PIKUK politik kerap
membuat kita lupa pada akal sehat. Isu terbaru di Kota Kotamobagu (KK), perihal
keinginan Walikota 2008-2013 yang sebentar lagi mengakhiri masa jabatan,
Djelantik Mokodompit (DjM), terdaftar sebagai calon legislatif (Caleg) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) KK, ditanggapi riuh-redah seolah-olah niatan itu punya
peluang terwujud.
Saya membaca Radar
Totabuan, Senin (29 Juli 2013), Djelantik
Belum Menyerah, dengan ketidak-mengertian yang mendentang-dentang kepala.
Apa maksud pernyataan optimis Sekretaris Partai Golkar (PG) KK, Saiful Abdul
Kadir (dan para spekulan politik lainnya yang berserak di luar media), yang
mengisyaratkan keinginan DjM itu bukan pikiran orang ambisius dan gila jabatan yang
tengah dirudung putus asa? Dengan sejenak saja menegok hukum dan aturan formal
di negeri ini, kita tahu bahwa DjM dan para pendukungnya sedang
memaksa-maksakan kemustahilan.
Begini, pembaca, sewaktu DjM mencalonkan diri sebagai
Walikota KK 2008-2013 (juga 2013-2018 dimana dia kalah telak), tak ada satu
orang pun yang menodongkan meriam atau parang di tengkuknya. Dia yang justru
mati-matian mengajukan diri, termasuk meninggalkan PG dan menggunakan Partai
Amanat Nasional (PAN) agar lolos sebagai kandidat Walikota.
Siapa yang berani mengatakan diusungnya DjM sebagai kandidat
Walikota 2008-2013 karena keinginan para pendukung atau (ketika itu) konstituen
PG? Kalau DjM punya pendukung di konstituen dan partainya sendiri, dia tidak
perlu menggunakan PAN sebagai kendaraan politik. Sama dengan kalau masyarakat
berkehendak, semestinya sebagai petahana mudah bagi dia (juga PG dan PDI
Perjuangan) mengantar DjM-Rustam Simbala (RS) sebagai Walikota-Wakil Walikota
(Wawali) KK 2013-2018.
Klaim-mengklaim tidak tabu di ranah politik. Tapi setidaknya
buktikanlah siapa-siapa para pendukung yang diaku-aku menginginkan DjM
terdaftar sebagai Caleg DPR KK di Pemilu 2014 mendatang? Kalau sekadar dukungan
satu-dua pembisik, tiga empat pengurus PG KK, tidak beda dengan memelihara
delusi mengalomania DjM agar dia tetap merasa sebagai politikus papan atas di
Mongondow. Kita tidak tahu hingga batas mana delusi itu tak berubah jadi
kegilaan yang mesti ditangapi ahli jiwa, obat penenang, dan –mungkin—kejutan
arus listrik.
Faktanya, tidak mudah bagi seorang Walikota yang masih
menduduki jabatannya untuk mundur begitu saja, terlebih dengan alasan yang jauh
dari masuk akal. Kenyataan lain, batas waktu penggantian Caleg di Daftar Calon
Sementara (DCT) sudah sangat kasip. Tinggal menghitung hari yang kurang dari
jumlah jari di satu tangan.
Mari kita sisihkan dulu hukum dan aturan formal (saya juga
capek mengulak-ngalik undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan
KPU). Kita gunakan saja referensi umum dan populis yang bersiliweran di media
massa berkaitan dengan pengunduran diri (atau dimundurkannya) seorang pejabat
publik setingkat Gubernur, Wakil Gubernur (Wagub), Bupati, Wakil Bupati
(Wabup), Walikota, dan Wawali. Bagaimana urut-urutannya?
Gambaran singkat prosesnya kira-kira: Bila seorang Walikota
mengundurkan diri, dia harus punya alasan kuat dan absah. Kursi Walikota bukan
tempat duduk anak Taman Kanak-kanan (TK) yang ketika bosan atau merajuk boleh
dilepeh dan ditinggalkan begitu saja. Sang pejabat menyampaikan pengunduran
dirinya secara resmi DPR dan Gubernur. DPR, dalam konteks DjM adalah DPR KK,
kemudian membahas dan menggelar pleno, memutuskan apakah keinginan itu
disetujui atu tidak. Bila disetujui, DPR mengirimkan rekomendasi pada Gubernur,
yang kemudian meneruskan ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Semudah itu? Tidak juga. Gubernur mungkin punya pendapat
lain yang berbeda dengan rekomendasi DPR. Demikian pula, Mendagri harus
menimbang dengan cermat dan saksama dari segala aspek sebelum memutuskan
menyetujui atau tidak pengunduran diri Walikota.
Dengan berbaik sangka, katakanlah DjM mendapat keistimewaan
proses yang serba kilat, masing-masing tahapan itu dapat dilangsungkan dalam
waktu dua hari atau total membutuhkan enam hari kerja. DPR KK besok sudah
menerima surat pengunduran diri DJM, langsung membahas, dan besok menggelar
pleno persetujuan. Satu hari kemudian rekomendasi DRP sudah selesai, dan
langsung tiba di meja Gubernur. Tanpa membuang waktu Gubernur menelaah dan
memutuskan menyetujui rekomendasi DPR, memerintah disiapkan surat ke Mendagri,
yang telah pula ditunggu kurir ekspres agar tengat waktu terjaga ketat.
Dokumen-dokumen maha penting dari politikus yang tak kurang
luar biasa pentingnya itu ditelaah, dipertimbangkan, dan disetujui. Persetujuan
Mendagri langsung diketik, ditanda-tangani, dan dikirimkan ke Gubernur untuk
diteruskan ke DPR KK.
Setelah itu sudahkah DjM sah turun dari kursi Walikota KK?
Tentu tidak, sebab DPR mesti mengesahkan lagi lewat pleno. Secara paralel ada
pula proses yang mengiringi penunjukkan penggantinya. Apakah Wawali yang
menggantikan atau Pemerintah Pusat (lewat Mendagri) menunjukkan pelaksana
harian (Plh) atau pejabat sementara (Pjs).
Pembaca, Anda sudah punya gambaran sejauh mana keinginan
pen-Caleg-an DjM masuk akal orang waras atau tidak. Beralasan syarat minimal
pen-Caleg-an DJM dapat dipenuhi cukup dengan keterangan dari lembaga dan
pejabat berwenang bahwa pengunduran dirinya dalam proses, menurut saya bukan
lagi pembengkokan hukum dan aturan. Kilahan seperti ini adalah upaya mematahkan
dan meremukkan hukum dan aturan; menghina logika dan kewarasan orang banyak;
dan provokasi agar KK luluh-latak oleh chaos.
Merujuk Pilwako KK, Senin (24 Juni 2013), katakanlah ada
seperempat warga yang memiliki hak pilih mendukung DjM tetap eksis di panggung
politik kota ini. Namun jangan dilupakan, tiga per empat lainnya bersikap
sebaliknya. Meloloskan DjM sebagai Caleg DPR KK 2014, sekali pun dengan cara
yang tidak melanggar hukum dan aturan, tetaplah praktek politik yang jauh dari
etis, bermoral, dan bermartabat.
Memangnya siapa DjM dan segelintir orang yang kini
memaksa-maksakan pen-Caleg-annya di KK? Apa pentingnya mereka bagi kelangsungan
hidup warga kota ini, Mongondow, dan Sulut umumnya, hingga merasa berhak dan
boleh mendapatkan keistimewaan?
Proses pen-Caleg-an Pemilu 2014 telah berlangsung berbulan
dan sudah ditahap satu langkah sebelum final. KPU KK telah cukup kerepotan
melaksanakan Pilwako dan disaat bersamaan bertanggungjawab agar Caleg DPR KK di
Pemilu 2014 diproses di koridor ketaatan pada hukum dan aturan-aturannya.
Penggantian Caleg yang tidak memenuhi syarat memang diizinkan, tetapi dengan
tidak memaksakan pelanggaran atas hukum dan aturan, apalagi bertendensi
sabotase politik.
Yang juga harus digaris-bawahi, pemaksaan agar DjM terdaftar
sebagai Caleg DPR KK di Pemilu 2014 menunjukkan bahwa PG tak menghormati sistem
dan mekanisme internalnya. Bahwa manajemen partai ini di Dewan Pengurus Daerah
(DPD) KK karut-marut tak karuan. PG yang matang dari sisi usia dan khatam
seluk-beluk manajemen politik, termasuk penempatan kader-kadernya di
posisi-posisi publik, di KK ternyata diurusi para amatir yang gila jabatan, semena-mena,
tidak tahu hukum dan aturan, dan bahkan mungkin telah kehilangan kewarasan.***