TANPA
angin dan hujan, Senin, 7 November 2016, tiba-tiba
saya dikirimi artikel lengkap bertajuk BER-1
DAN BER-SaTu yang ditulis Pitres Sombowadile. Rupanya artikel itu diunduh
dari fb sebab didahului pernyataan, ''Ini
tulisan saya yg muncul di halaman 1 Harian Bolmong Fox Selasa tgl 2 Nov 2016.''
Sepintas saya menyimak dan sebenarnya agak
tak berminat menuntaskan tulisan itu. Pitres, sekalipun saya kenal baik, bukan
penulis yang cakap dan enak dibaca. Dia cuma merasa bisa menulis. Sejauh yang
saya tahu, belum pernah ada satupun opini atau analisisnya yang lolos dan
dipublikasi media yang jadi tolok ukur nasional semacam Kompas atau Tempo. Mau
banting-banting badan atau melolong-lolong, ya, kualitasnya memang sebegitu
saja.
Tulisan yang dikirimkan itu kian tak
menarik sebab dia mengawali dengan paparan tentang makna angka, numerologi,
dengan merujuk jagad pikir, budaya, tradisi, bahkan contoh dari Barat dan Cina.
Lalu, dia masuk pada konteks Pilkada Bolmong, tentang angka hasil undian nomor
urut pasangan calon, dikaitkan dengan akronim nama mereka yang mendekati
persepsi tentang angka.
Penulis yang baik adalah yang mampu
membangun argumen kokoh. Numerologi Barat dan Cina digunakan sebagai fondasi
membahas angka dalam jagad pikir, adab, budaya, tradisi, dan laku(lebih khusus
lagi politik) Mongondow, tanpa sama sekali menyentuh numerologi orang
Mongondow, jelas Ayu Ting Ting. Salah alamat. Orang Mongondow, dengan darah-daging
kultur agraris dan pengaruh Islam yang kuat, punya numerologi sendiri yang
masih dianut, dipercayai, dan dirujuk hingga kini.
Namun, sudahlah. Saya maklum. Tiap even
politik Pitres memang selalu butuh perhatian. Apalagi jika peristiwa politik
itu melibatkan sosok-sosok tertentu yang menjadi target perhatiannya. Hatta
karena profesinya sebagai ''konsultan politik'', budayawan, atau apalah yang
dia anggap keren untuk diaku-aku.
Lalu, saya tiba di alinea, ''Maklum karena pasangan Yasti-Yanni sejak
saat pendaftaran di KPU sudah kadung mengasosiasikan dirinya dengan akronim
atau simbol Y2 (dibaca 'Ye Dua'). Simbol Y2 memang sepantasnya dipilih oleh tim
Yasti-Yanny, karena akronim 'YaYa' akan potensial diplesetkan ucapannya menjadi
YaYa' (dari frase 'bure yaya' yang bermakna negatif dalam kosa kata bahasa
Mongondow).'' Saya terjengkit membaca keseluruhan kalimat-kalimat ini. Saya
yakin Pitres dengan sadar, sombong (dia jenis orang yang pantang mengaku salah
sekalipun seluruh bukti sudah ditimpakan di kepala), dan sok tahu menuliskan
alinea ini; terutama bagian yaya' dan bure yaya, yang saya tahu secara
implisit dan eksplisit melecehkan jagad pikir, adab, budaya, tradisi, dan laku
sehari-hari orang Mongondow; dan bahkan setiap orang Mongondow yang bernama,
dipernama, atau mendapat nama Yaya.
Pembaca, penutur bahasa Mongondow atau
mereka yang ''menjadi Mongondow'' tahu persis beda yaya dan yaya' (tanpa dan
dengan satu tanda petik di akhir kata). Khatam di mana, kapan,
bagaimana, dan untuk apa penggunaannya. Paripurna bahwa banyak kata Mongondow
yang maknanya sangat tergantung pada tekanan tertentu di salah satu-dua huruf
atau di akhir kata. Apalagi yaya umum
digunakan sebagai nama atau penamaan. Di tiap kampung di Mongondow mudah
menemukan orang yang disapa ''Yaya'' (sebab bernama Soraya atau Sahaya,
kemudian dipendekkan menjadi panggilan akrab), ''Ina' i Yaya'' (ibunya Yaya), ''Ama'
i Yaya'' (ayahnya Yaya), ''Ba'ai i Yaya'' (neneknya Yaya), ''Aki i Yaya''.
Lebih kongkritnya, mertua Wawali KK,
Jainuddin Damopolii, populer dikenal sebagai ''Ama' i Yaya'' atau ''Papa
Yaya'', sebab putri tertuanya, Soraya, memang disapa dengan panggilan kecil
Yaya. Adakah yang berani memelesetkan sapaan itu, keluarga paling dekat
sekalipun, dengan alasan apapun? Terlebih bila itu sapaan untuk ''Ba'ai i
Yaya'', yang akronimnya kebetulan BY, sama dengan kata tabu yang dinukil
Pitres. Saya kira, hanya orang gila yang sudah 100% kehilangan akal yang sudi
melakukan. Namun taruhannya adalah perkelahian yang melibatkan bukan hanya
marga, tetapi klan, dan ada leher yang bakal dipenggal.
Akan halnya yaya' (dengan satu tanda petik di akhir kata), adalah serapah dalam
bahasa Mongondow, yang kalaupun digunakan sebagai candaan, hanya untuk kalangan
yang benar-benar akrab dan sepantaran; atau yang mengucapkan lebih tua dari
yang menerima ucapan. Yaya' juga kata
yang berdiri sendiri dan jika disanding menjadi frasa atau kalimat,
pengertiannya akan berlipat. Misalnya,
''Yaya' sin dongka topolik bo modapot bidong''; ''Yaya'-mu sin pinotaba' yo
dia' bi' inaidan.''
Tatkala padankan dengan bure, kata makin lain dalam khasanah
bahasa Mongondow, pengertiannya menjadi berlipat-lipat. Dalam jagad pikir,
adab, budaya, tradisi, dan laku keseharian Mongondow, frasa ini digunakan
dengan sangat hati-hati karena pengertiannya sebagai makian di atas makian.
Rekam jejak Pitres menunjukkan, sudah lama
dia tampak selalu ''gatal'' dengan keterlibatan Yasti Soepredjo Mokoagow dalam
dinamika politik di Sulut umumnya dan BMR khususnya. Di setiap kesempatan dia
mencari celah mengusik Yasti, terlebih jika ada kepentingan pribadinya yang tak
kesampaian. Pembaca, ingat dengan dongeng yang pernah saya tuliskan di blog ini? Orang dalam ''dongeng'' itu
adalah Pitres Sombowadile. Dan apa yang telah dituliskan bukan karang-karangan
karena saya mendengar langsung dari mulut orang yang terlibat.
Dalam konteks Pilkada Bolmong, sejak mula
(dan ini saya tahu persis) pasangan Yasti-Yanny tidak pernah mengakronimkan
nama mereka menjadi Y2 atau YaYa. Mereka konsisten menggunakan Yasti-Yanny. Tapi
jikapun Cabup-Cawabup ini memilih YaYa, tidak berbeda dengan pilihan ''Ama i
Yaya'' memanggil anak tertuanya, Soraya, dengan Yaya sebagai sapaan sayang.
Orang Mongondow di Kabupaten Bolmong bukan barbar liar, walau sebagian besar
barangkali adalah petani, nelayan, dan pekebun. Tidak akan ada satu orangpun
yang melintaskan di kepalanya pelesetan yaya',
bure yaya (Pitres menulis 'bure yaya'
--makian untuk yaya--, bukan bure yaya'--makiannya
makian), apalagi bure yaya' untuk
YaYa atau Yaya. Sebab kalau itu dilakukan, oyu'-on
bi' in siba-sibaton nami komintan.
Saya menyadari betul bahaya pelecehan yang
dilakukan Pitres terhadap jagad pikir, adab, budaya, tradisi, dan laku
sehari-hari orang Mongondow; Cabup-Cawabup Yasti-Yanny; atau siapapun yang bernama,
dipernama, atau mendapat penamaan ''Yaya'' di Mongondow. Saya tahu bahwa
tulisannya bisa mengipasi kemarahan yang berujung SARA. Dia bukan orang
Mongondow, bukan pengguna dan penutur bahasa Mongondow; tidak pula paham adab,
budaya, tradisi, dan laku sehari-hari Mongondow; lalu dengan enteng dan
sesukanya melangkah melewati batas yang dapat ditoleransi.
Karenanya, dengan niat baik saya kemudian
menelepon dia, menjelaskan, dan menyarankan untuk menarik tulisan itu; atau
setidaknya menghilangkan satu-dua kata yang tak pada tempatnya. Apapun motif
yang dikandung pikirannya, sekalipun dengan alasan posisinya netral aktif
(sekali lagi, melihat rekam jejak Pitres di Bolmong, alasan itu omong kosong
belaka), dia harus sadar ada tabu-tabu yang diharamkan di wilayah yang dia tak
ketahui benar karena cuma dimasuki demi kepentingan cari makan. Mongondow, lipu' in Mogoguyang nami, tonga'
bi' tampat-mu motayak kon ka'-anon. Yo na'ai-pa kumalakuang.
Dengan alasan sibuk rapat, Pitres
menjanjikan akan mengontak saya selepas magrib. Tidak usah heran kalau janjinya
adalah dandi in kalow. Hingga saya
beristirahat lepas tengah malam, tak ada kabar, apalagi telepon dari dia.
Harian Bolmong
Fox sebagai pihak yang pertama menyiarkan tulisan itu justru lebih tanggap.
Tanpa sungkan PU-nya, Sugianto Babay, dan Pemred, Toni Damopolii, menelepon dan
mendiskusikan bagian mana dari tulisan yang mereka publikasi yang melewati
batas tabu-tabu Mongondow. Setelah saya runut dan jelaskan, hari ini (Selasa, 8
November 2016), harian ini mengumumkan
menarik tulisan itu dan meminta maaf pada ketidaknyamanan pembacanya. Saya
kira, apa yang mereka lakukan patut diapresiasi. Media boleh silap. Menelisik,
mempelajari, dan mengoreksi jika ditemukan ada kekeliruan adalah tindakan yang
sangat terhormat dan terpuji.
Sebaliknya, Pitres yang saya kontak lewat
SMS untuk mengingatkan bahwa tulisan itu masih tetap dipajang di fb-nya,
menjawab: ''Kita so periksa tulisan itu
dari perspektif netralitas tidak ada yang perlu dibesar-besarkan.'' O,
baiklah! Jadi jagad pikir, adab, budaya, tradisi, dan laku sehari-hari orang
Mongondow bukan urusan besar? Anda boleh mempermainkan dan setelah itu selesai?
Ketidaksukaan Anda, bahkan niat jahat, terhadap salah satu pasang Cabup-Cawabup
di Pilkada Bolmong 2017 yang dibungkus spekulasi (dalam bahasa yang tabu dalam
adab Mongondow) dapat dibenarkan sebab itu cuma permainkan kata dan kalimat?
Sombong dan tidak punya otak. Sebagai orang
Mongondow, saya tidak bicara Pilkada, pasangan calon, netralitas orang yang
hidupnya tergantung order satu politikus ke politikus lain, atau tetek-bengek
politik. Saya bicara tentang tabu yang dilanggar orang luar yang datang mencari
makan di Mongondow. Yang melepeh dan meleceh jagad pikir, adab, budaya,
tradisi, dan laku sehari-hari orang Mongondow.
Anda pikir kalimat ''Simbol Y2 memang sepantasnya dipilih oleh tim Yasti-Yanny, karena
akronim 'YaYa' akan potensial diplesetkan ucapannya menjadi YaYa' (dari frase
'bure yaya' yang bermakna negatif dalam kosa kata bahasa Mongondow'' bukan
perendahan terhadap orang Mongondow? Anda, dengan otak bejad, meletakkan
pikiran hanya setinggi perut, bukan orang Mongondow pula, punya izin dari mana
menyamakan langit adab kami dengan cara berpikir Anda?
Orang Mongondow adalah bangsa yang santun,
lucu, senang bermain-main, suka mengalah, dan guyub, sepanjang sesuatu yang
dijunjung tak dipermainkan dan disepelekan. Pelecehan terhadap jagad pikir,
adab, budaya, tradisi, dan laku sehari-hari orang Mongondow yang adalah
identitas yang tak bisa ditawar, sama dengan mengundang perang. Ingat, Pitres,
Anda yang memulai.
Saya tidak bermaksud memprovokasi. Tapi
sesiapapun orang Mongondow yang kemudian dengan cermat mempelajari apa yang
dituliskan Pitres Sombowadile, membawanya ke alam pikir dan laku Mongondow, dan
tidak tersinggung karena merasa direndahkan, dilecehkan, dengan spekulasi,
maka: aka bobay in sia, yo dia' bidon ko
oya' bo ko opuyu. Aka lolaki, yo dia' dong ko pikiran bo ko batol. Jika
demikian, izinkan saya bertanya, ''Intau
Mongondow, kita komintan ta kon Mongondow, oyu'on pa dega' in oya', opuyu,
pikiran, bo batol naton?''
Terhadap perendah dan peleceh alam pikir
dan laku Mongondow, terlebih dia bukan dan tidak punya kaitan dengan buta' in Mogoguyang tana'a, orang
Mongondow punya cara sendiri menyelesaikan: duya'an,
tokapon, untunon, sibaton, sampai patoi-on.
Sekali lagi, ingat, ini tentang harkat dan martabat sebuah bangsa. Kita na'a in dia' bi nopandoi, ta' na'ai-pa
intau bi' iba-nea in mamangoi bo monom-pompulong koi naton, sin totok moko oya'
ule-a.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Cabup: Calon
Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati;
FB: Facebook; KK: Kota Kotamobagu; Pemred:
Pemimpin Redaksi; Pilkada: Pemilihan
Kepala Daerah; PU: Pemimpin Umum; SARA: Suku Agama Ras dan Antar
Golongan; SMS: Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wawali: Wakil Walikota.