-gali ingatan apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Boltim pernah terdengar mencantumkan pembangunan rumah tahanan (Rutan) atau sejenisnya. Untunglah, setidaknya hingga tulisan ini dibuat, kabupaten ini belum berencana membangun ‘’pedepokan’’ pelanggar hukum di wilayahnya. Sebab tidak tertutup kemungkinan para penghuni pertama justru adalah seluruh anggota DPR dan aparat birokrat terasnya.

Dibanding DPR lain di Mongondow, anggota dewan yang terhormat di Boltim memang paling meriah dalam segala hal. Ada-ada saja pelanggaran hukum yang mendadak menyedot perhatian orang banyak yang mereka lakukan. Terlibat narkotika dan obat-obatan terlarang (Narkoba), tertangkap masyuk di hotel bukan dengan pasangan resmi, materai palsu, dan kini menelikung anggaran makan-minum (Ma-Mi). Selain hiperaktif dan lucu-lucu, dalam kasus Ma-Mi anggota DPR Boltim ternyata masuk kategori kaum dhuafa.

Ya! Kasus Ma-Mi, menurut Kontraonline, melibatkan 23 tersangka dengan kerugian negara sekitar Rp 184 juta rupiah. Uang sejumlah ini, dibagi rata untuk 20 anggota dewan yang terhormat serta tiga tersangka lain yang terlibat, per kepala masing-masing mengantongi Rp 8 juta. Untuk kebanyakan warga masyarakat di Boltim, Rp 8 juta sungguh nilai yang sangat berarti. Tapi anggota DPR, yang selain menerima gaji, tunjangan ini-itu, Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD), dan lain sebagainya, Rp 8 juta ‘’mungkin’’ sekadar uang kopi tiga bulanan saat menyambangi konstituen.

Didudukkannya seluruh anggota DPR Boltim sebagai tersangka dengan nilai dugaan penyelewengan yang relatif tak signifikan itu, mungkin perlu dicatatkan ke Meseum Rekor Indonesia (MURI). Setidaknya, menurut pengetahuan saya, mereka berhasil memecahkan rekor sebagai DPR ‘’tercemen’’ di Indonesia dalam soal korupsi, dibanding tersangka (atau terpidana) korupsi yang juga anggota DPR di negeri ini, yang nilainya berbunyi ratusan juta hingga miliar per orang.

Simpulan saya, tampaknya gaji dan hak-hak lain di DPR Boltim tidak memadai hingga mereka berjamaah menjadikan dana Ma-Mi tak sesuai peruntukkan. Ujungnya, terjerumuslah ke jerat pidana.

Tersebab itu, warga Boltim –termasuk para dhuafa yang sesungguhnya—mesti prihatin dan kian mengetatkan ikat pinggang demi menyelamatkan harkat dan martabat seluruh masyarakat. Bukankah sungguh memalukan bila anggota DPR yang seharusnya berkonsentrasi mengurusi hajat hidup orang banyak, ternyata setiap hari mesti bersilat dan bersiasat agar mampu mencukupi kebutuhannya, termasuk terpaksa melakukan sulap-menyulap anggaran Ma-Mi.

Mumpung penetapan tersangka bertepatan dengan Ramadhan, ada baiknya seluruh mesjid dan tempat ibadah menyediakan kotak sumbangan untuk seluruh anggota DPR Boltim yang kekurangan dana itu. Saya yakin mengumpulkan Rp 184 juta tidaklah sulit. Siapa tahu dengan secepatnya menggembalikan kerugian negara, hukuman yang diancamkan pada para tersangka dapat dikurangi dan mereka tidak perlu ramai-ramai di-Pergantian Antar Waktu (PAW)-kan. Mengganti 20 anggota DPR secara serempak boleh jadi bakal membuat anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Boltim yang baru dilantik bakal botak dan kerempeng.

Toh kemungkinan dikembalikannya kerugian negara yang memberi cela pengurangan hukuman tetap menyisahkan kelucuan lain. Mempertahankan seluruh anggota DPR menjalankan tugas sebagai tersangka atau bahkan terpidana, menjadikan kredibilitas apa pun yang mereka hasilnya hanya setara sampah. Dan produk sampah kalau tidak mengundang iba, pasti menaikkan tensi atau justru memicu tawa dan sinisme.

Lalu kelucuan dari Boltim belum selesai. Kontraonline menambahkan amunisi yang siap meledak lewat berita Bukti Dugaan Suap PT MPU ke Dua Pejabat Boltim Dikantongi Polisi (http://kontraonline.com/13137/bukti-dugaan-suap-pt-mpu-ke-dua-oknum-pejabat-boltim-dikantongi-polisi/). Dari apa yang dipapar, patut diduga bahwa suap-menyuap yang ‘’konon’’ demi mengamankan masyarakat Desa Paret agar tak terus menggeruduk operasi tambang pasir besi PT Meytha Perkasa Utama (MPU), benar belaka. Bukti yang dimaksud adalah foto-foto saat penyerahan duit dilakukan, di mana wajah dua oknum pejabat itu tampak terang-benderang. Kisikan lebih gawat yang saya terima, selain foto, bukti sahih lainnya adalah rekaman video. Alangkah menariknya mendengarkan kalimat-kalimat yang dpertukarkan saat serah-terima dilakukan.

Namun, mengingat terlampau banyak duga-duga, spekulasi, fitnah, dan sebagainya di Bolmong (terutama yang melibatkan politikus dan tokoh birokrasi), saya tidak serta-merta menyimpulkan dugaan suap PT MPU itu 100 persen benar. Siapa tahu PT MPU justru tengah menyerahkan dana bantuan pada Pemerintah Daerah (Pemkab) Boltim pada ‘’oknum eksekutif’’ yang disebut-sebut sebagai terduga. Demikian pula, boleh jadi ‘’oknum eksekutif’’ yang sudah dicap sebagai terduga ternyata hanya menerima dana hibah dari PT MPU. Kalau pun masyarakat Boltim tidak mendengar dana bantuan atau hibah itu, mungkin memang belum waktunya diumumkan secara terbuka.

Bukankah galib di mana-mana di negeri ini kalangan perusahaan mengalokasikan bantuan dan hibah pada institusi pemerintah dan legislatif, yang dibungkus istilah ‘’dana corporate social responsibility (CSR)’’. Sekali pun sebagai praktisi CSR yang intens menekuni bidang ini sejak lebih 10 tahun terakhir saya kerap binggung terhadap semena-menanya penggunaan istilah ini. Dana CSR? Hewan melata jenis apakah ini? Seolah-olah komitmen perusahaan untuk beroperasi dengan etis, bermoral, dan bermartabat, direduksi sekadar angka-angka rupiah dan dolar.

Kembali pada soal suap-suap sebagai tindak pidana, langkah polisi mengusut dua oknum pejabat yang menjadi penerima, membuka pintu selebar-lebarnya menyandingan mereka dengan 23 tersangka anggaran Ma-Mi di DPR Boltim. Pembaca, Anda tentu sudah dapat menduga, puncak kelucuan dari rangkaian penetapan tersangka dan penyidikan terduga di Boltim itu adalah: Sebentar lagi kelangsungan pemerintahan kabupaten ini minimal bakal dibahas di ruang penyidikan di Kepolisian Resort (Polres) Bolmong atau bahkan di salah satu bilik di Rutan provinsi ini.***