BILA satu saat di
waktu dekat ini memergok saya sedang berdiri di depan salah satu tiang Jembatan
Kaiya –yang melintas di atas Sungai Ongkag, di persimpangan tak jauh dari
Inobonto ke arah Kotamobagu dan Lolak--, tak perlu berprasangka ada ritual yang
tengah dideras. Saya belum menjadi penggemar jin penunggu jembatan, tidak pula
mengintai buaya yang mungkin masih berkeliaran di sungai di bawahnya,
ancang-ancang melontar kail, atau bahkan mengincar baut dan besi jembatan.
Kawan dan kerabat jangan pula menduga saya sudah meheng dan buru-buru mengontak orangtua
di Jalan Amal atau Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Ratumbuysang, andai mengetahui saya
sedang bercakap-cakap dengan salah satu tiang Jembatan Kaiya. Saya sepenuhnya
waras, tahu persis apa yang dilakukan, dan karena mungkin ini cara terbaik
menyampaikan pendapat dan kritik terhadap praktek-praktek politik,
pemerintahan, dan birokrasi di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).
Mengapa di Jembatan Kaiya? Apakah karena saya terpengaruh
salah satu karya novelis Brazil, Paulo Coelho, By the River Piedra I sat Down and Wept atau Na margem do rio Piedra eu santei e chorei (1994)?
Sama sekali tidak. Tulisan penerima Crystal Award dari World
Economic Forum dan France’s Legion
d’honneur yang merupakan bagian pertama dari trilogi On the Seventh Day (dua yang lain adalah Veronika
Decides to Die atau Veronika decide morrer, 1998 dan The Devil and
Miss Prym atau O Demônio e a srta Prym, 2000) itu,memang
dasyat dan menginspirasi. Tentang satu minggu dimana seseorang yang biasa
mengalami hal-hal yang luar biasa.
Tidak! Sebagai bagian dari komunitas besar orang Mongondow,
bukan hanya satu minggu melainkan setiap hari, sebagai warga biasa saya
mengalami hal-hal yang luar biasa.
Beberapa hari terakhir, misalnya, saya ikut geram dan
mengutuk ketika Abdullah ‘’Ayu’’ Basalamah ditemukan tewas menggenaskan di
dalam ruangan Salon Ayu miliknya di Kelurahan Kotamobagu, Kota Kotamobagu (KK).
Saya ikut larut dalam sukacita orang-orang Kotamobagu yang mendapat ‘’serangan
24 jam’’ dari para kandidat calon Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018.
Dan saya menghanyutkan diri bersama sukaria orang banyak ketika Tatong
Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD) memenangi pemilihan Walikota-Wawali (Pilwako)
KK.
Peristiwa-peristiwa itu luar biasa, mewarnai kehidupan saya,
dan menyeret saya (sebagai warga Mongondow) terlibat di dalamnya. Sama luar
biasanya dengan hasil penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berturutan
keluar dan diterima kabupaten dan kota di wilayah Mongondow. Terakhir adalah
Kabupaten Bolmong yang sukses menerima penilaian disclaimer dua kali berentengan, Tahun Anggaran (TA) 2011 dan 2012.
Tak jelas benar kapan disclaimer
untuk TA 2012 resmi diterima Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong. Pejabat-pejabat
berwenang yang dihubungi media hampir seluruhnya mengeluarkan ‘’jurus pura-pura
sibuk menghindarkan pertanyaan’’ atau aksi pamungkas ‘’bekeng stau jo’’. Bukan
hanya orang banyak, khususnya warga Bolmong, yang bertanya-tanya. Jajaran
birokrasi di lingkungan Pemkab pun tak kurang terlongo-longonya.
Padahal disclaimer
bukanlah cap hukuman mati atau aib tak terampunkan. Tengoklah Kabupaten Bolaang
Mongondow Timur (Boltim) yang di Tahun Anggaran 2010 dan 2011 mendapat predikat
sama, yang bangkit dan akhirnya pada Kamis, 13 Juni 2013, naik peringkat ke
Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Saya tahu persis bagaimana sumringahnya Bupati
Sehan Lanjar dan jajarannya ‘’dinaik-kelaskan’’ dalam urusan pengelolaan
keuangan daerah oleh BPK. Hari itu, sebelum Bupati resmi menerima WDP, hampir
satu jam kami beriuangan dan berbual-bual ditemani kopi, sembari tak henti
terbahak-bahak.
Saya ingat sewaktu Boltim menerima disclaimer kedua kalinya, 2012 lalu, saya sempat mengingatkan Bupati
yang akrab disapa Eyang ini, bahwa dia mesti menjelaskan pada seluruh warga
Boltim apa dan mengapa sampai predikat jelek itu tersemat. Di saat yang sama, birokrasi
juga mesti diletup punggungnya agar patuh pada ketatalaksanaan pengelolaan
keuangan.
Capaian WDP TA 2012 itu tentu bukan karena kebetulan saya
sempat berbicara dengan Bupati, melainkan Eyang sebagai pemimpin pemerintahan
dan birokrasi memang mau terbuka, mau bicara, mau mendengar, dan mau mengubah
yang perlu diubah. Ihwal terbuka dan mendengar, harus diakui Eyang memiliki
kontrol emosi yang terjaga, seberapa kejam sekali pun kritik yang disampaikan
padanya.
Keterbukaan, kesediaan bicara, dan kerelaan mendengar jadi
kelebihan Eyang dibanding Walikota dan Bupati lain di wilayah Mongondow. Walau
kita juga mesti siap, setelah mendengarkan tiga kalimat yang disampaikan, dia
akan balik dengan pendapat, bantahan, atau penjelasannya yang cukup untuk disusun
menjadi satu dokumen pertanggungjawaban Bupati di Paripurna DPR.
Tentu tidak adil membandingkan Eyang dan Bupati Salihi
Mokodongan. Eyang adalah politikus alamiah yang matang dan khatam
sangkarut-kelindang politik pemerintahan, dan birokrasi. Akan halnya Salihi
Mokodongan, dia entrepreneur sukses
yang lalu terjun ke politik dan menjadi pemimpin pemerintahan dan birokrasi di
Bolmong hampir hanya ‘’bermodal nekad’’.
Repotnya, kendati cukup terbuka, mau bicara, (tampak) mau
mendengar, dan mungkin mau mengubah, sejauh ini tak ada apapun yang berhasil
dia capai di dua tahun pemerintahannya dan Wakil Bupati (Wabup) Yani Tuuk.
Catatan yang saya kumpulkan dari amatan selama ini menunjukkan, kebanyakan
pernyataan yang dilontarkan Bupati Salihi Mokodongan berakhir sebagai sekadar
‘’ancaman’’ dan ‘’peringatan’’ kosong.
‘’Akan menegakkan disiplin PNS, ‘’Melakukan pengawasan lebih
ketat’’, atau ‘’Memperingatkan agar jajaran Pemkab Bolmong melaksanakan tugas
dengan profesional dan bertanggungjawab’’, sudah menjadi mantra penghias media
massa yang lama kehilangan tuah. Siapa yang peduli dan takut terhadap Bupati,
bila tindakan yang sedianya dapat dilakukan untuk menunjukkan wewenang dan
keseriusannya, mudah diveto tangan-tangan lain yang de facto lebih berkuasa.
Karena itu saya menyimpan berbagai saran, masukan, kritik,
yang semestinya diucapkan –atau dituliskan—demi kemajuan Kabupaten Bolmong.
Percuma menyampaikan sesuatu yang dianggap sekadar kicauan orang ‘’gila
urusan’’ dan kurang kerjaan.
Sekali pun demikian, lama-kelamaan saya tak bisa
membuta-tuli pada sejumlah banyak usikan yang berdatangan, yang di hari-hari
belakangan ini utamanya menanyakan, ‘’Apa pendapat Anda tentang disclaimer yang diterima Pemkab Bolmong
untuk kedua kalinya?’’ Demi ketenangan hari-hari saya yang selalu menakjubkan,
hormat pada Bupati Bolmong dan jajarannya, serta warga Mongondow umumnya, saya
sudah menumpahkan segala sesuatu (kritik hingga cacian brutal) pada salah satu
tiang yang menopang Jembatan Kaiya.
Saya berharap semoga tiang jembatan itu menyampaikan sesegera
mungkin ke Bupati dan jajarannya. Siapa tahu, sekecil apapun itu, mungkin berguna
bagi kemajuan Kabupaten Bolmong ke depan.***