LEBIH dua tahun
Marlina Moha-Siahaan menanggalkan jabatan Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong)
Induk. Ketika itu, Kamis (5 Mei 2011), saya megiringi purna tugasnya dengan
mengutip penyanyi balada Amerika, Woodrow
Wilson ‘’Woody’’ Guthrie (1912-1967), ‘’So Long It's Been Good to Know You.’’
Mama Didi –demikian saya menyapa mantan Bupat dua periode ini—melepas
kursi kekuasan tanpa keriuhan. Tapi dia sesungguhnya tidak meninggalkan dunia
politik. Tanpa banyak cincong, sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai
Golkar (PG) Bolmong (pemilik fraksi terbesar di DPR kabupaten ini), Mama Didi tetap
bergiat. Dan saya, mungkin pula kita semua, dengan respek menyaksikan seorang
politikus elegan yang tahu di saat mana harus tampil dan kapan berhibernasi.
Masa-masa tak banyak tampilnya Mama Didi di panggung politik Mongondow
saya ikuti dengan penuh hormat. Tidak ada lagi kritik, apalagi celaaan terhadap
dia. Bahkan ketika isu Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD)
mengemuka dan namanya diseret-seret, saya berpendapat lain.
Apapun yang telah terjadi, semestinya Mama Didi dibebaskan dari segala
tanggungjawab. Baik atau buruk, lebih atau kurang, 10 tahun dia sudah
melaksanakan tugas memimpin Bolmong. Bila ternyata ada keliru yang berakibat
tindak pidana, mengapa para staf dan orang-orang kepercayaan di saat dia masih
Berjaya di kursi Bupati, membiarkan atau bahkan ikut mendorong dengan sukarela?
Menghormati dan menjaga kehormatan Mama Didi (serta mantan tokoh-tokoh
publik Mongondow lainnya) adalah ekspresi martabat semua orang Mongondow. Dan
bila dia kemudian ingin kembali ke kancah politik, dengan saat ini mencalonkan
diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Sulawesi Utara
(Sulut), saya yakin putusan itu jauh dari pertimbangan emosional dan jangka
pandek seorang politikus ambisius.
Telah lebih dua tahun dia menengok kembali 10 tahun kepemimpinannya di
Bolmong Induk. Menelaah, mengevaluasi, dan mengkontemplasi apa yang sukses,
gagal, atau masih sekadar mimpi. Saya yakin, waktu diamnya yang cukup panjang
telah memberi perspektif dan pencerahan baru. Pada Mama Didi seorang dan kita
semua.
Namun apa relevansi kembalinya Mama Didi ke panggung politik Mongondow
dengan konteks kekinian? Adalah ambisi terbaru Walikota Kota kotamobagu (KK),
Djelantik Mokodompit (DjM), yang gagal meraih suara terbanyak di pemilihan
Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK), Senin lalu(24 Juni
2013), yang menghempaskan saya pada ingatan tentang Mama Didi.
Berita utama Radar Totabuan,
Sabtu (27 Juli 2013), memajang tajuk mencolok, Djelantik Harus Segera Mundur. Tindakan mesti bersigegas mundur
dari jabatan Walikota yang masih tersisa dua bulan ini, adalah salah satu
syarat mutlak agar namanya tercantum sebagai salah satu calon legislatif (Caleg)
DPR KK di pemilihan umum (Pemilu) 2014 mendatang. Saya membaca sepak-terjang
mutakhir DjM itu dengan pikiran, ‘’Blum
sampe di sana, eh, so kamari dia.’’
Tampaknya DjM tak punya kata ‘’cukup’’ di kamusnya. Di sisi
lain, kata ini sendiri memiliki definisi yang sangat luas, namun sesungguhnya
tak sulit dijelaskan. Contohnya, di tangan seseorang yang memahami dan
mempraktekkan manajemen ekonomi rumah tangga dengan baik, uang senilai Rp 2
juta mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan diakhir bulan ada yang berhasil
disisihkan sebagai tabungan. Sebaliknya, di tangan pemboros tak tahu diri, Rp
10 juta pun barangkali hanya selewat kedipan mata dan seluruhnya menguap dalam
tempo sesingkat-singkatnya.
Mungkin misal yang lebih tepat untuk kasus DjM adalah, dia
seperti orang yang menghadapi sepiring sajian lezat di hadapan. Belum selesai
yang ada di depan mata, dia sudah menjulurkan tangan, meraih piring baru dan
ingin memenuhi dengan menu lain yang dianggap tak kalah enak. Di Mongondow
jenis orang yang tak puas dengan apa yang masih menggunung lalu bersigegas
meraup sajian lain yang belum tentu mampu dituntaskan, dicibir dengan sebutan tura’. Orang rakus. Yang tak mengenal
kata cukup. Yang tak pernah puas. Yang ingin memamah seekor sapi, kambing, dan
satu kandang ayam sendirian. Yang menganggap mulut, leher, dan perutnya mampu
menampung seluruh hasil panen sawah dan ladang yang terhampar pandangan di
ujung hidung.
Di negeri ini sekali pun, tak banyak politikus seperti DjM.
Dua kali dipilih sebagai anggota DPR RI, dua kali gagal menjadi Bupati, satu
periode berhasil menduduki kursi Walikota (dan Ketua DPD PG KK), tumbang dengan
telak, lalu tanpa malu-malu bersegera memaksakan diri terdaftar Caleg untuk DPR
KK. Apalagi yang dia kejar? Pengabdian? Omong kosong! Satu-satunya alasan
adalah kekuasaan dan uang. Lainnya, DjM adalah jenis manusia yang patut diduga
mengidap post power syndrome
permanen, yang ketakutan terbesarnya adalah menjadi bukan siapa-siapa.
Agar tetap menjadi siapa-siapa, segala cara dihalalkan.
Termasuk berupaya menerabas dan menyiasati aturan yang sudah menjadi
pengetahuan baku umumnya warga masyarakat yang sadar politik. Saya tidak heran
bila siasat memasukkan DjM sebagai Caleg Pemilu 2014 ternyata diaromahi bau
busuk. Terlebih terlibatnya oknum anggota KPU KK yang dalam dua pekan terakhir
sibuk kasak-kusuk, bergerilya mempengaruhi kolega-koleganya, bersikukuh
meyakinkan bahwa pen-caleg-an DjM tidak melanggar hukum dan aturan.
Terhadap oknum anggota KPU KK itu, dengan sangat terpaksa
saya (yang tidak punya cemaran pikiran suku, agama, ras, dan antar golongan
–SARA) mesti mengingatkan: Anda tahu dirilah! Anda bukan orang Mongondow tetapi
dengan iklas diterima sebagai bagian dari komunitas Mongondow. Dengan segala
tipu-muslihat yang dijalankan saat ini, Anda sedang memprovokasi kami untuk
beramai-ramai menendang Anda keluar dari wilayah Mongondow. Kesabaran ini ada
batasnya, Bung!
Kalau DjM ingin menjadi Caleg DPR KK, biarkan dia berikhtiar
dan berupaya dengan cara yang paling etis, bermartabat, serta sejalan dengan
hukum dan aturan formal. Bahwa di sisi lain keinginan ini menunjukkan dia
adalah contoh seburuk-buruknya orang rakus di KK, biarkan masyarakat yang
menilai dan menjatuhkan pilihan di Pemilu 2014 mendatang.
Sebab itu saya tidak akan membandingkan DjM dengan Mama
Didi. Saya hanya teringat pada Mama Didi, yang pada akhirnya, setelah lebih dua
tahun melepas kursi Bupati Bolmong, menunjukkan kualitas potikus Mongondow yang
100 kali lebih baik dari DjM.***