LELAH masih
merumbung sekujur badan karena penerbangan panjang non stop, Sabtu malam (13 Juli 2013), tatkala saya menyimak Risalah
Sidang Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kotamobagu 2013 yang berlangsung Kamis (11 Juli 2013) di Mahkamah
Konstitusi (MK). Beberapa bagian risalah perkara Nomor 88/PHPU.D.XI/2013 yang
diajukan Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (DjM-RS) dan Nomor
89/PHPU.D.XI/2013 dari Nurdin Makalalag-Sahat Robert Siagian (SRS) tak urung membuat
saya terbahak-bahak.
Orang Mongondow adalah etnis yang menyukai sikap main-main,
keceriaan, dan tawa. Baku terek dan loleke, sepanjang tak kelewat batas
(bahkan lewat-lewat sedikit pun sebenarnya tak mengapa) dianggap sekadar penyedap
pergaulan sosial. Hebatnya, loleke in
intau Mongondow termasuk yang ditujukan pada diri sendiri. Entah untuk
menertawai ketololan sendiri, mengakui kekalahan, atau demi tindakan preventif
sebelum aib sendiri dikuak oleh orang lain.
Membesar-besarkan diri, mengaku-ngaku paling ganteng,
pintar, kaya, juga bagian dari loleke
terhadap diri sendiri. Dan itulah yang saya baca dari pernyataan Kuasa Hukum
DjM-RS, Dorel Almir, yang dengan percaya diri mengatakan, seandainya tidak ada
kecurangan di Pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK),
Senin (24 Juni 2013) lalu, maka pemenangnya adalah DjM-RS. Keyakinan ini,
menurut Kuasa Hukum DjM-RS, karena DjM adalah kandidat dengan prestasi luar
biasa selama dia menduduki kursi Walikota KK 2008-2013.
Prestasi DjM, kata Kuasa Hukum, setidaknya ada enam.
Masing-masing, terpilihnya Kota Kotamobagu (KK) sebagai Juara Umum Festival
Bunaken dan mewakili Sulut ke ajang nasional 2009; mendapat penghargaan Satya
Lencana Karya Satya dari BKKBN 2010 dan 2011; penghargaan Manggala Karya;
terpilih sebagai daerah otonomi baru terbaik di antara 54 kabupaten (catatan
saya: seharusnya ditambahi ‘’kota’’) se-Indonesia; penghargaan dari Menteri
Hukum dan HAM atas keberhasilan dalam pembinaan keluarga sadar hukum; dan memperoleh
Adipura sebagai Kota Kecil Terbersih di Indonesia 2012 dan 2013.
Adapun pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif di
Pilwako KK yang dilakukan pasangan pemenang, Tatong Bara-Jainudin Damopolii
(TB-JD), antaranya praktik politik
uang dengan modus baru. Bentuknya dengan membeli kartu undangan atau formulir
model C-6 dari calon pemilih untuk dimusnahkan; atau melarang pemilih datang ke
TPS dengan pemberian sejumlah uang, lalu kartu undangan yang bersangkutan
diambil dan tidak dipergunakan. Akibat tindakan curang ini, menurut Kuasa Hukum
DjM-RS, terdapat kurang-lebih 14.853 pemilih Pilwako KK yang tidak menggunakan
hak pilihnya.
Dalam menjalankan
modusnya, Tim Pemenangan TB-JD melakukan pertemuan-pertemuan; kemudian mendatangi
tempat tinggal warga, di jalan-jalan, dan di TPS, menawarkan membeli kartu
undangan pemilih dengan harga bervariasi, berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp
1 juta per surat undangan. Sasaran utama ‘’operasi’’ ini adalah para pendukung DjM-RS.
Alhasil, simpul Dorel Almir, apa yang dilakukan Tim Pemenangan TB-JD itu
mempengaruhi hasil perolehan suara, khususnya suara DjM-RS.
Luar biasa logika yang
diajukan Kuasa Hukum dan DjM-RS, terlebih gugatan mereka juga menyinggung
kecurangan lain, termasuk pengerahan pegawai negeri sipil (PNS) oleh pasangan
pemenang. Usai menyimak risalah sidang, saya bertepuk tangan.
Hanya, menurut
hemat saya yang awam hukum, ada beberapa hal yang mengganjal dan jadi
pertanyaan. Pertama, tidakkah
prestasi DjM yang dikemukakan Kuasa Hukum terlampau sedikit? Semestinya
dimasukkan pula prestasi lain, semisal kasus penerimaan calon pegawai negeri
sipil (CPNS) 2009 yang menyeret beberapa pejabat teras KK ke bui; pembongkaran
Mesjid Raya Baitul Makmur (MRBM) yang kini sudah pula terserempet kasus hukum;
atau relokasi Pasar Serasi dan 23 Maret ke Poyowa Kecil dan Genggulang yang tak
ketahuan nasibnya.
Harus ditambahkan
pula prestasi pribadi DjM yang sudah ber-haji, umroh menjelang Pilwako
berlangsung, pandai berkhotbah, dan olah suara di acara apapun di KK. Dengan
demikian tidak ada alasan lain bagi warga KK, mereka mutlak harus memilih DjM
sebagai Walikota 2013-2018. Sebab apa lagi yang kurang dari sosoknya?
Kedua, gugatan DjM-RS (juga NM-SRS) hanya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK,
tidak ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwas), rakyat KK, bahkan Tuhan Yang Maha
Esa? Kalau sedemikian banyaknya pelanggaran Pilwako yang terjadi, lalu Panwas
tutup mata dan –sepengetahuan saya—hanya mengantongi satu laporan pelanggaran
(itu pun tanpa bukti memadai), tidakkah institusi ini juga wajib digugat? Sama
halnya, rakyat KK yang tidak tahu terima kasih sebab menutup mata terhadap
prestasi luar biasa DjM sebagai Walikota 2008-2013, pantas pula diajukan ke
hadapan mahkamah. Tega-teganya mereka makan sorok dan mengabaikan Walikota yang
Rahmatan Lil Alamin ini hanya karena uang Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta?
Dan tak kurang
penting, mengapa Tuhan Yang Maha Esa menutup mata dan tidak turut campur,
mengingat DjM adalah pemimpin sekaligus umat teladan-Nya?
Ketiga, apakah dengan mengajukan daftar kecurangan terstruktur, sistematis,
dan massif oleh pasangan pemenang Pilwako KK ke MK, DJM-RS (pula NM-SRS) tentu
berkeyakinan mereka tidak melakukan satu pun tindakan yang digugat itu? Bila
demikian adanya, terkutuklah seluruh kita, terutama warga KK, yang mengabaikan
fakta bahwa DjM bukan hanya berprestasi luar biasa sebagai Walikota 2008-2013
dan pribadi. Dia juga patut diusulkan sebagai Pahlawan Demokrasi di Mongondow.
Sekali lagi saya
bertepuk tangan. Tampaknya masuk akal bila gugatan Pilwako KK mesti didukung
agar MK menjatuhkan putusan Pilwako diulang dengan tetap diikuti empat pasang
kandidat yang sudah berlaga. Saya –dan mungkin kebanyakan warga KK— tentu perlu
memuaskan rasa penasaran seperti apa hasilnya nanti?
Sepengetahuan
saya, menggungat hasil Pilwako dan memenangkan Pilwako adalah dua hal yang sama
sekali berbeda. Pilwako Kota Manado yang akhirnya menetapkan pasangan GS Vicky
Lumentut-Harley AB Mangindaan dilaksanakan dua kali karena kandidat yang kalah
menggugat dan MK memutuskan pemilihan mesti diulang. Hasilnya,
Lumentut-Mangindaan tetap terpilih, bahkan dengan perolehan suara yang lebih
tinggi dibanding sebelumnya.
Kalau DjM-RS dan
NM-SRS ingin menguji pilihan politik warga KK, mari kita beri mereka kesempatan.
Di sisi lain, warga juga akhirnya berkesempatan menakar seberapa tidak masuk
akalnya ambisi politik DjM sekaligus kekuatan kantongnya membiayai aneka
pengeluaran yang bakal disedot Pilwako babak kedua. Siapa tahu masih ada
duit-duit siluman yang terselip dan siap dikucurkan.
Di pelosok dunia
mana pun, pemenang selalu mengundang otot-otot kuat, terutama finansial dan
pengaruh, merapat dan memberikan dukungan. Di Pilwako KK kita sudah tahu siapa
pemenang dan pecundang, Hanya mereka yang ketololannya minta ampun yang
bersedia harakiri bersama pecundang.***