TANYAKAN ke 100
politikus dan aktivis atau 500 orang awam di Mongondow, kenalkah mereka pada
Julius Henry ‘’Groucho’’ Marx? Saya berani bertaruh hampir 100 persen politikus
dan aktivis itu cuma mampu bersigegas mengais-ngais ingatan dan mengaitkan nama
ini dengan Karl Heindrich Marx, filosof, ekonom, sosiolog, sejarawan, wartawan,
dan sosialis revolusioner Jerman (5 Mei 1818-14 Maret 1883).
Orang awam kurang lebih sama, kecuali mereka yang mengenal
sejarah dunia hiburan, khususnya yang berkiblat ke Amerika Serikat (AS). Tapi
berapa banyak warga Mongondow yang meminati sejarah dengan serius, apalagi
pasal sepele seperti sejarah hiburan?
Boleh dibilang, membicarakan Groucho Marx (2 Oktober 1890-19
Agustus 1997) di komunitas umumnya di Mongondow sama dengan menjelaskan apa
yang sedang terjadi permukaan planet Mars. Membuat orang dengan cepat-cepat
menguap atau pura-pura punya urusan yang dipenting-pentingkan, semacam, ‘’Ai, na’anta maya’ pa-bi’ aku’-oi
mo-mamping kon sapi.’’ Atau, ‘’Na’-anta
wakutu-nya bidong in rapat nami.’’
Lain halnya bila kita imbuhi dengan cerita bahwa nama itu
terkait topeng dengan kacamata berbingkai tanduk, hidung besar, alis lebat, dan
kumis melintang yang pernah populer (dan masih kerap kita lihat). Pembaca, topeng
yang digunakan untuk lucu-lucuan di banyak kesempatan ini dikenal sebagai
‘’Groucho glasses’’.
Namun saya sependapat bila Groucho Marx, bahkan Karl Marx,
bukan soal penting di Mongondow. Sama tidak pentingnya dengan para politikus
yang terjangkit demam sosialisme dan sibuk mengkampanyekan seolah-olah mereka
memihak dan mengedepankan kepentingan rakyat dalam segala hal. Yang
disederhanakan sesederhana-sederhananya hingga menunjukkan omongan itu adalah
ekspresi ketidaktahuan dan ketidakpahaman mereka.
Saya kerap geli mendengar dan membaca janji-janji politikus
tentang ‘’pendidikan gratis’’ atau ‘’kesehatan gratis’’ seolah-olah rakyat bodoh
dan percaya begitu saja. Atau omong-omong lebay
semacam, ‘’Kami mendukung guru-guru, pedagang kecil, petani, dan para buruh
karena mereka adalah para pahlawan kita.’’
Bah! Macam apakah difinisi pahlawan yang diomongkan itu?
Adakah dia seperti sosok di film-film perang atau laga yang berakhir sebagai
jasad dalam peti mati di bungkus bendera negara? Seorang pedagang di Pasar
Serasi yang capek mendengar mulut manis para politikus dan aktivis yang
silih-berganti menggunakan kesengsaraan mereka sebagai ‘’jualan’’, berkomentar,
‘’Iyo, torang pahlawan maar stengah mati
deng mati trus. Ngoni yang hidop kong sanang-sanang kasana-kamari jual pa
torang.’’
Sama menggelikan dengan membaca omongan politikus-politikus
Partai Golkar (PG) Kota Kotamobagu (KK) setelah kekalahan kandidatnya di
pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Wawali), Senin (24 Juni 2013) lalu.
Bagaimana tidak lucu, di saat di seluruh Mongondow kandidat yang didukung PG di
pemilihan kepala daerah (Pilkada) bertumbangan, mereka tetap optimis di
pemilihan umum (Pemilu) 2014 mendatang partainya pasti berjaya.
Yang paling optimis tentu para politikus bau kencur yang
penuh semangat ‘’maju tak gentar kase toki kapala dia tiang baja’’. Mereka yang
entah belajar politik dari mana tiba-tiba meroket jadi pengurus teras partai, berebutan
tampil di depan publik (utamanya di media massa lewat ‘’berita berbayar’’ dan
iklan), dan bersesak-sesakan di daftar calon anggota legislatif (Caleg). Dan
bukan hanya di PG, melainkan merata di semua partai, paling tidak yang resmi
terdaftar sebagai peserta Pemilu 2014.
Semestinya kita bangga melihat generasi baru politikus di
Mongondow tumbuh bagai jamur di musim hujan. Masalahnya, berbeda dengan
generasi terkini di belahan dunia lebih maju, yang tumbuh bersama kesadaran
mengisi kepala dengan aneka pengetahuan, politikus-politikus muda kita
benar-benar hanya punya dua modal utama:
ba gantong di tali calana dan keberanian buka mulut. Tidak peduli yang
diucapkan tak bermutu, yang penting bicara.
Di titik inilah Groucho Marx menemukan konteks lewat pernyataannya,
“Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere,
diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies (Politik
adalah seni mencari masalah, menemukan di mana-mana, salah mendiagnosis dan
menerapkan solusi yang salah)." Groucho Marx bukan hanya komedian terbaik
di era modern. Dia salah seorang ‘’pengamat’’ politik yang dengan tepat
mendifinisikan perilaku para politikus.
PG di seluruh wilayah Mongondow yang makin didominasi
politikus kemarin sore dan pemain tua yang kelelahan, benar-benar sesuai klasifikasi
Groucho Marx. Partai ini adalah pohon beringin yang kelihatannya kokoh tapi
rapuh digerogoti dari dalam. Akar-akar penopang utamanya dengan kecepatan
konstan melapuk.
Mula-mula PG kehilangan jangkar di Bolaang Mongondow Timur
(Boltim) dan Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel). Kandidat mereka di Pilkada,
terutama di Boltim, dikalahkan dengan telak oleh pesaing yang bahkan dari
sejumlah sigi peluangannya berpaut langit dan bumi. Terdepak dari arus utama
politik itu berulang di Pilkada Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk dan Bolaang
Mongondow Utara (Bolmut), di mana kandidat usungan PG hanya menempati urutan
ketiga. Kejatuhan pamor partai yang berjaya hingga 2011 ini kian lengkap dengan
tumbangnya Ketua PG KK di Pilwako.
Baiklah, sejumlah politikus PG masih berkeyakinan bahwa
Pilkada berbeda dengan Pemilu. Tapi dengan orang-orang yang itu-itu juga, para
politikus yang telah kehilangan minat dan selera konstituen, akankah partai ini
masih menjadi penguasa legislatif di seluruh Mongondow di Pemilu 2014? Solusi
apa yang telah mereka siapkan, sementara faktanya tidak ada pendekatan baru dan
kreativitas politik yang dipraktekkan sejauh ini?
Beruntunglah PG di Mongondow karena mereka sekarat di
antara dinamika politik yang sama sakitnya. Partai-partai lain yang kini berada
di arus tengah, Partai Amanat Nasional (PAN) di KK dan Bolmong; Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) di Bolmut; PDI Perjuangan di Bolsel; dan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) di Boltim, sama zaman doeloe dan tidak kreatifnya dengan PG. Dengan kata lain, hampir
semua partai dan para politikusnya menyerahkan arah politik di Mongondow pada
kewarasan, pengetahuan, dan kearifan masyarakatnya.
Telah seberapa tinggi masyarakat Mongondow memahami dan
menyadari politik sebagai salah satu aspek penting mencapai keinginan mereka?
Apakah sekadar perebutan kekuasaan yang diwarnai bagi-bagi berkah lewat ‘’serangan
24 jam’’ atau lebih dari itu?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah urusan para
pakar dan bijak-bestari. Saya hanya berharap akhir dari peran politik PG di Mongondow
tidaklah seperti cerita pendek klasik, Robohnya
Surau Kami (1955), dari AA Navis (17 November 1924-22 Maret 2003).Tapi
kalau partai ini tumbang di wilayah Mongondow 2014 mendatang, siapa peduli? Toh yang roboh adalah beringin
mereka.***