BERBAHAGIALAH
warga Kota Kotamobagu (KK). Hari-hari terakhir ini mereka sedang menyaksikan
lahirnya seorang tokoh yang bakal melegenda di Mongondow dan di kalangan orang
Mongondow yang masih merawat keterikatan dengan tanah asalnya.
Tokoh yang namanya akan dikenang dan dirujuk itu, terutama
setiap kali ada peristiwa politik semisal pemilihan kepala daerah (Pilkada)
atau pemilihan umum (Pemilu), punya kegigihan, keliatan, daya tahan, serta yang
terpenting sikap ‘’nimau tau’’ dan ‘’nintau diri’’. Dia, tokoh kita ini, tak
lain dan tak bukan adalah Djelantik Mokodompit, mantan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dua kali mantan calon Bupati Bolaang
Mongondow (Bolmong) ketika kabupaten ini belum dimekarkan, sebentar lagi akan
mantan Walikota KK, dan ‘’mungkin’’ bakal calon anggota DPR KK 2014-2019.
Di jagad politik Sulawesi Utara (Sulut) Djelantik Mokodompit
adalah contoh politikus berdaya tahan tinggi. Merintis karir di bidang
koperasi, dia dengan cepat memperoleh pengaruh yang lalu digunakan sebagai batu
loncatan ke politik praktis. Tak usah ditegok lagi jejak perkoperasiannya. Sepengetahuan
saya koperasi-koperasi di mana dia pernah terlibat tinggal kabar angin
sepoi-sepoi. Beda dengan sepak-terjang politiknya.
Lewat Partai Golkar (PG) Djelantik Mokodompit meraih
dukungan ke DPR RI. Dua periode duduk mewakili masyarakat Sulut di lembaga
tinggi negara ini, dia sukses menjadi politikus biasa-biasa saja. Tak terdengar
bersuara, tak pula dikutip satu pun media massa terbitan Jakarta. Yang saya
tahu, dari cerita dan komentar-komentar selintas, ‘’Dia so kaya!’’
DPR RI tampaknya kurang menantang, karenanya dia lalu
kembali ke Bolmong dan terjun di kompetisi pemilihan Bupati. Kita tahu (ketika
itu) DPR Bolmong lebih memilih Marlina Moha-Siahaan ketimbang Djelantik
Mokodompit.
Zaman berganti dan Bupati-Wakil Bupati (Wabup) tak lagi
dipilih DPR. Era pemilihan langsung menjelang. Bermodal dukungan yang dimotori
Partai Amanat Nasional (PAN), Djelantik Mokodompit sekali lagi menyasar jabatan
Bupati Bolmong, menghadapi incumbent
Marlina Moha-Siahaan. Dan kembali dia tersungkur.
Peruntungannya membaik tatkala berlaga di pemilihan
Walikota-Wakil Walikota (Wawali) KK berpasangan dengan Tatong Bara. Bukan diusung
partai asalnya, melainkan –sekali lagi— disokong PAN. Kali ini Djelantik
Mokodompit berhasil menggapai impiannya. Dia terpilih sebagai Walikota KK
2008-2013. Kekuasaan di tangan pun kian lengkap karena dia ‘’pulang rumah’’ ke
PG dan berjaya meraih kursi Ketua DPD KK. Dia adalah Walikota sekaligus tokoh
paling kuat yang mengontrol partai dengan perolehan suara mayoritas di DPR.
Sembari bersegera menancapkan kekuasaan dan pengaruh di KK,
mengikuti ‘’manual politik khas Indonesia, dia mendorong keluarga dan
orang-orang sangat dipercaya merambah politik. Yang pertama mendudukkan anak
tertua, Raski Mokodompit, ke DPR Provinsi Sulut. Berikutnya, cermati saja
Daftar Calon Sementara (DSC) PG untuk Pemilu 2014, temukan dan hitung sendiri
siapa-siapa calon legislator yang terkait langsung dengan Djelantik Mokodompit.
Mulai dari anak kandung, adik atau kakak, sepupu, hingga mereka yang sehari-hari
kita kenal sebagai ‘’antek-antek’’ setianya.
Tak pelak hingga di hari ‘’H’’ Pilwako, Senin, 24 Juni 2013,
hanya sedikit orang yang percaya Djelantik Mokodompit akan gagal mempertahankan
jabatan Walikota KK. Harus diakui, keyakinan dia tetap berkuasa hingga 2018,
bagi politikus, praktisi politik, dan pengamat amatiran, berdiri di atas alasan
kokoh. Apalagi pilihan berpasangan dengan Rustam Simbala, membuat dia
menyatukan kekuatan dua rakasasa: PG dan PDI Perjuangan. Mesin dua partai ini
diperkuat pula pengerahan aparat birokrasi serta kecukupan dana.
Tidak mengherankan di hari-hari kampanye Pilwako pendukung
dan penyokong Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (DjM-RS) merajalela. Tanpa
sungkan mereka menyerang, mengecilkan, dan meremehkan kandidat lain dan
pendukungnya, khususnya pasangan yang jadi pesaing utama, Tatong Bara-Jainudin
Damopolii (TB-JD). Seolah-olah keajaiban sekali pun tak bakal membuat jagoan
mereka kalah.
Padahal, rasionalitas lain yang tak kurang kuatnya
menunjukkan, bagi mayoritas warga KK, Djelantik Mokodompit bagai buku yang
harus segera ditutup. Sampulnya saja yang mentereng. Tampak bagus, elegan dan
berkelas. Isinya, ternyata cuma roman ternyata picisan yang kelasnya jauh di bawah
selera umumnya warga Kotamobagu.
Perolehan DjM-RS yang hanya 27.768 suara dari total 71.350
suara sah di Pilwako KK adalah bukti obyektif Djelantik Mokodompit memang tak
memiliki cukup kredibilitas di hadapan masyarakat yang dia pimpin. Dengan
ditambahkannya warga yang menolak menggunakan hak pilih, sekitar 15 ribu orang,
kita dapat menyimpulkan: Cuma sekitar seperempat penduduk KK yang masih
bersedia memberi dia kesempatan berkuasa kedua kalinya.
Modal sosial itu –saya yakin tidak seluruhnya diperoleh
karena keikhlasan pemilik suara— yang masih dipertaruhkan lagi lewat gugatan ke
Mahkamah Konstitusi. Situs Totabuan.Co
(http://totabuan.co/2013/07/03/djelas-resmi-ajukan-gugat-ke-mk/),
Rabu (3 Juni 2013), lewat berita bertajuk DjelaS
Resmi Ajukan Gugat ke MK memastikan langkah hukum pasangan DjM-RS.
Tidak perlu menduga-duga. MK pasti menolak gugatan itu. Cuma
sarjana hukum yang tak paham arti tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang gemar membentur-benturkan
kepala kosongnya ke tembok batu. Ada pelanggaran luar biasa apa di Pilwako KK
bila hingga tulisan ini dibuat Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) hanya punya
satu laporan (tertulis), itu pun tanpa disertai bukti dan saksi?
Sembari menanti atraksi aktor-aktor Pilwako di MK, kita simak dulu (katanya)
wacana pencalonan Djelantik Mokodompit sebagai anggota DPR KK dari Daerah
Pemilihan (Dapil) Kotamobagu Barat dan selanjutnya Ketua DPR KK 2014-2019. Agar
gadang-gadang ini terwujud, dia harus terlebih dahulu mengundurkan diri dari
jabatan Walikota. Namun rentang waktunya sangat kasip, mengingat Daftar Calon
tetap (DCT) Calon Legislatif (Caleg) kini sedang difinalisasi.
Kalau PG sungguh-sungguh mencalegkan Djelantik Mokodompit di
Pemilu 2014, tercatat atau tidak di DPT, dia telah menjadi legenda. Terlebih bila
pencalegannya sukses dan ternyata gagal meraih kursi –artinya musnah pula
cita-cita menduduki kursi Ketua DPR. Dia akan menjadi misal dari semua nasihat
orang-orang tua Mongondow terhadap generasi di bawah yang berkiprah di dunia
politik: ‘’Kong bae-bae ba politik, jang
sama dengan Djelantik Mokodompit!’’
Saya menunggu lahirnya legenda politik Mongondow itu dengan
dada ditambur debar.***