SAWALA, jika dilakukan dengan pikiran terbuka dan tanpa niat jahat, selalu
membawa banyak pencerahan dan pengetahuan baru. Sebelum kita lanjut, ''sawala''
bukan bahasa asing. Dalam bahasa Indonesia baku artinya adalah ''debat'';
''bantah''; dan ''diskusi''.
Dari diskusi pula, yang tampaknya dihampar
di salah satu rumah kopi di KK tentang ihwal kata dan bahasa, Minggu sore (13
November 2016) saya diciprati pertanyaan, ''Yang benar apakah 'wali kota' atau
'walikota'?'' Yang melontarkan pertanyaan ini adalah kawan wartawan berusia
muda yang belakangan ini kerap diskusi daring dengan saya.
Pertanyaan itu, jika dirujuk ke KBBI
(cetak--khususnya terbitan sebelumnya 2016--dan online), pasti hasilnya adalah ''wali kota'' dengan penjelasan: ''kepala
kota madya; kepala wilayah kota administratif''. Di dokumen-dokumen negara,
misalnya UU No. 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah, penulisannya juga
konsisten dengan KBBI.
Faktanya, di tingkat praktis, katakanlah
yang kita sesap dari sumber publik, khususnya media arus utama seperti Kompas dan Tempo, akan ditemukan versi berbeda. Kompas menggunakan ''wali kota'', sedang Tempo menggunakan ''walikota''. Menurut kawan itu, ''Yang benar
adalah Kompas.'' Saya, sambil tertawa
mengatakan, ''Demikian kata KBBI. Tetapi saya menggunakan 'walikota'
sebagaimana yang dipakai Tempo.''
Alasan saya sederhana. KBBI bukan barang
statis. Setiap beberapa tahun kitab ini diperbaharui dengan penambahan kata
baru, pengertian baru dari kata lama, atau perubahan penulisan kata
(penggabungan, pemisahan, dan sebagainya). Musababnya, dalam berbahasa, praktek
selalu berada jauh di depan dibanding pengkamusannya (kata ini juga bisa
diperdebatkan apakah ''pengamusan'' atau ''pengkamusan''). Dengan hilangnya
status kota madya dan kota administratif, menyisahkan ''kota'' saja, maka
semestinya ''wali kota'' yang adalah kepala pemerintahan yang jadi perpanjangan
tangan (atau pengganti), disesuaikan menjadi ''walikota''. Tidak berbeda dengan
''wali kabupaten'' atau ''wali provinsi'' yang mendapatkan predikat ''bupati''
atau ''gubernur''.
Dengan menggunakan ''walikota'', akronim
''wakil walikota'' juga sejalan dengan penggunaan umum saat ini, yakni
''wawali''. Jika setia pada ''wali kota'' maka ''wakil wali kota'' selayaknya
ditulis ''wawako'', sebab ''wawali'' tak lain dan bukan adalah ''wakil wali''. Wali yang mana?
Tapi, saya ingatkan pada kawan yang
bertanya itu agar tak menjadikan penjelasan saya sebagai rujukan, terlebih
anutan. Rujuklah kamus dan anutlah ikhtiar terus mencari tahu dan memperbaharui
ilmu dan pengetahuan bahasa. Lebih baik mengulik apa alasan Tempo menggunakan ''walikota'' alih-alih
''wali kota''. Dengan begitu banyak ahli bahasa di kelompok media ini, pasti dalilnya
sangat ilmiah dan sahih.
Saya juga mengingatkan, ikhtiar penggunaan
bahasa adalah upaya yang tak henti berkembang. Kamus sebagai rujukan amatlah
penting, tetapi kita juga tak boleh tertinggal terhadap kovensi-konvensi baru
yang belum terakomodasi dalam kamus. ''Gawai'' sebagai padanan gadget, misalnya, belum masuk dalam KKBI
dan KUBI, tetapi para ahli bahasa sudah menyepakati pemadanan ini. Demikian
pula dengan ''pengokot'' sebagai peng-Indonesia-an stapler.
Urusan ''wali kota'' dan ''walikota''
selesai, Senin siang (14 November 2016) saya diperhadapkan lagi dengan kata,
bahasa, dan kamus. Kali ini tentang bahasa Mongondow, khususnya berkenaan
dengan Kamus Belanda-Mongondow yang ditulis Pendeta W. Dunnebier. Tanpa
mengaitkan dengan konteks apapun, saya mengemukakan, tidak ada salahnya kamus
yang ditulis Dunnebier (orang-orang yang membahas sejarah Bolaang Mongondow paling
sering berkiblat ke nama ini) dijadikan salah satu rujukan bahasa Mongondow.
Tapi mohon dicamkan, bahasa Belanda dan Mongondow awal abad 20 tentu sudah
berkembang jauh di abad 21 ini; dan kamusnya adalah Belanda-Mongondow, bukan
Mongondow-Belanda.
Hal lain yang mesti diindahkah, bagi
pengguna bahasa Indonesia dan bahasa Mongondow, menerjemahkan Kamus
Belanda-Mongondow dari periode 1904-1938 (masa Dunnebier bermukim di Passi)
pasti bukan main rumit dan peningnya. Siapapun penerjemahnya harus benar-benar
menguasai bahasa Belanda dan Mongondow di masa itu, serta bahasa Belanda,
bahasa Mongondow, dan bahasa Indonesia di masa kini. Ditambah lagi jika
dikontekskan pada separasi dialek bahasa Mongondow antara pengguna yang
bermukim, katakanlah, di wilayah Passi dan Lolayan (masa itu dan masa kini).
Dan yang terpenting, bahasa dalam kamus, terlebih yang out of date, pasti sudah tertinggal jauh dalam rasa dan nuansa
berbahasa masa kini.
Kemudian saya teringat dan bertanya, ''Tapi
dalam konteks apa kok tiba-tiba ada
urusan dengan Kamus Belanda-Mongondow dari Dunnebier itu?'' Jawabannya membuat
saya terbahak-bahak, sebab rupanya berhubungan dengan tulisan Pitres
Sombowadile yang terakhir mampir ke gawai saya, tetapi dapat dipastikan tak
akan pernah saya baca. Saya kian terkikik-kikik karena kawan yang
memperhadapkan isu kamus ini menyarankan, ''Sebaiknya Abang membaca tulisannya
biar tahu kandungan pesannya dengan baik.''
Senyatanya, dengan tetap menempatkan
pokoknya bukan sebagai masalah antar pribadi, saya sudah capek dengan urusan
menanggapi Pitres Sombowadile. Kian banyak dia menulis, berkilah ihwal
penggunakan identitas budaya Mongondow (YaYa,
yaya', dan bure yaya ) yang
melecehkan Mongondow, semakin nampak dia cuma orang bodoh menyedihkan yang
bersusah payah menggaruk-garuk alasan supaya tak kehilangan muka. Termasuk
narsisme seolah-olah tanpa dia langit Mongondow bakal runtuh. Padahal, apa sih prestasinya?
Mengumpulkan kutipan tentang masa lalu
Mongondow, memberi sampul dan judul, lalu sudah absah merasa sejarawan atau
budayawan yang khatam daerah ini? Anak SMP juga bisa. Sekadar ikut membahas RKA
Kabupaten Bolmong dianggap sumbangsih maha dasyat terhadap Mongondow, apalagi
sebutannya kalau bukan keblinger. Dia' ko-oya'.
Biasa
jo kua'! Kalau cuma tanding-tadingan ego, Pitres cemen belaka. Berapa banyak buku kelas
literatur yang dia punya? Mari adu dengan koleksi saya (80% sudah saya baca)
yang kini mengisi ber-rak-rak buku di empat tempat (tiga rumah dan satu
perpustakaan kantor). Saya juga menulis buku yang bahkan sejak 2006 jadi salah
satu rujukan utama teori dan praktek CSR di Indonesia. Tanpa gembar-gembor, bertahun-tahun
(hingga saat ini) saya menyusun kebijakan, strategi, rencana, anggaran,
kemudian mengawasi, mengevaluasi, dan mengukur dana jutaan dolar milik
korporasi multinasional dengan operasi skala benua. Orang Mongondow juga
pintar-pintar dan hebat-hebat, Bung! Cuma kami malu menegakkan kepala seperti
keledai. Tidak pula butuh tepukan dan sanjungan pelipur lara karena galau dan
krisis identitas. Nenek moyang kami mengajarkan: Ko-oya' sin moko-oya' aka dia' ko-oya-oya'.
Sudah jelas dia bukan orang Mongondow, tak
paham bahasa Mongondow, tak genah budaya Mongondow, bukan budayawan (cuma stel budayawan), dan persentuhannya
dengan wilayah dan bangsa Mongondow semata karena ''cari makan'', eh, masih
pula kumalakuang. Bahkan tatkala
ditunjukkan dari akar hingga ujung daun kekeliruannya, tak jua berubah
kesombongan dan sok tahunya. Ah, ada orang bodoh yang masih dapat diselamatkan;
tapi tampaknya tidak untuk Pitres.
Maka sebaiknya kita kembali saja ke kamus
Dunnebier. Literatur ini penting sebagai bukti sejarah atau rujukan (minimal
identifikasi kata Mongondow). Namun, bahasa Mongondow sebagai identitas dan
produk kebudayaan Mongondow yang terus berkembang tidak boleh dipenjara oleh
masa lalu. Akan tetapi, walau budaya dan bahasa berkembang pesat, tetap ada falsafah,
nilai-nilai, dan norma sebagai substansi yang belum bergeser.
Mau menggunakan kamus Dunnebier, kamus
Ginupit, atau kamus alay ala generasi
milenium Mongondow, o-aheran belum
berubah arti dan makna. Sama dengan bure
atau yaya' yang di dalam kamus statis
belaka tetapi ketika diucapkan oleh para penuturnya (native), sejak dahulu kala hampir dipastikan untuk cacian. Bahkan
kata yang netral sekalipun, semisal nanam
(rasa), tatkala diucapkan di konteks, nuansa, dan tekanan tertentu bisa berarti
cacian. Hanya mereka yang menggunakan bahasa ini, meresepi sebagai bagian dari
jati dirinya, yang tahu persis bagaimana selayaknya dia diperlakukan.
Keterbatasan lain dari kamus, yang karena
bersifat statis, gagal menangkap ekspresi dengan menggunakan kata tak bermakna tetapi
penting yang umum ditemukan. Hai (dengan
tekanan tertentu) sebagai ekspresi terkejut, heran, atau marah yang umum
diucapkan orang Mongondow di wilayah Passi atau walio di Lolayan, sama persis posisinya dengan ''O'' (ekspresi maklum)
dan ''Ih'' (ekspresi jijik, tak suka) yang tak bakal ditemukan di KBBI maupun
KUBI.
Karenanya, sebagaimana kamus Indonesia,
selayaknya kamus Mongondow juga sekadar rujukan belaka. Pengguna bahasa
Mongondow atau mereka yang ingin menggunakan bahasa ini, semestinya merujuk
kamus dengan menganut pengetahuan dan pemahaman bahwa sebagai produk kebudayaan
dia tak lepas dari induknya: budaya Mongondow. Lain soal jika bahasa Mongondow
digunakan dengan pengetahuan dan pemahaman budaya ular, budaya sapi, atau
budaya kecoak. Pasti penggunanya bukan orang Mongondow.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; CSR:
Corporate Social Responsibility; KBBI:
Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK:
Kota Kotamobagu; KUBI: Kamus Umum
Bahasa Indonesia; RKA: Rencana Kerja
dan Anggaran; SMP: Sekolah Menengah
Pertama; dan UU: Undang-undang.